Archive for July 2013
Kamar 108
By : Harry Ramdhani/1/
Hujan turun terlalu lama.
Percaya,
ini bukan air mata kecewa
pada cinta yang terluka.
Air mulai tergenang
di sepanjang jalan,
di tiap selokan perumahan,
sampai di hati orang yang ditinggalkan.
Aku tahu maksud Tuhan
ciptakan hujan 'tuk kita
bersautan desahan
di kamar 108.
Ingatku,
kau lupa kenakan pakaian dalam, ya?
Bisikmu dulu,
"Ini sengaja, supaya kita bisa lakukan segera."
Jendela kamar mengembun
dekat selasar,
sebuah selimut menimbun
sepasang kasih nan-tersasar.
/2/
Hujan lagi,
pertemuan ini
mesti segera diakhiri
sebelum kita makin lupa diri.
Lalu-lintas Fatmawati tersendat-padat
tergenang air ditiap sisi,
tapi kepergian benar terjadi
tinggalkan rentetan kenangan
di kamar 108
Perpustakaan Teras Baca, 31 Juli 2013
Hujan turun terlalu lama.
Percaya,
ini bukan air mata kecewa
pada cinta yang terluka.
Air mulai tergenang
di sepanjang jalan,
di tiap selokan perumahan,
sampai di hati orang yang ditinggalkan.
Aku tahu maksud Tuhan
ciptakan hujan 'tuk kita
bersautan desahan
di kamar 108.
Ingatku,
kau lupa kenakan pakaian dalam, ya?
Bisikmu dulu,
"Ini sengaja, supaya kita bisa lakukan segera."
Jendela kamar mengembun
dekat selasar,
sebuah selimut menimbun
sepasang kasih nan-tersasar.
/2/
Hujan lagi,
pertemuan ini
mesti segera diakhiri
sebelum kita makin lupa diri.
Lalu-lintas Fatmawati tersendat-padat
tergenang air ditiap sisi,
tapi kepergian benar terjadi
tinggalkan rentetan kenangan
di kamar 108
Perpustakaan Teras Baca, 31 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Pertandingan Sore
By : Harry RamdhaniSore itu hujannya rintik. Kesebelasan satu sudah bersiap di lapangan, tapi lawan masih di ruang ganti ketakutan.
Pertandingan terakhir yang juga dihadiri para petinggi desa Sudimampir, sudah dibanjiri penonton setia kedua kesebelasan. Lawan masih ketar-ketir di dalam ruang ganti stadion kebanggaan.
Kompetisi sepakbola di desa ini ibarat upacara adat. Sakral. Dan sepakbola sudah jadi barang jual yang mahal.
Purwo, kapten kesebelasan tim lawan yang masih di ruang tunggu tertunduk ketakutan. Takut akan tim-nya kalah telak dari tim lawan. Takut akan tim-nya tidak bisa berbuat banyak selama pertandingan. Takut akan segala-galanya. Baginya, lebih baik tidak bertanding kalau sudah tahu hasilnya. Toh, inti dari bertanding adalah hasil setelah pertanding bukan akhir musim yang panjang.
Tidak hanya itu, ada hal lain yang dipikirkan Purwo sebelum bertanding, Aisyah, wanita yang Ia kenal setelah pertandingan tiga hari yang lalu. Kini Ia juga hadir ke stadion, menonton langsung, "Hari ini kamu pasti menang seperti kemarin, … sayang."
Sudahku bilang, sepakbola di desa ini sakral, para pelakunya bisa lebih keren daripada artis ibukota yang suka pamer perhiasan mentereng.
Lima menit di ruang ganti rasanya seperti lima hari. Lama dan melelahkan.
Perpustakaan Teras Baca, 30 Juli 2013
Pertandingan terakhir yang juga dihadiri para petinggi desa Sudimampir, sudah dibanjiri penonton setia kedua kesebelasan. Lawan masih ketar-ketir di dalam ruang ganti stadion kebanggaan.
Kompetisi sepakbola di desa ini ibarat upacara adat. Sakral. Dan sepakbola sudah jadi barang jual yang mahal.
Purwo, kapten kesebelasan tim lawan yang masih di ruang tunggu tertunduk ketakutan. Takut akan tim-nya kalah telak dari tim lawan. Takut akan tim-nya tidak bisa berbuat banyak selama pertandingan. Takut akan segala-galanya. Baginya, lebih baik tidak bertanding kalau sudah tahu hasilnya. Toh, inti dari bertanding adalah hasil setelah pertanding bukan akhir musim yang panjang.
Tidak hanya itu, ada hal lain yang dipikirkan Purwo sebelum bertanding, Aisyah, wanita yang Ia kenal setelah pertandingan tiga hari yang lalu. Kini Ia juga hadir ke stadion, menonton langsung, "Hari ini kamu pasti menang seperti kemarin, … sayang."
Sudahku bilang, sepakbola di desa ini sakral, para pelakunya bisa lebih keren daripada artis ibukota yang suka pamer perhiasan mentereng.
Lima menit di ruang ganti rasanya seperti lima hari. Lama dan melelahkan.
Perpustakaan Teras Baca, 30 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Tamu di Luar Ruang
By : Harry RamdhaniMenjadi seorang janda di kampung yang jauh akan kehidupan urban--
setidaknya sudah banyak perkampungan modern --adalah sebuah kenistaan.
Pandangan mereka, mempertahankan cinta saja tidak bisa apalagi hidup
bertetangga.
Herlina, namanya, seorang janda yang tinggal sendiri, eh, berdua dengan pembantunya, tapi akhir-akhir ini Bi Inah lebih sibuk mengurusi penyakit yang diidapnya lebih dari tiga tahun. Malah yang sering terlihat adalah majikan mengurusi pembantunya. Herlina sudah menganggap Bi Inah seperti orangtua sendiri. Dari kecil Ia sudah bersama Bi Inah, diurusi, kini sebaliknya. Itulah hidup.
***
"Selamat siang." Suara laki-laki dari luar rumah yang tidak asing lagi untuk Herlina. "Selamat siang … Hai, janda, keluar sekarang!!"
Agustinus Siliwane adalah seorang, Jong Ambon, penagih hutang dari seorang Juragan Tanah kampung sebelah. Tanpa seizin Herlina, Ia sudah duduk-duduk di teras rumah.
"Saya tidak punya waktu banyak berlama-lama di sini. cepat keluar kau, Herlina." Siliwane mulai naik pitam.
***
"Siapa yang menyuruhmu masuk? Keluar!!" Herlina tidak ingin kalah dari seorang tukang palak. Padahal, orang sunda dikenal dengan keramahan jika ada tamu berkunjung ke kediaman. Mungkin tidak berlaku untuk manusia satu ini.
"Aku belum memintamu untuk masuk. Di mana tata krama-mu? Tidak tahu aturan." Herlina melanjutkan.
"Aku tidak tahu aturan? Kau yang tidak tahu aturan, hutang saja belum dibayar. Bayar sekarang." Siliwane bangun dari tempat duduk teras rumah Herlina.
Sebenarnya Herlina tidak pernah berhutang, itu hanya akal-akalan Juragan Tanah, Pak Gugun, untuk dapatkan tubuh 'aduhai' Herlina.
"Ini sudah kali ke sembilan kau datang dalam satu bulan. Mesti dengan apa aku ingatkan? Aku tidak punya hutang." Kata Herlina dengan ketus.
"Kau memang tak berhutang, tapi suamimu. Setelah hutang malah pergi kabur meninggalkan."
"Tutup mulutmu, pecundang! Suamiku bukan pergi tapi memang sudah mati."
***
Dulu, beberapa minggu sebelum suami Herlina meninggal, usaha beras cianjur yang telah lama Ia keluti bangkrut. Ini akibat harga pupuk yang semakin meninggi dan pemerintah malah meng-impor beras dari luar negeri. Konsumen lebih memilih beras yang murah yang telah disubsidi. Akhirnya diberikan pinjaman oleh Pak Gugun, sang Juragan Tanah untuk memulai usaha baru. Tapi, belum lama berjalan, Pak Gugun sudah menagih modal yang telah Ia suntikan. Usahanya diambil alih dan serangan jantung menyerang.
Dengan dalih menagih hutang, Pak Gugun mulai mencari-cari alasan untuk bisa mendekati Herlina, janda yang ditinggal sendiri. Mungkin ingin dijadikan istri.
***
"Kenapa kau begitu keras kepala? Tinggal kau bayar, maka urusan kelar." Siliwengi mulai bertindak diluar batas. Senonok.
"Menjauh dariku!! Pergi kau setan!!" Herlina membela diri, Ia dorong badan Siliwengi yang dua kali lebih besar darinya.
"Yasudah, kita bicarakan saja baik-baik di dalam. Gak enak dilihat tetangga. Ingat, kau ini janda."
"Rumahku tak 'kan sudi dimasuki lelaki seperti kau yang tidak tau diri."
"Tidak, di ruang tamu saja."
"TIDAAAK!!" Herlina teriak.
Herlina punya prinsip, tidak sembarangan orang bisa duduk di ruang tamu. Baginya, tamu yang datang-- khususnya laki-laki --adalah mereka ingin menjalin baik silaturahmi, sebagai contoh Alm. suaminya. Ia datang dengan penuh ketulusan dan akhirnya dijadikan suami, meski Ia lebih dulu berada di sisi Tuhan.
***
"Ah, beradu logika dengan wanita memang bisa memutar balikan fakta. Segala yang mestinya ada bisa tak ada, dan yang tak ada malah bisa ada. Logika wanita."
Walau sudah lama bicara sana-sini tapi, tidak ada titik temu. Bahkan tidak diajak masuk ke ruang tamu. Siliwane menyalakan satu batang rokok kretek yang Ia keluarkan dari saku celana.
"Berani sekali kau nyalakan rokok di sini. Matikan." Siliweni tidak peduli.
Bi Inah yang mendengar keributan itu keluar, "Yaampun, Bi Inah, maaf sudah ganggu istirahatnya."
"Gapapa, Non, Bibi sudah mendingan. Saya buatkan minum ya, Non." Bi Inah masuk diikuti Herlina membuntuti.
***
"Non, di ruang tamu ada kamper bubuk, siapa tahu berguna." Kata Bi Inah yang kemudian masuk kamar.
Herlina sendiri yang membawakan minuman ke depan. Tapi, di ruang tamu Ia lihat kamper bubuk dibawah meja tempat koran-koran lama. Tanpa pikir panjang, dicampuri saja kamper bubuk ke dalam cangkir berisi kopi. Diaduknya rata sekali sampai tak terlihat ada kamper bubuk di dalam kopi.
"Terima kasih." Kata Siliweni tapi, Herlina diam dan duduk tanpa basa-basi.
Mungkin Herlina tinggal menunggu orang besar itu meminum kopi kemudian mati. Dan, bisa sedikit menenagkan hati.
Mungkin tidak sabaran, Siliweni sudah menyeruput kopi dan disemburnya karena panas. Secara refleks, rokok kretek yang ditangannya terbang ke mata Herlina.
"AAAAKKKKKK!!" Herlina jatuh dan tertimpa pot tanah liat yang tergantung di atasnya. Jatuh tepat di kepala Herlina, Ia meninggal seketika.
Kopi yang tadi diseruput Siliweni terjatuh dan mengenai kakinya lalu berdarah. Ia mengerang kesakitan sampai kehabisan darah.
Mendengar itu, Bi Inah keluar dari kamar, ketika melihat sudah ada dua mayat tergeletak di teras rumah. Bi Inah terkena serangan jantung dan meninggal di pintu tepat masuk ruang tamu.
Tiga mayat tergelatak kaku di luar ruang tamu sampai dua minggu tetangganya mencium bau yang tidak enak.
Perpustakaan Teras Baca, 29 Juli 2013
Herlina, namanya, seorang janda yang tinggal sendiri, eh, berdua dengan pembantunya, tapi akhir-akhir ini Bi Inah lebih sibuk mengurusi penyakit yang diidapnya lebih dari tiga tahun. Malah yang sering terlihat adalah majikan mengurusi pembantunya. Herlina sudah menganggap Bi Inah seperti orangtua sendiri. Dari kecil Ia sudah bersama Bi Inah, diurusi, kini sebaliknya. Itulah hidup.
***
"Selamat siang." Suara laki-laki dari luar rumah yang tidak asing lagi untuk Herlina. "Selamat siang … Hai, janda, keluar sekarang!!"
Agustinus Siliwane adalah seorang, Jong Ambon, penagih hutang dari seorang Juragan Tanah kampung sebelah. Tanpa seizin Herlina, Ia sudah duduk-duduk di teras rumah.
"Saya tidak punya waktu banyak berlama-lama di sini. cepat keluar kau, Herlina." Siliwane mulai naik pitam.
***
"Siapa yang menyuruhmu masuk? Keluar!!" Herlina tidak ingin kalah dari seorang tukang palak. Padahal, orang sunda dikenal dengan keramahan jika ada tamu berkunjung ke kediaman. Mungkin tidak berlaku untuk manusia satu ini.
"Aku belum memintamu untuk masuk. Di mana tata krama-mu? Tidak tahu aturan." Herlina melanjutkan.
"Aku tidak tahu aturan? Kau yang tidak tahu aturan, hutang saja belum dibayar. Bayar sekarang." Siliwane bangun dari tempat duduk teras rumah Herlina.
Sebenarnya Herlina tidak pernah berhutang, itu hanya akal-akalan Juragan Tanah, Pak Gugun, untuk dapatkan tubuh 'aduhai' Herlina.
"Ini sudah kali ke sembilan kau datang dalam satu bulan. Mesti dengan apa aku ingatkan? Aku tidak punya hutang." Kata Herlina dengan ketus.
"Kau memang tak berhutang, tapi suamimu. Setelah hutang malah pergi kabur meninggalkan."
"Tutup mulutmu, pecundang! Suamiku bukan pergi tapi memang sudah mati."
***
Dulu, beberapa minggu sebelum suami Herlina meninggal, usaha beras cianjur yang telah lama Ia keluti bangkrut. Ini akibat harga pupuk yang semakin meninggi dan pemerintah malah meng-impor beras dari luar negeri. Konsumen lebih memilih beras yang murah yang telah disubsidi. Akhirnya diberikan pinjaman oleh Pak Gugun, sang Juragan Tanah untuk memulai usaha baru. Tapi, belum lama berjalan, Pak Gugun sudah menagih modal yang telah Ia suntikan. Usahanya diambil alih dan serangan jantung menyerang.
Dengan dalih menagih hutang, Pak Gugun mulai mencari-cari alasan untuk bisa mendekati Herlina, janda yang ditinggal sendiri. Mungkin ingin dijadikan istri.
***
"Kenapa kau begitu keras kepala? Tinggal kau bayar, maka urusan kelar." Siliwengi mulai bertindak diluar batas. Senonok.
"Menjauh dariku!! Pergi kau setan!!" Herlina membela diri, Ia dorong badan Siliwengi yang dua kali lebih besar darinya.
"Yasudah, kita bicarakan saja baik-baik di dalam. Gak enak dilihat tetangga. Ingat, kau ini janda."
"Rumahku tak 'kan sudi dimasuki lelaki seperti kau yang tidak tau diri."
"Tidak, di ruang tamu saja."
"TIDAAAK!!" Herlina teriak.
Herlina punya prinsip, tidak sembarangan orang bisa duduk di ruang tamu. Baginya, tamu yang datang-- khususnya laki-laki --adalah mereka ingin menjalin baik silaturahmi, sebagai contoh Alm. suaminya. Ia datang dengan penuh ketulusan dan akhirnya dijadikan suami, meski Ia lebih dulu berada di sisi Tuhan.
***
"Ah, beradu logika dengan wanita memang bisa memutar balikan fakta. Segala yang mestinya ada bisa tak ada, dan yang tak ada malah bisa ada. Logika wanita."
Walau sudah lama bicara sana-sini tapi, tidak ada titik temu. Bahkan tidak diajak masuk ke ruang tamu. Siliwane menyalakan satu batang rokok kretek yang Ia keluarkan dari saku celana.
"Berani sekali kau nyalakan rokok di sini. Matikan." Siliweni tidak peduli.
Bi Inah yang mendengar keributan itu keluar, "Yaampun, Bi Inah, maaf sudah ganggu istirahatnya."
"Gapapa, Non, Bibi sudah mendingan. Saya buatkan minum ya, Non." Bi Inah masuk diikuti Herlina membuntuti.
***
"Non, di ruang tamu ada kamper bubuk, siapa tahu berguna." Kata Bi Inah yang kemudian masuk kamar.
Herlina sendiri yang membawakan minuman ke depan. Tapi, di ruang tamu Ia lihat kamper bubuk dibawah meja tempat koran-koran lama. Tanpa pikir panjang, dicampuri saja kamper bubuk ke dalam cangkir berisi kopi. Diaduknya rata sekali sampai tak terlihat ada kamper bubuk di dalam kopi.
"Terima kasih." Kata Siliweni tapi, Herlina diam dan duduk tanpa basa-basi.
Mungkin Herlina tinggal menunggu orang besar itu meminum kopi kemudian mati. Dan, bisa sedikit menenagkan hati.
Mungkin tidak sabaran, Siliweni sudah menyeruput kopi dan disemburnya karena panas. Secara refleks, rokok kretek yang ditangannya terbang ke mata Herlina.
"AAAAKKKKKK!!" Herlina jatuh dan tertimpa pot tanah liat yang tergantung di atasnya. Jatuh tepat di kepala Herlina, Ia meninggal seketika.
Kopi yang tadi diseruput Siliweni terjatuh dan mengenai kakinya lalu berdarah. Ia mengerang kesakitan sampai kehabisan darah.
Mendengar itu, Bi Inah keluar dari kamar, ketika melihat sudah ada dua mayat tergeletak di teras rumah. Bi Inah terkena serangan jantung dan meninggal di pintu tepat masuk ruang tamu.
Tiga mayat tergelatak kaku di luar ruang tamu sampai dua minggu tetangganya mencium bau yang tidak enak.
Perpustakaan Teras Baca, 29 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Memperkosa Kata Melepas Aksara
By : Harry RamdhaniTiap kata punya makna, hanya saja kerap beda antara satu dan lainnya. Mungkin karena latar belakang, mungkin juga karena pemahaman. Urusanku? Bukan.
Karena kata lahir dari aksara, dari beberapa pengalaman juga perenungan. Dirangkai tanpa bingkai, disusun tanpa runtut.
"Barang bila dikata, itulah kota." Peribahasa lama untuk gambarkan aksara, di sana hidup ratusan makna tapi tetap miliki maksud sama. Apa? tentunya kata.
Baiknya kata kuperkosa, kulepas satu per-satu aksara. Biarkan dosa mendampaku diam di dalam neraka jahanam.
Inginku tahu banyaknya kandungan makna tersimpan, tanpa tertutup kiasan. Walau itu ambigu, walau itu sudah rapih jadi sebuah buku.
seratus kataku ketika memperkosa kata dengan melepas aksara
Perpustakaan Teras Baca, 27 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Kenangan Adalah Penyakit
By : Harry RamdhaniAdalah…
penyakit yang kunjung datang tanpa mengetuk pintu depan,
tanpa permisi, tapi sungkan untuk menolaknya jika sudah di sini.
Adalah…
penyakit yang kerap menggerogoti persendian hati,
perlahan tapi, pasti.
Adalah…
penyakit yang hidupnya betah di badan nan-rapuh,
yang merupakan sebuah kesenangan sendiri menyelimuti nurani.
Adalah…
penyakit yang gaungannya memecahkan isi kepala,
dan gendang telinga,
bila disebut dalam rongga jiwa.
Adalah…
penyakit yang berbentuk tangis ditengah malam,
terkadang menjerit di balik bantal hingga basah dikeseluruhan,
dan sulit ditahan.
Adalah…
penyakit yang rasanya seperti kenangan dan sulit dihapus ingatan.
Adalah…
penyakit yang masih setia menemani.
Perpustakaan Teras Baca, 24 Juli 2013
penyakit yang kunjung datang tanpa mengetuk pintu depan,
tanpa permisi, tapi sungkan untuk menolaknya jika sudah di sini.
Adalah…
penyakit yang kerap menggerogoti persendian hati,
perlahan tapi, pasti.
Adalah…
penyakit yang hidupnya betah di badan nan-rapuh,
yang merupakan sebuah kesenangan sendiri menyelimuti nurani.
Adalah…
penyakit yang gaungannya memecahkan isi kepala,
dan gendang telinga,
bila disebut dalam rongga jiwa.
Adalah…
penyakit yang berbentuk tangis ditengah malam,
terkadang menjerit di balik bantal hingga basah dikeseluruhan,
dan sulit ditahan.
Adalah…
penyakit yang rasanya seperti kenangan dan sulit dihapus ingatan.
Adalah…
penyakit yang masih setia menemani.
Perpustakaan Teras Baca, 24 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Malam Itu Kau Dapat
By : Harry Ramdhani"Barangsiapa menghayati malam Lailatul Qadar dengan mengerjakan sembahyang dan berbagai jenis ibadat yang lain sedang Ia beriman dan mengharap rahmat Allah SWT, nescaya Ia diampunkan dosanya yang terdahulu." Dari hadis yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah RA.
Karena mulianya malam Lailatul Qadar, Rasulullah SAW menganjurkan supaya umatnya bersedia menyambut dan menghayati malam yang berkat itu dari pelbagai dari jenis amalan dan ibadah.
Banyak para Alim-Ulama mengingatkan itu disela-sela pemberitahuan Imam serta bilal untuk tarawih.
***
Apa yang bisa aku pelajari dari mahasiswa yang lulus saja lama?
Apa yang bisa aku dapat dari mahasiswa yang kuliah tujuh tahun baru tamat?
Pengalaman? Wawasan? Ilmu? Aku rasa tidak. Itu bisa aku dapat di mana saja.
Eka Harry Purnama, seorang mahasiswa yang tadi aku sempat jabarkan di atas. Di kampus, hampir semua Ia tahu. Dari cat gedung berwarna biru samapai luntur dan dicat ulang hijau, Ia masih kuliah. Hebat, tidak semua mahasiswa bisa alami fenomena semacam itu.
Saat Ramadan Komat Comic (program dari komunitas @StandUp_Unida di bulan puasa), aku melihatnya mojok di antara kerumunan para komika yang saling menguji joke-nya ke sesama komika lain. Matanya merah-- mungkin berkaca-kaca -- seperti habis menangis setelah melamun. Memang banyak orang setelah lama melamun sering menangis, biasanya, ada yang dipikirkan kemudian dibayangkan sendiri.
Mendekat adalah nekad. Bisa kena sembur jika salah ucap. Itulah manusia ketika sedang sedih.
Tapi, aku pikir tidak ada salahnya untuk sekedar iseng-- kadang iseng bisa melebihi nekad --mendekati.
"Pusing banget nih kepala, skripsi gak kelar-kelar. Bisa kena pemutihan kalo gak lulus lebaran ini, nih." Lho, baru juga duduk dan mulai ngomong tapi, dia udah nyocos duluan. "Sorry, yah, gak banyak bantu untuk acara ini." Begitu sambungnya.
Sok bijak adalah tembok yang mesti dibangun terlebih dulu.
"Tiap teraweh aja bawaannya pingin nangis mulu. Mikirin skripsi."
Aku masih diam. Dan, byuuur! air matanya ngucur.
***
Kadang, bukan jadi urusanku ikut larut di skripsi orang lain. Toh, yang belajar dia, yang punya konsep penelitian dia, yang punya pembimbing dia, Aku? Biarkan jadi orang yang terus nyindir tapi, membangun. Lho, di Indonesia mesti seperti itu. Boleh kritik asal membangun, boleh nginep di rumah kawan asal bilang ke pihak yang berwenang (baca: Pengurus RT).
Mengingat itu, aku jadi ingat akan Malam Lailatul Qadar. Malam yang lebih baik dari seribu malam. Malam yang ditunggu oleh umat muslim yang meyakininya tentu saja. Aku meyakini tapi, dari dulu aku belum lihat dengan mata kepala sendiri.
Memang keyakinan sifatnya absolut tapi, mukjizat itu nyata. Ada bentuknya. Adalah mereka orang-orang beriman pilihan Tuhan yang bisa mendapatkannya.
Beriman?
Adalah mereka yang benar cinta dengan-NYA …
Adalah mereka yang bisa bercinta (baca: berdo'a) dengan-NYA …
Adalah mereka yang bisa bersetubuh (baca: sembayang) dengan-NYA …
Adalah mereka yang bisa berpacaran (baca: taqwa) dengan-NYA …
Pernahkah kalian dengar, bahwa sujud terendah pada Tuhan adalah mereka yang meneteskan air mata?
Aku pikir, saat itu Eka disambut dengan ramah oleh Tuhan, langsung di rumahnya (ketika taraweh di masjid). Hatinya disentuh dengan lembut, dadanya dilapangkan, dan pundaknya diringan 'kan. Ia dapatkan malam itu, malam di mana malaikat turun langsung ke bumi memeluk umatnya dengan erat.
Ah… suatu saat aku ingin dapatkan itu. Pastinya dengan cara yang berbeda. Untuk apa belajar dari pengalaman oranglain, itu sama saja seperti buang air besar di wc umum tapi, dicebokin sama penjaga wc-nya. Untuk apa? Itu kotoran kita. Kita yang tahu letak paling kotor di mana?
O ya, sekarang Eka sudah lulus beberapa bulan lalu, artinya, baru beberapa bulan lalu juga Ia resmi jadi pengangguran. Yup, Pengangguran yang sudah dijamu Tuhan.
Perpustakaan Teras Baca, 26 Juli 2013
Tag :
cosmic g-spot,
Libur Panjang Mahasiswa
By : Harry RamdhaniBerawal dari curi pandang, kemudian pendekatan tapi, tidak berakhir jadian.
Layaknya cinta pertama, ingin dipertahankan saat awal jumpa tapi, takdir tidak berkehendak demikian.
Pagi ini aku terasa hampa. Tanpa koran, tanpa nasi uduk dan gorengan, juga tanpa wanita yang sering lewat depan rumah lalu melempar senyuman.
Minggu ketiga liburan semester genap membuat aktivitasku berubah hampir 180derajat. Biasanya pagi buta sudah bangun, tapi sekarang mataku malah yang buta ketika bangun siang. Perih.
O ya, biasanya aku sudah bangun setelah mendengar adzan subuh berkumandang, tapi selama liburan, aku terbangun oleh laporan lalu lintas dari radio yang lupa dimatikan. Kabarnya-pun sama: Macet.
Selanjutnya, tentu mendengar itu aku senyum-senyum saja dan membayangkan aku ada di antara orang-orang yang terjebak macet di sana.
Koran pagi langgananku sudah ludes terjual. Memang masih bisa dibeli di loper koran lainnya, tapi koran yang sama tak lagi aku bisa bertemu denganmu yang kerap lewat di depan rumahku.
Itu aku akui sesaat setelah senyummu kau lempar dan membuat kotoran yang menempel di mata runtuh, berceceran di jalan.
Mestinya pagi itu juga aku beli nasi uduk dengan dua tempe goreng. Murah, cuma lima ribu dan perut kenyang. Sekarang, lima ribu hanya bisa aku belikan dua mie instan dan dua saus sambal sachet. Selanjutnya aku berlama-lama di kamar mandi karena perut sakit.
Liburan panjang…. Ah, sebenanrnya aku senang dan tidak lagi memikirkan tugas bertumpuk yang minta diselesaikan. Tapi, apalah artinya liburan jika tidak melihat kau yang melempar senyuman?
Libur panjang…. Ah, mandi sepertinya sudah jadi cerita dongeng malam.
Nasib mahasiswa semester awal yang menikmati liburan panjang tak-ayal seperti pengangguran. Ingin jalan-jalan, tapi tidak punya uang. Ingin melamar kerja, tapi terpentok kontrak dengan perusahaan. Ingin meyapamu setiap pagi, tapi sudah kesiangan. Lebih baik aku selonjoran di kamar menunggu pagi datang.
Mudah diduga bahwa kebanyakan mahasiswa semester awal mengalami keadaan yang aku alami sekarang. Kalaupun ingin nongrong keluar, pasti ke tempat-tempat yang minim akan jajanan. Kadang-kadang, sih, pergi ke mal, itu juga cuma lihat agenda film bulanan. Nontonnya kalau tidak nunggu DVD bajakan atau minta download-an teman.
Kisahku dulu, saat jadi mahasiswa semester awal. Perjumpaan dengan liburan tidak semanis ucapan dosen ketika UAS sedang berjalan. Kini aku telah jadi mahasiswa tingkat akhir yang akhir-akhir ini belum memikirkan skripsi. Tapi, aku tetap menyukainya, liburan panjang dan jadi pengangguran. Inilah warna ketika jadi mahasiswa. Setiap mahasiswa menunggu liburan, tinggal dimanfaatkan aja. Layaknya cinta.
Perpustakaan Teras Baca, 25 Juli 2013
Pagi ini aku terasa hampa. Tanpa koran, tanpa nasi uduk dan gorengan, juga tanpa wanita yang sering lewat depan rumah lalu melempar senyuman.
Minggu ketiga liburan semester genap membuat aktivitasku berubah hampir 180derajat. Biasanya pagi buta sudah bangun, tapi sekarang mataku malah yang buta ketika bangun siang. Perih.
O ya, biasanya aku sudah bangun setelah mendengar adzan subuh berkumandang, tapi selama liburan, aku terbangun oleh laporan lalu lintas dari radio yang lupa dimatikan. Kabarnya-pun sama: Macet.
Selanjutnya, tentu mendengar itu aku senyum-senyum saja dan membayangkan aku ada di antara orang-orang yang terjebak macet di sana.
Koran pagi langgananku sudah ludes terjual. Memang masih bisa dibeli di loper koran lainnya, tapi koran yang sama tak lagi aku bisa bertemu denganmu yang kerap lewat di depan rumahku.
Itu aku akui sesaat setelah senyummu kau lempar dan membuat kotoran yang menempel di mata runtuh, berceceran di jalan.
Mestinya pagi itu juga aku beli nasi uduk dengan dua tempe goreng. Murah, cuma lima ribu dan perut kenyang. Sekarang, lima ribu hanya bisa aku belikan dua mie instan dan dua saus sambal sachet. Selanjutnya aku berlama-lama di kamar mandi karena perut sakit.
Liburan panjang…. Ah, sebenanrnya aku senang dan tidak lagi memikirkan tugas bertumpuk yang minta diselesaikan. Tapi, apalah artinya liburan jika tidak melihat kau yang melempar senyuman?
Libur panjang…. Ah, mandi sepertinya sudah jadi cerita dongeng malam.
Nasib mahasiswa semester awal yang menikmati liburan panjang tak-ayal seperti pengangguran. Ingin jalan-jalan, tapi tidak punya uang. Ingin melamar kerja, tapi terpentok kontrak dengan perusahaan. Ingin meyapamu setiap pagi, tapi sudah kesiangan. Lebih baik aku selonjoran di kamar menunggu pagi datang.
Mudah diduga bahwa kebanyakan mahasiswa semester awal mengalami keadaan yang aku alami sekarang. Kalaupun ingin nongrong keluar, pasti ke tempat-tempat yang minim akan jajanan. Kadang-kadang, sih, pergi ke mal, itu juga cuma lihat agenda film bulanan. Nontonnya kalau tidak nunggu DVD bajakan atau minta download-an teman.
Kisahku dulu, saat jadi mahasiswa semester awal. Perjumpaan dengan liburan tidak semanis ucapan dosen ketika UAS sedang berjalan. Kini aku telah jadi mahasiswa tingkat akhir yang akhir-akhir ini belum memikirkan skripsi. Tapi, aku tetap menyukainya, liburan panjang dan jadi pengangguran. Inilah warna ketika jadi mahasiswa. Setiap mahasiswa menunggu liburan, tinggal dimanfaatkan aja. Layaknya cinta.
Perpustakaan Teras Baca, 25 Juli 2013
Tag :
cosmic g-spot,
Fokus Juga Lotus
By : Harry RamdhaniIndah malam karena bintangnya
dan mungil sepertimu.
Sejuk malam karena anginnya
dan sesejuk kehadiranmu.
Terang malam karena bulannya
juga aura cahaya dirimu.
Malam nan-romantis bersamamu.
Yup … hanya denganmu.
Andai kamu adalah fokus,
mungkin sudah ku kejar,
tapi sayang, kamu hanyalah lotus,
melingkar
di sekitaran.
Bukan ku ingin merebutmu dari tangan Tuhan
tapi, aku percaya kau adalah bidadari terbuang.
Mungkin di antara selokan kotor
dan penuh tikus kantor.
Masih saja kau tinggikan ego
setinggi susunan mainan lego
pemberian orang bego.
Mantanmu maksudku.
Dengar, ia meninggalkan
tanpa kabar dan tanpa salam perpisahan
tapi, kau masih saja menggantungkan harapan.
Tinggalkan.
Lupakan.
Memasangkanmu mahkota adalah usahaku,
memberikan cinta adalah mimpikuku,
kaulah bidadari hidupku.
Titik itu merupakan cahaya cinta,
datangnya dari aura jiwa
bidadari dari surga.
Namun terbuang bagai
surat cinta Dewa pada Dewi.
Bodohnya, aku memunggutmu
untuk kuajak hidup selamanya
di kerajaan kecil bernama: Keluarga.
Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Gus Dut
By : Harry RamdhaniGus Dut (Pria BanGUS Berbadan GenDUT)
dari sini
Tambun perutnya,
sipit diselah matanya,
entah penyakit atau sebatas gaya.
Tidak ada yang paham maksudnya,
mungkin hanya dirinya,
hatinya,
juga bayangannya.
Dan Tuhan? meng-iya-kan saja.
Belajar dan belajar.
Semasa hidup dihabiskan untuk belajar,
hingga dirinya dijadikan barometer para pengajar.
Kepintarannya…
tidak perlu diragukan.
Perbuatannya…
patut dijadikan acuan.
Senyumnya…
sumringah tak tertahan.
Keputusannya…
kontroversial hingga mengganggu pemilik kepentingan.
Tertawa adalah jawaban.
Entahlah, untuk apa engkau di tanah ini?
Cibiranlah kerap didapat
dari mereka yang merasa susah berpendapat
Engkau, tidak membuat fondasi kuat
supaya bisa menompang gagasan-mu,
aktivitas-mu,
sampai sebuah artefak buah tangan karya-mu,
menyadarkan orang-orang tersesat.
Di negeri semacam ini, dimana tingkat pendidikan masih rendah.
Engkau seperti ikan teri di pusaran ombak. Kecil, tapi ada di antara pusaran besar yang bergolak.
Berkeliaran tak beraturan.
Disetiap tindakan dapat dilakukan
tanpa perlu dianalogikan.
Disetiap ucapan dapat ditelan
tanpa perlu dipikirkan.
Engkau memperlihatkan sungguh sederhana.
Dipojok ruangan, Engkau bersandar.
Dinding dijadikan tumpuan, lalu muncul gagasan liar.
gagasan liar? …
Engkau berucap, "Aku akan jadi pemimpin, pemimpin untuk rakyat di tanah keramat."
Gelak tawa membahana seisi ruangan.
Bahkan ada yg terkencing-kencing karena tak tahan.
Tertawa karena sebuah gagasan,
memang konyol, mirip sebuah guyonan.
Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelip.
Kini, engkau telah menjadi pemimpin,
dulu orang menertawakan dan sekarang diam.
Diam tak percaya karena gagasan telah jadi kenyataan.
hanya satu,
tidak,
ada banyak orang senang tanah keramat ini Engkau pimpin.
Ditulis ulang di Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013
dari sini
Tambun perutnya,
sipit diselah matanya,
entah penyakit atau sebatas gaya.
Tidak ada yang paham maksudnya,
mungkin hanya dirinya,
hatinya,
juga bayangannya.
Dan Tuhan? meng-iya-kan saja.
Belajar dan belajar.
Semasa hidup dihabiskan untuk belajar,
hingga dirinya dijadikan barometer para pengajar.
Kepintarannya…
tidak perlu diragukan.
Perbuatannya…
patut dijadikan acuan.
Senyumnya…
sumringah tak tertahan.
Keputusannya…
kontroversial hingga mengganggu pemilik kepentingan.
Tertawa adalah jawaban.
Entahlah, untuk apa engkau di tanah ini?
Cibiranlah kerap didapat
dari mereka yang merasa susah berpendapat
Engkau, tidak membuat fondasi kuat
supaya bisa menompang gagasan-mu,
aktivitas-mu,
sampai sebuah artefak buah tangan karya-mu,
menyadarkan orang-orang tersesat.
Di negeri semacam ini, dimana tingkat pendidikan masih rendah.
Engkau seperti ikan teri di pusaran ombak. Kecil, tapi ada di antara pusaran besar yang bergolak.
Berkeliaran tak beraturan.
Disetiap tindakan dapat dilakukan
tanpa perlu dianalogikan.
Disetiap ucapan dapat ditelan
tanpa perlu dipikirkan.
Engkau memperlihatkan sungguh sederhana.
Dipojok ruangan, Engkau bersandar.
Dinding dijadikan tumpuan, lalu muncul gagasan liar.
gagasan liar? …
Engkau berucap, "Aku akan jadi pemimpin, pemimpin untuk rakyat di tanah keramat."
Gelak tawa membahana seisi ruangan.
Bahkan ada yg terkencing-kencing karena tak tahan.
Tertawa karena sebuah gagasan,
memang konyol, mirip sebuah guyonan.
Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelip.
Kini, engkau telah menjadi pemimpin,
dulu orang menertawakan dan sekarang diam.
Diam tak percaya karena gagasan telah jadi kenyataan.
hanya satu,
tidak,
ada banyak orang senang tanah keramat ini Engkau pimpin.
Ditulis ulang di Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Lari Tanpa Henti [2]
By : Harry Ramdhani"Mah, lusa aku mau lari." Kataku ke Mamah
"Lho, bukannya hampir tiap hari kamu lari?"
"Lari ke kampus maksudnya. Dari rumah, yah?" Aku selalu meminta izin terlebih dahulu sebelum melakukan hal-hal yang kadang 'diluar batas nalar'. Biasanya pasti dapat izin dan dibantu banyak oleh beliau. Aku mencintainya.
Aku mesti mendapat restu dari seluruh anggota keluarga. Tanpa mereka, aku bukanlah apa-apa. Eum, siapa yg lebih dulu? Papah atau Kakakku?
"Pah, lusa aku lari, yah? Boleh?"
"Tumben bilang. Lari mah tinggal lari aja."
"Ini dari rumah ke kampus, Pah."
"Ada-ada aja, sih. Emang kuat? Mending dari kampus ke rumah, ketauan tuh jalannya turunan."
"Gak asyik. Terlalu sore atau malem. Bahaya."
"Hah! Kayak kuat aja lari dari rumah ke kampus. Paling jalan kaki atau, dijalan naik angkot." Kakakku nyamber gitu aja. Begitulah dia.
"Yaudah, paling 40kilo dari sini (baca: rumah)." Papah seakan gak memperdulikan ucapan kakakku.
"Gak sampe, kok. Paling cuma 30kilo berapa gitu."
***
Keluargaku adalah semangat hidupku. Pemicu segala kegiatan gilaku. Banyak di dunia ini yang tidak aku percayai, tapi karena merekalah (baca: keluargaku) kini aku bisa percaya. Mana mungkin seorang karyawan swasta yang kantornya antah-berantah bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus kuliah? Mana mungkin kini masih juga bisa menguliahkan aku sampai sekarang? Jika dipikir-pikir aku tidak bisa percaya. Tapi, inilah keluarga, inilah tempat aku bisa mempercayai semua.
***
Rabu dini hari, pukul dua.
Mataku masih saja terjaga. Entah memikirkan apa? Pokoknya aku hanya ingin lari dan lari sekuat tenaga-- tentu sekuat apa yang aku bisa--. Aku paksakan tidur dengan melepas semua pasrah pada yang Kuasa.
***
"Bangun - bangun." Mamah memanggil dengan cukup kencang. "Katanya mau lari. Ayoo, bangun. Cuci muka dulu sana, sholat. terus mandi kalau mau."
Katanya, alarm-ku sudah bunyi berkali-kali dan memang aku tidak bisa bangun oleh alarm. Cuma Mamahlah alarm-ku, pengingatku disaat lupa, yang bisa membangunkanku untuk membuka kedua mata bahwa ini saatnya untuk berkarya. Berkarya apapun yang aku bisa.
***
Rasa-rasanya aku ingin mengurungkan niat untuk lari. Tapi, apalah daya, aku sudah bangun dan dihadapan pintu … berdiri. Saatnya keluar rumah dan berlari. Aku siap lari hari ini.
Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013
"Lho, bukannya hampir tiap hari kamu lari?"
"Lari ke kampus maksudnya. Dari rumah, yah?" Aku selalu meminta izin terlebih dahulu sebelum melakukan hal-hal yang kadang 'diluar batas nalar'. Biasanya pasti dapat izin dan dibantu banyak oleh beliau. Aku mencintainya.
Aku mesti mendapat restu dari seluruh anggota keluarga. Tanpa mereka, aku bukanlah apa-apa. Eum, siapa yg lebih dulu? Papah atau Kakakku?
"Pah, lusa aku lari, yah? Boleh?"
"Tumben bilang. Lari mah tinggal lari aja."
"Ini dari rumah ke kampus, Pah."
"Ada-ada aja, sih. Emang kuat? Mending dari kampus ke rumah, ketauan tuh jalannya turunan."
"Gak asyik. Terlalu sore atau malem. Bahaya."
"Hah! Kayak kuat aja lari dari rumah ke kampus. Paling jalan kaki atau, dijalan naik angkot." Kakakku nyamber gitu aja. Begitulah dia.
"Yaudah, paling 40kilo dari sini (baca: rumah)." Papah seakan gak memperdulikan ucapan kakakku.
"Gak sampe, kok. Paling cuma 30kilo berapa gitu."
***
Keluargaku adalah semangat hidupku. Pemicu segala kegiatan gilaku. Banyak di dunia ini yang tidak aku percayai, tapi karena merekalah (baca: keluargaku) kini aku bisa percaya. Mana mungkin seorang karyawan swasta yang kantornya antah-berantah bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus kuliah? Mana mungkin kini masih juga bisa menguliahkan aku sampai sekarang? Jika dipikir-pikir aku tidak bisa percaya. Tapi, inilah keluarga, inilah tempat aku bisa mempercayai semua.
***
Rabu dini hari, pukul dua.
Mataku masih saja terjaga. Entah memikirkan apa? Pokoknya aku hanya ingin lari dan lari sekuat tenaga-- tentu sekuat apa yang aku bisa--. Aku paksakan tidur dengan melepas semua pasrah pada yang Kuasa.
***
"Bangun - bangun." Mamah memanggil dengan cukup kencang. "Katanya mau lari. Ayoo, bangun. Cuci muka dulu sana, sholat. terus mandi kalau mau."
Katanya, alarm-ku sudah bunyi berkali-kali dan memang aku tidak bisa bangun oleh alarm. Cuma Mamahlah alarm-ku, pengingatku disaat lupa, yang bisa membangunkanku untuk membuka kedua mata bahwa ini saatnya untuk berkarya. Berkarya apapun yang aku bisa.
***
Rasa-rasanya aku ingin mengurungkan niat untuk lari. Tapi, apalah daya, aku sudah bangun dan dihadapan pintu … berdiri. Saatnya keluar rumah dan berlari. Aku siap lari hari ini.
Perpustakaan Teras Baca, 23 Juli 2013
Tag :
Lari dan Lari,
Ramadhan-Bogor-Hujan
By : Harry Ramdhani"Selama Ramadhan Bogor Diguyur Hujan" Headline di surat kabar yang baru
saja aku baca pagi ini. Semoga kau baik-baik saja di sana. Di tempat
yang kau sendiri kurang suka.
Ramadhan kali ini tidak bersama. Baru pertama kalinya sejak tiga tahun kita menjalanu hubungan. Sedikit berbeda. Aku di sini dan kau di sana.
Kini kau mesti pindah kuliah ke luar kota, lebih tepatnya desa mungkin. Yup, memangnya ada kota selain Surabaya di Jawa Timur? Aku pikir tidak. Bukan pilihanmu kuliah di sana, bukan juga inginmu pergi ke sana, kau hanya menuruti apa kata orangtua.
Bukan pula inginmu kita berbeda. Tapi, berkat perbedaan ini kita semakin kuat akan perdebatan yang mungkin tidak layak diperbincangkan. Biarkan saja kita berbeda, memang semua orang di dunia ini berbeda. Tak ada yang sama.
Bersamamu, aku banyak tahu tentang agamamu dan begitu sebaliknya. Kau ikut merayakan hari raya agamaku dan begitu juga sebaliknya. Kita saling mengisi dan melengkapi. Walau kini kau tidak ada lagi di sisi.
***
Kekasih, musim penghujankah yang akan menemaniku selama ramadhan di kota hujan? Hujan telah mempertemukan kita di sebuah halte tempat orang-orang sekedar berteduh-- termasuk aku waktu itu --dari lebatnya hujan. Kau dengan seragam sekolah yang basah, yang sedikit memberikan ceplakan dalamanmu berdiri sendirian di pojok belakang halte. Katamu, "Tidak ada yang tidak sengaja di dunia ini. Semua ada yang mengawali dan yang mengakhiri, ada sebab dan akibat." Baiklah, kalau itu katamu tapi, aku memang tidak ada niatan apapun untuk meminjamkanmu sweater.
Ketika itu aku tidak peduli kau ini siapa, yang aku tahu, kau butuh itu untuk menutupi badanmu yang semakin kelihatan semua orang.
Sejak saat itu kita bertemu, kenal, dan menjajal hubungan lebih lanjut kedepan.
Hujan tak ayal sebuah kata-kata yang berjatuhan atas perintah Tuhan. Aku dimintaNYA untuk merangkai jadi sebuah kalimat indah yang kutunjukan padamu, pada wanita yang kusayangi, Rasya.
Tepat diparkiran motor sebuah mall ternama di Bogor, hujan sedang mengamuk di luar, aku utarakan sayangku padamu.
Hujan mengingatkanku pada semua kisah kita. Hujan yang hampir saja membuatmu berbadan dua. Hujan yang hampir saja membuatku berani melawan orangtua karena perbedaan keyakinan kita. Semua terjadi kala hujan bersetubuh dengan bumi dan segala isinya di kota bogor.
Ramadhan ini akan kubuat seperti ramadhan lainnya. Tetap bersama perbedaan yang kita rajut bersama. Tanpa kata cinta yang sama sekali tidak pernah kita bahas berdua.
***
sekilas bayangmu hilang
dari pandangan.
mengisi ruang kalbu dan pikiran
mengantar fantasi atas kerinduan
Perpustakaan Teras Baca, 22 Juli 2013
Ramadhan kali ini tidak bersama. Baru pertama kalinya sejak tiga tahun kita menjalanu hubungan. Sedikit berbeda. Aku di sini dan kau di sana.
Kini kau mesti pindah kuliah ke luar kota, lebih tepatnya desa mungkin. Yup, memangnya ada kota selain Surabaya di Jawa Timur? Aku pikir tidak. Bukan pilihanmu kuliah di sana, bukan juga inginmu pergi ke sana, kau hanya menuruti apa kata orangtua.
Bukan pula inginmu kita berbeda. Tapi, berkat perbedaan ini kita semakin kuat akan perdebatan yang mungkin tidak layak diperbincangkan. Biarkan saja kita berbeda, memang semua orang di dunia ini berbeda. Tak ada yang sama.
Bersamamu, aku banyak tahu tentang agamamu dan begitu sebaliknya. Kau ikut merayakan hari raya agamaku dan begitu juga sebaliknya. Kita saling mengisi dan melengkapi. Walau kini kau tidak ada lagi di sisi.
***
Kekasih, musim penghujankah yang akan menemaniku selama ramadhan di kota hujan? Hujan telah mempertemukan kita di sebuah halte tempat orang-orang sekedar berteduh-- termasuk aku waktu itu --dari lebatnya hujan. Kau dengan seragam sekolah yang basah, yang sedikit memberikan ceplakan dalamanmu berdiri sendirian di pojok belakang halte. Katamu, "Tidak ada yang tidak sengaja di dunia ini. Semua ada yang mengawali dan yang mengakhiri, ada sebab dan akibat." Baiklah, kalau itu katamu tapi, aku memang tidak ada niatan apapun untuk meminjamkanmu sweater.
Ketika itu aku tidak peduli kau ini siapa, yang aku tahu, kau butuh itu untuk menutupi badanmu yang semakin kelihatan semua orang.
Sejak saat itu kita bertemu, kenal, dan menjajal hubungan lebih lanjut kedepan.
Hujan tak ayal sebuah kata-kata yang berjatuhan atas perintah Tuhan. Aku dimintaNYA untuk merangkai jadi sebuah kalimat indah yang kutunjukan padamu, pada wanita yang kusayangi, Rasya.
Tepat diparkiran motor sebuah mall ternama di Bogor, hujan sedang mengamuk di luar, aku utarakan sayangku padamu.
Hujan mengingatkanku pada semua kisah kita. Hujan yang hampir saja membuatmu berbadan dua. Hujan yang hampir saja membuatku berani melawan orangtua karena perbedaan keyakinan kita. Semua terjadi kala hujan bersetubuh dengan bumi dan segala isinya di kota bogor.
Ramadhan ini akan kubuat seperti ramadhan lainnya. Tetap bersama perbedaan yang kita rajut bersama. Tanpa kata cinta yang sama sekali tidak pernah kita bahas berdua.
***
sekilas bayangmu hilang
dari pandangan.
mengisi ruang kalbu dan pikiran
mengantar fantasi atas kerinduan
Perpustakaan Teras Baca, 22 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Wanita Bernyawa
By : Harry Ramdhani
Apalah artinya nyawa bila tanpa harta?
Atau arti harta bila tanpa nyawa?
Keduanya tak ada guna,
karena cinta yang membuatnya ada.
Saya percaya, manusia tanpa cinta
tak ayal melihat wanita bagai benda.
seperti ingin menggunakan tapi,
enggan akan perawatan.
… adalah mereka yang melihatnya
sebelah mata.
bahwa wanita ialah benda.
… adalah mereka yang merasakannya
setengah hati.
bahwa wanita ialah obyek.
setuju atau tidak, bukan urusan saya,
karena saya ingin melihat wanita
sebagai subyek yang ikut bermain
bukan dipermainkan.
Poster dari sini
Perpustakaan Teras Baca, 21 Juli 2013
Atau arti harta bila tanpa nyawa?
Keduanya tak ada guna,
karena cinta yang membuatnya ada.
Saya percaya, manusia tanpa cinta
tak ayal melihat wanita bagai benda.
seperti ingin menggunakan tapi,
enggan akan perawatan.
… adalah mereka yang melihatnya
sebelah mata.
bahwa wanita ialah benda.
… adalah mereka yang merasakannya
setengah hati.
bahwa wanita ialah obyek.
setuju atau tidak, bukan urusan saya,
karena saya ingin melihat wanita
sebagai subyek yang ikut bermain
bukan dipermainkan.
Poster dari sini
Perpustakaan Teras Baca, 21 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Penghulu Terdahulu
By : Harry Ramdhani"Teman? Aku tidak punya. Hanya sahabat yang kupunya. Di mana? Entahlah … "
Pernikahan yang sudah lama didamba seakan menguap percuma. Semua pergi dan mengharap kembali itu sama saja seperti meminta hujan pada musim kemarau. Kalau-pun kembali, pastinya bukan lagi ke sini, ke tempat di mana Ia berada tapi, di sana, dipersimpangan hubungan kita.
"Wik, aku dan ibumu sudah sepakat bahwa andai-kata perkawinan itu nantinya menemui kesulitan, kami tidak akan meyesalimu apabila perkawinan itu berakhir dengan penceraian. Yang penting bagi kami adalah kebahagiaanmu!"
Begitu kau beri tanda di buku 'Menyemai Harapan' milikku yang pernah kau pinjam terdahulu.
Aku tidak tahu maksudnya apa? Yang jelas, aku sedang berupaya memahaminya lebih dari kura-kura yang ingin mengalahkan kancil.
Hari-hari berganti seperti karet. Aku paham, pasti maksudnya sederhana, tetapi gaungnya bertalu-talu dalam relung-relung hatiku.
Waktu sudah mulai acuh tak acuh. Alangkah enaknya memiliki pikiran yang sederhana. Pastinya kehidupan berjalan tanpa lika-liku, tanpa beban seberat kenyataan. Tak perlu lagi mengadakan refleksi.
Waktu ingin aku tangkap, lalu menghentikannya sesaat. Supaya aku bisa berpikir sejenak, apa yang mesti aku perbuat?
Pergi bukanlah solusi. Tapi, lari adalah jalan terbaik-- setidaknya untuk diri sendiri --pindah dari tempat yang gersang, yang membuatku terus menjadi karang dan dihantam oleh derasnya ombak lautan.
Pernikahan bagiku terlalu sakral. Memiliki pasangan yang mesti setia sehidup-semati. Kemudan dilingkari cincin yang artinya memuliakan sebuah cinta di hadapan-NYA.
Surat ini untukmu, Penghulu.
Semoga kau paham kepergianku. Kepergianku ini untuk lari dari keterikatan cinta yang hanya diisi dengan keterpaksaan. Bukan karena ingin pergi dari mimpi setiap orang, sebuah pernikahan.
Aku mencintainya karena ingin menyenangi hatinya saja. Selebihnya … tidak ada.
Sampaikan kepada semua, maaf sebelumnya.
Perpustakaan Teras Baca, 21 Juli 2013
Pernikahan yang sudah lama didamba seakan menguap percuma. Semua pergi dan mengharap kembali itu sama saja seperti meminta hujan pada musim kemarau. Kalau-pun kembali, pastinya bukan lagi ke sini, ke tempat di mana Ia berada tapi, di sana, dipersimpangan hubungan kita.
"Wik, aku dan ibumu sudah sepakat bahwa andai-kata perkawinan itu nantinya menemui kesulitan, kami tidak akan meyesalimu apabila perkawinan itu berakhir dengan penceraian. Yang penting bagi kami adalah kebahagiaanmu!"
Begitu kau beri tanda di buku 'Menyemai Harapan' milikku yang pernah kau pinjam terdahulu.
Aku tidak tahu maksudnya apa? Yang jelas, aku sedang berupaya memahaminya lebih dari kura-kura yang ingin mengalahkan kancil.
Hari-hari berganti seperti karet. Aku paham, pasti maksudnya sederhana, tetapi gaungnya bertalu-talu dalam relung-relung hatiku.
Waktu sudah mulai acuh tak acuh. Alangkah enaknya memiliki pikiran yang sederhana. Pastinya kehidupan berjalan tanpa lika-liku, tanpa beban seberat kenyataan. Tak perlu lagi mengadakan refleksi.
Waktu ingin aku tangkap, lalu menghentikannya sesaat. Supaya aku bisa berpikir sejenak, apa yang mesti aku perbuat?
Pergi bukanlah solusi. Tapi, lari adalah jalan terbaik-- setidaknya untuk diri sendiri --pindah dari tempat yang gersang, yang membuatku terus menjadi karang dan dihantam oleh derasnya ombak lautan.
Pernikahan bagiku terlalu sakral. Memiliki pasangan yang mesti setia sehidup-semati. Kemudan dilingkari cincin yang artinya memuliakan sebuah cinta di hadapan-NYA.
Surat ini untukmu, Penghulu.
Semoga kau paham kepergianku. Kepergianku ini untuk lari dari keterikatan cinta yang hanya diisi dengan keterpaksaan. Bukan karena ingin pergi dari mimpi setiap orang, sebuah pernikahan.
Aku mencintainya karena ingin menyenangi hatinya saja. Selebihnya … tidak ada.
Sampaikan kepada semua, maaf sebelumnya.
Perpustakaan Teras Baca, 21 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Wanita di Alania
By : Harry RamdhaniSekarang pukul dua,
seorang wanita di kedai bernama, Alania.
Di sekelilingnya hanya pria
sekitar delapan jumlahnya
termasuk dia, wanita di kedai Alania.
Ini pukul dua,
Ia bicara terdengar sampai ke depan
tempatku berada.
Tempat di mana aku bersama yang lain juga,
yang sibuk bicara tentang keseriusan dalam berkarya.
Ini pukul dua,
apa kau tidak dicari orangtua?
kalau nge-kost, pasti tempatnya
terlampau bebas.
Bebas keluar-masukan pria …
Ini pukul dua,
tidak 'kah kau gunakan jam tangan?
melihat jam bahwa ini sudah larut malam.
Sudah waktunya wanita pulas tidur di kamar
bersama mimpi yang terus mengakar,
bukan dengan pria yang pamer buah zakar.
Ini pukul dua,
kota sudah tertutup nafsu,
di mana orang bisa bertingkah tanpa malu.
tanpa ada batasan untuk mengingatkan
bahwa wanita sepertimu mesti pulang.
Sekarang.
Ini pukul dua,
Kedai bagai tempurung
dan kau, wanita berkerudung
yang tak terlihat murung.
Kau bahagia ketika dikerumung
banya pria dengan uang sekarung.
Ini pukul dua,
sudah saatnya pulang …
Kau berbeda dengan Alania ...
Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2013
seorang wanita di kedai bernama, Alania.
Di sekelilingnya hanya pria
sekitar delapan jumlahnya
termasuk dia, wanita di kedai Alania.
Ini pukul dua,
Ia bicara terdengar sampai ke depan
tempatku berada.
Tempat di mana aku bersama yang lain juga,
yang sibuk bicara tentang keseriusan dalam berkarya.
Ini pukul dua,
apa kau tidak dicari orangtua?
kalau nge-kost, pasti tempatnya
terlampau bebas.
Bebas keluar-masukan pria …
Ini pukul dua,
tidak 'kah kau gunakan jam tangan?
melihat jam bahwa ini sudah larut malam.
Sudah waktunya wanita pulas tidur di kamar
bersama mimpi yang terus mengakar,
bukan dengan pria yang pamer buah zakar.
Ini pukul dua,
kota sudah tertutup nafsu,
di mana orang bisa bertingkah tanpa malu.
tanpa ada batasan untuk mengingatkan
bahwa wanita sepertimu mesti pulang.
Sekarang.
Ini pukul dua,
Kedai bagai tempurung
dan kau, wanita berkerudung
yang tak terlihat murung.
Kau bahagia ketika dikerumung
banya pria dengan uang sekarung.
Ini pukul dua,
sudah saatnya pulang …
Kau berbeda dengan Alania ...
Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Jogja Grey
By : Harry Ramdhani"Bandung memang romantis, tapi Jogja kerap menyuguhkan banyak hal yang
manis." Begitu alasanku ketika kau mulai menanyakan tujuan bulan madu
kita nanti.
Padahal aku hanya ingin membawamu pergi. Jauh dan tidak lagi di sini. Di sini kau kerap ingat masa silam, masa yang suram, masa yang membuatmu seakan hitam kelam. Kau kerap bercerita banyak tentang mantanmu, yang sering memarahimu, memukulmu, memakimu. Dan itu … kejam-- aku pikir tidak terlalu kasar untuk menyebutnya seperti itu --.
Selama bersama Grey, aku belum pernah melakukan itu, melakukan seperti apa yang dilakukan mantanmu. Atau belum? Semoga tidak. Denganmu aku sering tertawa, teman yang asyik untuk bertukar pikiran, dan paling penting adalah aku tidak pernah malu untuk membawamu bertemu teman-temanku.
***
Hampir dua tahun kita menjalani hubungan. Umur kita tidak berbeda jauh, bahkan sama. Sama-sama sering ditagih kapan untuk berkeluarga. Karier kita sudah mapan. Kini yang ada hanyalah ketakutan untuk bisa melanjutkan ke sebuah pernikahan.
Pernikahan itu tidak semudan pergi liburan. Tapi, aku pikir rasanya seenak ketika sedang liburan.
"Every holiday make me happy, tapi setiap aku mengingat akan pernikahan seperti ada yang mengganjal dihati." Tulisku di twitter.
Sejak saat itu, ada yang berbeda dengan hubungan kita. Ada yang kurang setiap kita berjumpa. Candamu mungkin. Tidak lagi aku tertawa ketika kau sudah bercerita tentang keseharianmu, tentang keresahanmu, tentang orang-orang sekita kita yang selalu mengingatkan kita untuk segera menikah. Di mana itu semua?
***
"Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu lebih banyak diam." Tanyaku penasaran. Bagaimana tidak? Sudah tiga kaleng bir Ia habiskan.
Aku tahu, bir adalah caramu untuk bisa menengkan. Katamu,"Rasa bir itu pahit. Aku suka meminumnya ketika hari-hariku sepahit bir. Semoga pahit bertemu pahit akan berubah manis."
Logika yang sulit diterima tapi, setiap orang punya cara yang berbeda. Ini hanya soal sugesti yang dikirim untuk diri sendiri.
Aku bingung, sepahit apa yang kini kau rasakan? Dan, kenapa kau tidak ceritakan? Katamu, aku adalah pendengar yang baik.
"Kenapa sih kamu ingin sekali berbulan madu di Jogja?" Kau malah bertanya, padahal pertanyaanku tadi belum dijawab.
"Yaa, karena Jogja itu manis. Dari makanannya, suasananya, orang-orangnya, sampai istri yang aku bawa." Aku tersenyum. Entah karena apa? Tapi, baru juga membayangkan, sudah bisa membuatku tersenyum.
"Apa benar ketika nanti sudah menikah, istri mesti nurut apa kata lelaki?"
"Eum … " Pertanyaanmu semakin tak terarahkan. Aku tahu kau peminum bukan pemabuk tapi, yang aku lihat sekarang adalah pemabuk. "Katanya sih, iyah. Tapi, selama masih bisa dibicarakan lebih dulu, mungkin lebih baik. Menurut-pun bukan karena terpaksa."
"Jogja? Aku, …"
Aku baru ingat, Jogja adalah tempat kau dulu menjalin hubungan dengan mantanmu. Mantan yang kejam.
"Sayang … " Aku menggenggam tangannya. Berharap bisa juga menggenggam kepercayaannya selama ini. "Aku ingin membawamu ke sana, ke Jogja bersama menjalani awal cinta sehidup-semati, … selamanya."
Kau semakin tertunduk. Entah kenapa? Mungkin kepalamu sudah berat karena alkohol yang kini jadi jahat.
"Untuk bisa bahagia, kita mesti menciptakannya bukan mengenangnya." Aku terus menggengam tangan Grey. Dan Ia erat menggenggam.
Kau menciumku penuh kehangatan walau sudah tiga bir yang kau habiskan. Mulutmu bau.
***
Bulan madu kita tetap ke sana, ke Jogja. Ke tempat kau pernah terluka oleh orang yang dulu pernah kau cinta. Kini, kau pergi dengan suami yang benar-benar ingin membuatmu bahagia. Membuat hal yang pahit menjadi manis, membuat luka menjadi cinta.
Itulah bulan madu kita ke Jogja. Tempat kita berlibur setelah lama berkerja memikirkan pernikahan. Kini giliranku yang membuatmu tertawa, menceritakan keresahanmu menjadi sebuah canda. Kita bahagia saat bersama di liburan ini. Liburan yang sering orang-orang bilang: Bulan Madu.
Teringat sebuah prosa Duplikat Kunci
Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2013
Padahal aku hanya ingin membawamu pergi. Jauh dan tidak lagi di sini. Di sini kau kerap ingat masa silam, masa yang suram, masa yang membuatmu seakan hitam kelam. Kau kerap bercerita banyak tentang mantanmu, yang sering memarahimu, memukulmu, memakimu. Dan itu … kejam-- aku pikir tidak terlalu kasar untuk menyebutnya seperti itu --.
Selama bersama Grey, aku belum pernah melakukan itu, melakukan seperti apa yang dilakukan mantanmu. Atau belum? Semoga tidak. Denganmu aku sering tertawa, teman yang asyik untuk bertukar pikiran, dan paling penting adalah aku tidak pernah malu untuk membawamu bertemu teman-temanku.
***
Hampir dua tahun kita menjalani hubungan. Umur kita tidak berbeda jauh, bahkan sama. Sama-sama sering ditagih kapan untuk berkeluarga. Karier kita sudah mapan. Kini yang ada hanyalah ketakutan untuk bisa melanjutkan ke sebuah pernikahan.
Pernikahan itu tidak semudan pergi liburan. Tapi, aku pikir rasanya seenak ketika sedang liburan.
"Every holiday make me happy, tapi setiap aku mengingat akan pernikahan seperti ada yang mengganjal dihati." Tulisku di twitter.
Sejak saat itu, ada yang berbeda dengan hubungan kita. Ada yang kurang setiap kita berjumpa. Candamu mungkin. Tidak lagi aku tertawa ketika kau sudah bercerita tentang keseharianmu, tentang keresahanmu, tentang orang-orang sekita kita yang selalu mengingatkan kita untuk segera menikah. Di mana itu semua?
***
"Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu lebih banyak diam." Tanyaku penasaran. Bagaimana tidak? Sudah tiga kaleng bir Ia habiskan.
Aku tahu, bir adalah caramu untuk bisa menengkan. Katamu,"Rasa bir itu pahit. Aku suka meminumnya ketika hari-hariku sepahit bir. Semoga pahit bertemu pahit akan berubah manis."
Logika yang sulit diterima tapi, setiap orang punya cara yang berbeda. Ini hanya soal sugesti yang dikirim untuk diri sendiri.
Aku bingung, sepahit apa yang kini kau rasakan? Dan, kenapa kau tidak ceritakan? Katamu, aku adalah pendengar yang baik.
"Kenapa sih kamu ingin sekali berbulan madu di Jogja?" Kau malah bertanya, padahal pertanyaanku tadi belum dijawab.
"Yaa, karena Jogja itu manis. Dari makanannya, suasananya, orang-orangnya, sampai istri yang aku bawa." Aku tersenyum. Entah karena apa? Tapi, baru juga membayangkan, sudah bisa membuatku tersenyum.
"Apa benar ketika nanti sudah menikah, istri mesti nurut apa kata lelaki?"
"Eum … " Pertanyaanmu semakin tak terarahkan. Aku tahu kau peminum bukan pemabuk tapi, yang aku lihat sekarang adalah pemabuk. "Katanya sih, iyah. Tapi, selama masih bisa dibicarakan lebih dulu, mungkin lebih baik. Menurut-pun bukan karena terpaksa."
"Jogja? Aku, …"
Aku baru ingat, Jogja adalah tempat kau dulu menjalin hubungan dengan mantanmu. Mantan yang kejam.
"Sayang … " Aku menggenggam tangannya. Berharap bisa juga menggenggam kepercayaannya selama ini. "Aku ingin membawamu ke sana, ke Jogja bersama menjalani awal cinta sehidup-semati, … selamanya."
Kau semakin tertunduk. Entah kenapa? Mungkin kepalamu sudah berat karena alkohol yang kini jadi jahat.
"Untuk bisa bahagia, kita mesti menciptakannya bukan mengenangnya." Aku terus menggengam tangan Grey. Dan Ia erat menggenggam.
Kau menciumku penuh kehangatan walau sudah tiga bir yang kau habiskan. Mulutmu bau.
***
Bulan madu kita tetap ke sana, ke Jogja. Ke tempat kau pernah terluka oleh orang yang dulu pernah kau cinta. Kini, kau pergi dengan suami yang benar-benar ingin membuatmu bahagia. Membuat hal yang pahit menjadi manis, membuat luka menjadi cinta.
Itulah bulan madu kita ke Jogja. Tempat kita berlibur setelah lama berkerja memikirkan pernikahan. Kini giliranku yang membuatmu tertawa, menceritakan keresahanmu menjadi sebuah canda. Kita bahagia saat bersama di liburan ini. Liburan yang sering orang-orang bilang: Bulan Madu.
Teringat sebuah prosa Duplikat Kunci
Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Kata Mata
By : Harry RamdhaniPerjumpaan kita memang sesaat, tanpa mulut yang berucap, dan hanya saling menatap …
Awalnya aku tidak heran dengan kedatanganmu bersama lelaki gendut yang perutnya seperti beruang. Pastinya Ia banyak uang. Begitu dugaanku.
Jaman sekarang, melihat laki-laki tua dengan perempuan muda bukanlah hal baru yang tabu …
Aku duduk bersebrangan dua meja dari tempat kau berada bersama lelaki tua. Matamu yang layu seakan habis melakukan aktivitas melepas celana dan pasti tanpa baju.
Posisi kita bersebrangan dan mata kiita bertatapan …
Alis kananmu kau angkat sekali, yang berarti: Hai!! Aku membalas dengan mengangkat kedua alisku yang artinya: Hai juga!!
Sejak saat itu mata kita saling berbicara. Membicarakan banyak cerita seperti ketika kau mulai sering membodohi lelaki gendut yang kini ada di hadapanmu sampai memintanya bercerai dengan istri yang katanya sudah tidak dicintai.
Bola matamu bergerak ke sana-ke mari tapi, mulutnya tetap meladeni segala gombalan kacrut dari lelaki ini. Kau sungguh lihai, sudah berpengalam dalam hal-hal semacam ini dan mungkin aku nanti yang akan jadi korbanmu. Tak apa, karena aku tahu ini buka cinta. Ini sebatas obrolan empat mata yang tak tahu berakhir di mana.
Nasi gorengku datang lebih dulu, aku lihat ada air yang meluncur deras di tenggorokanmu. Mataku meledek dan kau tersipu malu.
Disuapan terakhir, aku sekali lagi melirikmu, kau sudah semakin mesra atau terpaksa tertawa di depan lelaki tua. Matamu melirik dua kali ke kanan, "Bawa aku pulang." Begitu katamu lewat matamu. Aku melirik k bawah, "Ada dia, caranya?" Jawabku.
Akhirnya aku tahu, ternyata tawamu palsu. Kini kau murung, terlihat dari matamu. Katanya, cinta datang dari mata dan turun ke hati. Aku tidak percaya. Aku hanya melihat ada orang yang terpaksa melakukan semua. Tidak ada cinta. Lebih baik aku meninggalkanmu berdua dengannya. Dengan orang yang telah membawamu bertemu denganku.
Jika kita jodoh, pasti bertemu lagi. Aku baru percaya itu.
Perpustakaan Teras Baca, 19 Juli 2013
Awalnya aku tidak heran dengan kedatanganmu bersama lelaki gendut yang perutnya seperti beruang. Pastinya Ia banyak uang. Begitu dugaanku.
Jaman sekarang, melihat laki-laki tua dengan perempuan muda bukanlah hal baru yang tabu …
Aku duduk bersebrangan dua meja dari tempat kau berada bersama lelaki tua. Matamu yang layu seakan habis melakukan aktivitas melepas celana dan pasti tanpa baju.
Posisi kita bersebrangan dan mata kiita bertatapan …
Alis kananmu kau angkat sekali, yang berarti: Hai!! Aku membalas dengan mengangkat kedua alisku yang artinya: Hai juga!!
Sejak saat itu mata kita saling berbicara. Membicarakan banyak cerita seperti ketika kau mulai sering membodohi lelaki gendut yang kini ada di hadapanmu sampai memintanya bercerai dengan istri yang katanya sudah tidak dicintai.
Bola matamu bergerak ke sana-ke mari tapi, mulutnya tetap meladeni segala gombalan kacrut dari lelaki ini. Kau sungguh lihai, sudah berpengalam dalam hal-hal semacam ini dan mungkin aku nanti yang akan jadi korbanmu. Tak apa, karena aku tahu ini buka cinta. Ini sebatas obrolan empat mata yang tak tahu berakhir di mana.
Nasi gorengku datang lebih dulu, aku lihat ada air yang meluncur deras di tenggorokanmu. Mataku meledek dan kau tersipu malu.
Disuapan terakhir, aku sekali lagi melirikmu, kau sudah semakin mesra atau terpaksa tertawa di depan lelaki tua. Matamu melirik dua kali ke kanan, "Bawa aku pulang." Begitu katamu lewat matamu. Aku melirik k bawah, "Ada dia, caranya?" Jawabku.
Akhirnya aku tahu, ternyata tawamu palsu. Kini kau murung, terlihat dari matamu. Katanya, cinta datang dari mata dan turun ke hati. Aku tidak percaya. Aku hanya melihat ada orang yang terpaksa melakukan semua. Tidak ada cinta. Lebih baik aku meninggalkanmu berdua dengannya. Dengan orang yang telah membawamu bertemu denganku.
Jika kita jodoh, pasti bertemu lagi. Aku baru percaya itu.
Perpustakaan Teras Baca, 19 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Bayangan di Tengah Siang
By : Harry RamdhaniUntuk seorang wanita yang kucinta …
Mamah…
Aku tak bisa berhenti menangis saat segal ritual akademisi usai dan tali toga yang telha berpindah. Apalagi saat menyadari bahwa ini bukanlah mimpi di alam surgawi, juga … saat sujudku menghadap lelaki tua berdikari.
gambar dari
Di atas sejadah ini
aku menangis, belum bisa percaya ini terjadi
begitu cepat tak terkendali.
Ketika telah usai,
ternyata kau masih di sini.
Batinku,"Aku sendiri, tak ada yang menemani
meratapi kehidupan yang terus-menerus pula begini,
tapi,
kau dan Tuhan tetap berada di sisi."
Kata orang: aku hidup di dalam sangkar.
Sangkar emas lelaki berhati keras.
***
Siang ini sungguh terik,
dengan jemari, aku akan mulai mengetik.
Entahlah, sampai di mana menjumpai titik,
mungkin setelah semua orang berhenti mengkritik.
***
Masih ingatkah kau saat mengajariku berdo'a?
ketika kedua tangan kau angkat,
ketika kedua mata ini kau tutup rapat,
dan, ketika itu pula aku bisa menjumpaimu,
… walau sekejap.
***
Kala dingin sudah enggan jadi sandaran
maka aku sadar, ada kau bersama Tuhan.
Kala kesedihan menjumpai
maka aku tidak lupa, ada kau dan Tuhan dalam hati.
Masih belum percaya, semua usai sudah.
Mamah … restui 'lah
anakmu yang akan menulis serangkai
kata-kata baru di BAB berikut sampai selesai.
Sampai semua kata kurangkai,
kujadikan kalimat,
kupertemukan dengan titik.
***
Aku ingat ucapanmu,
"Berusaha 'lah, karena keputusan adalah urusan Tuhan."
Pikirku liar dalam sebuah persepsi,
ucapku meluncur tajam menjadi asumsi,
membentuk pertanyaan berupa asumsi,
"Benarkah kau menggoda Tuhan? Itu pasti."
***
Aku tengah berselingkuh dengan lelaki lain.
Maaf, mungkin
aku akan mengikuti jejakmu … pergi.
Meninggalkan lelaki tua berhati
kekar yang sama-sama kita cintai.
Izinkan aku meninggalkannya karena cinta.
Cinta untuk menapak keluar dari ruang emas
dan melangkah masuk ke dalam ruang rindu tak beralas.
Aku adalah sebagian darimu yang tersisa,
dan akan terus melayani
perintah lelaki yang pernah kita jumpai.
Karena kau adalah bayanganku di tengah siang.
versi asli dari 'Bayangan di Tengah Siang', tanpa editing, tanpa ada kata yang di sunting.
Perpustakaan Teras Baca, 18 Juli 2013
Mamah…
Aku tak bisa berhenti menangis saat segal ritual akademisi usai dan tali toga yang telha berpindah. Apalagi saat menyadari bahwa ini bukanlah mimpi di alam surgawi, juga … saat sujudku menghadap lelaki tua berdikari.
Bayangan di Tengah Siang
gambar dari
Di atas sejadah ini
aku menangis, belum bisa percaya ini terjadi
begitu cepat tak terkendali.
Ketika telah usai,
ternyata kau masih di sini.
Batinku,"Aku sendiri, tak ada yang menemani
meratapi kehidupan yang terus-menerus pula begini,
tapi,
kau dan Tuhan tetap berada di sisi."
Kata orang: aku hidup di dalam sangkar.
Sangkar emas lelaki berhati keras.
***
Siang ini sungguh terik,
dengan jemari, aku akan mulai mengetik.
Entahlah, sampai di mana menjumpai titik,
mungkin setelah semua orang berhenti mengkritik.
***
Masih ingatkah kau saat mengajariku berdo'a?
ketika kedua tangan kau angkat,
ketika kedua mata ini kau tutup rapat,
dan, ketika itu pula aku bisa menjumpaimu,
… walau sekejap.
***
Kala dingin sudah enggan jadi sandaran
maka aku sadar, ada kau bersama Tuhan.
Kala kesedihan menjumpai
maka aku tidak lupa, ada kau dan Tuhan dalam hati.
Masih belum percaya, semua usai sudah.
Mamah … restui 'lah
anakmu yang akan menulis serangkai
kata-kata baru di BAB berikut sampai selesai.
Sampai semua kata kurangkai,
kujadikan kalimat,
kupertemukan dengan titik.
***
Aku ingat ucapanmu,
"Berusaha 'lah, karena keputusan adalah urusan Tuhan."
Pikirku liar dalam sebuah persepsi,
ucapku meluncur tajam menjadi asumsi,
membentuk pertanyaan berupa asumsi,
"Benarkah kau menggoda Tuhan? Itu pasti."
***
Aku tengah berselingkuh dengan lelaki lain.
Maaf, mungkin
aku akan mengikuti jejakmu … pergi.
Meninggalkan lelaki tua berhati
kekar yang sama-sama kita cintai.
Izinkan aku meninggalkannya karena cinta.
Cinta untuk menapak keluar dari ruang emas
dan melangkah masuk ke dalam ruang rindu tak beralas.
Aku adalah sebagian darimu yang tersisa,
dan akan terus melayani
perintah lelaki yang pernah kita jumpai.
Karena kau adalah bayanganku di tengah siang.
versi asli dari 'Bayangan di Tengah Siang', tanpa editing, tanpa ada kata yang di sunting.
Perpustakaan Teras Baca, 18 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Lari Tanpa Henti [1]
By : Harry RamdhaniSejak kecil, aku suka melihat orang berlari. Berlari itu pindah dari
titik ke titik lainnya dengan cepat, seperti kilat. Layaknya penjahat.
Buktinya dalam film action, aku lebih suka melihat penjahat daripada
jagoan. Kenapa? Karena penjahat terus berlari. Jika sedang terdesak,
Ia hanya bisa berlari tanpa berpikir sebentar untuk berhenti. Berlari
dengan cepat supaya bisa selamat. Lari dan berlari.
Banyak film yang aku suka dan tentu banyak adegan berlarinya, seperti:
Laskar Pelangi
Wuihh, aku sangat suka film ini dan hampir setiap adegan pasti mereka berlari. Dari mereka aku belajar bahwa mimpi baru bisa direnggut jika berlari dan tahu mesti dimana untuk berhenti. Bagaimana mungkin ada sekolah Muhammadiyah bila Harun tidak berlari?
Sang Pemimpi
Aku suka film Sang Pemimpi, layaknya mengingat kenakalan semasa SMA dan penuh duka kecewa. Mereka berlari karena mesti mengejar ucapan gurunya, berlari mengejar Universitas Sorbonne di Prancis.
***
Kalian tahu? Hal tersulit adalah menaklukan diri sendiri. Boro-boro menaklukan, untuk menganalpun sulit. Jika berlari, Pasti merasakan ada yang menyatu dengan diri sendiri. Mengenal batasan, sampai mengetahui kemampuan demi bisa menaklukan. Hal yang paling menyenangkan dari berlari adalah saling beradu balap dengan bayangan sendiri. Di sana ada motivasi. Sesuatu yang mendorong agar terus berlari tanpa henti.
Berlari adalah olahraga paling murah. Tidak ada budget, namun menyehatkan.
***
Rabu sore di warung kopi.
Sebuah pesan singkat yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebuah tawaran untuk mengisi di acara Seminar Kanker Serviks. Tawaran pertama sejak lahirnya sebuah komunitas baru stand-up comedy. Sejak saat itu terjadi keseriusan untuk melanjutkan. Tanpa pikir panjang, aku ingin melawan diriku sendiri. Dengan tantangan tentunya. Sejak kecil aku percaya akan satu hal: keseriusan mesti dibarengi dengan tantangan.
Namun apa? Tantangan seperti apa yang mesti aku lakukan?
Saat itu yang sedang ramai di kampus adalah 'Bike to Campus'. Dan aku tahu, itu tidak akan berjalan lama. Sudahku duga. Aku mulai berpikir, naik motor ke kampus … hampir setiap hari; naik angkutan umum … sudah juga; ke kampus dengan sepeda … pernah, walaupun boleh minjem. AHA!! Ke kampus jalan kaki? Belum. Aku pernah baca di salah satu surat kabar ada seorang kakek berjalan kaki dari Malang ke Jakarta demi menuntut keadilan. Aku juga bisa, dari rumah ke kampus demi melawan tantangan. Formatnya saja yang sama namun kontennya berbeda, dia menuntut keadilan dan aku melawan tantangan. Seperti stand-up comedy.
Selasa, 5 Juni 2012
Selasa pagi, pukul 05:05am
Sudah saatnya aku berlari, dari rumah menuju kampus …
Perpustakaan Teras Baca, 16 Juli 2013
Banyak film yang aku suka dan tentu banyak adegan berlarinya, seperti:
Laskar Pelangi
Wuihh, aku sangat suka film ini dan hampir setiap adegan pasti mereka berlari. Dari mereka aku belajar bahwa mimpi baru bisa direnggut jika berlari dan tahu mesti dimana untuk berhenti. Bagaimana mungkin ada sekolah Muhammadiyah bila Harun tidak berlari?
Sang Pemimpi
Aku suka film Sang Pemimpi, layaknya mengingat kenakalan semasa SMA dan penuh duka kecewa. Mereka berlari karena mesti mengejar ucapan gurunya, berlari mengejar Universitas Sorbonne di Prancis.
***
Kalian tahu? Hal tersulit adalah menaklukan diri sendiri. Boro-boro menaklukan, untuk menganalpun sulit. Jika berlari, Pasti merasakan ada yang menyatu dengan diri sendiri. Mengenal batasan, sampai mengetahui kemampuan demi bisa menaklukan. Hal yang paling menyenangkan dari berlari adalah saling beradu balap dengan bayangan sendiri. Di sana ada motivasi. Sesuatu yang mendorong agar terus berlari tanpa henti.
Berlari adalah olahraga paling murah. Tidak ada budget, namun menyehatkan.
***
Rabu sore di warung kopi.
Sebuah pesan singkat yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebuah tawaran untuk mengisi di acara Seminar Kanker Serviks. Tawaran pertama sejak lahirnya sebuah komunitas baru stand-up comedy. Sejak saat itu terjadi keseriusan untuk melanjutkan. Tanpa pikir panjang, aku ingin melawan diriku sendiri. Dengan tantangan tentunya. Sejak kecil aku percaya akan satu hal: keseriusan mesti dibarengi dengan tantangan.
Namun apa? Tantangan seperti apa yang mesti aku lakukan?
Saat itu yang sedang ramai di kampus adalah 'Bike to Campus'. Dan aku tahu, itu tidak akan berjalan lama. Sudahku duga. Aku mulai berpikir, naik motor ke kampus … hampir setiap hari; naik angkutan umum … sudah juga; ke kampus dengan sepeda … pernah, walaupun boleh minjem. AHA!! Ke kampus jalan kaki? Belum. Aku pernah baca di salah satu surat kabar ada seorang kakek berjalan kaki dari Malang ke Jakarta demi menuntut keadilan. Aku juga bisa, dari rumah ke kampus demi melawan tantangan. Formatnya saja yang sama namun kontennya berbeda, dia menuntut keadilan dan aku melawan tantangan. Seperti stand-up comedy.
Selasa, 5 Juni 2012
Selasa pagi, pukul 05:05am
Sudah saatnya aku berlari, dari rumah menuju kampus …
Perpustakaan Teras Baca, 16 Juli 2013
Tag :
Lari dan Lari,
Senyuman
By : Harry RamdhaniMungkin itulah yang membuatku ingin terus habiskan waktu denganmu seperti malam ini…
Kau memang selalu tertutup, tidak pernah jelas merinci kebahagiaan bila bersamaku, tapi aku sadar bahwa senyummu adalah awal dari kebahagiaanmu…
Tiba-tiba aku teringat perbincanganku dengan Lidya, salah seorang sahabat dekatmu. Pada saat itu Lidya menceritakan banyak tentang dirimu yang aku tidak tahu…
Ini karena sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Sejak itu juga rasa ada yang berbeda. Bahagiaku sulit untuk ditunjukkan, amarahku semakin tidak karuan, bahkan sedihku pun serta-merta melayang…
Walau kini kau tanpa sehelai benang, aku tak nafsu untuk lakukan. Tak ingin hanya sekedar mencari keringat dari sebuah badan mungil yang ada di hadapan…
Senyummu…
Sama seperti dulu, tapi sekarang seperti ada dua benang yang menarik dari pinggir bibirmu…
Terpaksa…
Atau…
Memang bahagia…
Tak jelas. Itulah kau dengan segala ciri khas, dengan senyum manis yang selalu tinggalkan bekas…
Aku masih ingin melihat senyummu, yang bisa mengubah duka menjadi suka, yang bisa timbulkan amarah menjadi gairah, yang bisa satukan suasana hampa menjadi wujud realita…
Tak usah kau suruh aku untuk berjanji, untuk tetap mengikat rasa sehidup-semati. Karena senyummu kini buka seperti yang dulu lagi…
Perpustakaan Teras Baca, 17 Juli 2013
Kau memang selalu tertutup, tidak pernah jelas merinci kebahagiaan bila bersamaku, tapi aku sadar bahwa senyummu adalah awal dari kebahagiaanmu…
Tiba-tiba aku teringat perbincanganku dengan Lidya, salah seorang sahabat dekatmu. Pada saat itu Lidya menceritakan banyak tentang dirimu yang aku tidak tahu…
Ini karena sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Sejak itu juga rasa ada yang berbeda. Bahagiaku sulit untuk ditunjukkan, amarahku semakin tidak karuan, bahkan sedihku pun serta-merta melayang…
Walau kini kau tanpa sehelai benang, aku tak nafsu untuk lakukan. Tak ingin hanya sekedar mencari keringat dari sebuah badan mungil yang ada di hadapan…
Senyummu…
Sama seperti dulu, tapi sekarang seperti ada dua benang yang menarik dari pinggir bibirmu…
Terpaksa…
Atau…
Memang bahagia…
Tak jelas. Itulah kau dengan segala ciri khas, dengan senyum manis yang selalu tinggalkan bekas…
Aku masih ingin melihat senyummu, yang bisa mengubah duka menjadi suka, yang bisa timbulkan amarah menjadi gairah, yang bisa satukan suasana hampa menjadi wujud realita…
Tak usah kau suruh aku untuk berjanji, untuk tetap mengikat rasa sehidup-semati. Karena senyummu kini buka seperti yang dulu lagi…
Perpustakaan Teras Baca, 17 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Gita Cinta Ramadhan
By : Harry Ramdhani"Sebenarnya apa yang bisa membuatku bahagia?" Pertanyaan itu muncul kala
aku sedang melamun menikmati senja. Eum, … aku pikir bukan harta,
tahta, bahkan seorang wanita, tapi bulan ramadhan yang telah tiba.
***
Layaknya musim panas di Amerika. Bulan Ramdhan adalah bulan yang sering ditunggu kita. Apapun agama yang dianut, semua bisa merasakan bahwa ramdhan mengajarkan untuk lebih toleran. Terhadap sesama maupun mereka yang berbeda.
Mana mungkin aku bisa murung ketika Ramadhan tiba? Di sana, aku bisa melihat banyak yang tertawa, bebas dalam bercanda, namun tetap saling menjaga batas mereka. Sebabnya hanya satu: bulan ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Bahkan Tuhan-pun kadang ikut tertawa.
Banyak yang bilang, "Bulan puasa ini berasa sama, gak ada beda." Mungkin Ia lupa, pasti ada indikator datangnya bulan puasa, menurutku yaitu ketika sholat subuh di hari pertama puasa. Di sana benar-benar terasa bulan puasa. Di Masjid banyak anak-anak yang datang, para perempuan berjalan beriringan, dan para laki-laki berdandan untuk menarik perhatian. Gita Cinta Kala Ramadhan.
Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan anak-anak kecil ketika sedang sembayang. Pasti di sana kita sadar, sadar bahwa ada orang jarang sembayang subuh. Ketika do'a qunut, anak-anak malah sujud. Tapi, melihat para bapak-bapak mengangkat tangan, mereka (anak-anak kecil) kembali bangun. Ada saja yang malah lepas tertawa.
Begitulah bulan ramadhan ketika tiba. Segala pernik Ramadhan seperti itu membuatku ingin kembali ke masa kecil. Menjadi mereka bisa lepas tertawa.
Namun, ada saja yang membuatku tidak suka ketika Ramadhan, yaitu petasan. Mendengar ledakannya, jatungku langsung berdebar. Mencium baunya, mual yang dirasa.
Asal kalian tahu, aku lahir saat bulan ramadhan. Saat semua orang sedang menahan lapar, dari rahim ibuku, aku keluar. Saat teriknya siang, ibuku berteriak dan ayahku berubah jadi burung merak. Alah, apa sih. Tapi, ketika ayahku menceritakan prosesi lahirku, sungguh menyedihkan. Jadi gini, Uang yang ada didompet ayahku hanya seratus ribu. Biaya persalinanku --yang bukan di rumah sakit ataupun bidan-- juga seratus ribu. Mana mungkin, nanti buka puasa dengan apa? Nanti untuk mengurus administrasi di desa dengan apa? Nanti untuk mengurus yang lain bagaimana? Uangnya mana? Yang jelas hanya segitu-gitunya.
Dengan sedikit lobi ke … Mak Nyak --begitu ayahku memanggilnya-- akhirnya ayahku mebayarnya secara mencicil. Bayaran pertama 80ribu, sisanya nanti. Dan, ayahku langsung mengurus segala administrasi untuk Akte Kelahiran. Sisa uang tinggal 20ribu, dipakai ongkos dan tinggal 15ribu. Ternyata, biaya membuat Akte Kelahiran adalah 20ribu --Hingga akhirnya aku tahu, ternyata memiliki Akte Kelahiran adalah Hak setiap Anak di Indonesia. Jadi bebas biaya, tapi di sini malah dipungut biaya. Dasar sumbu kompor minyak, nyedot mulu kerjanya--. Lagi, dengan lobi, ayahku mencicil Akte Kelahiranku. Katanya, "Bayar 10ribu dulu, sisanya nanti ketika selesai." Dengan uang lima ribu, Ayahku pulang dan hanya berbuka puasa pakai air putih. Ayahku melakukan itu ketika bulan puasa, semoga yang Ia lakukan atas se-izin Tuhan. Aku lahir dengan penuh tunggakan. Aku lahir dari seorang ayah yang rela berkorban demi kelahiran anaknya ini. Anaknya yang kemudian diberi nama: Harry Ramdhani.
***
Begitulah ramadhan dengan segala perniknya. Aku bahagia bila ramadhan tiba.
Perpustakaan Teras Baca, 15 Juli 2013
***
Layaknya musim panas di Amerika. Bulan Ramdhan adalah bulan yang sering ditunggu kita. Apapun agama yang dianut, semua bisa merasakan bahwa ramdhan mengajarkan untuk lebih toleran. Terhadap sesama maupun mereka yang berbeda.
Mana mungkin aku bisa murung ketika Ramadhan tiba? Di sana, aku bisa melihat banyak yang tertawa, bebas dalam bercanda, namun tetap saling menjaga batas mereka. Sebabnya hanya satu: bulan ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Bahkan Tuhan-pun kadang ikut tertawa.
Banyak yang bilang, "Bulan puasa ini berasa sama, gak ada beda." Mungkin Ia lupa, pasti ada indikator datangnya bulan puasa, menurutku yaitu ketika sholat subuh di hari pertama puasa. Di sana benar-benar terasa bulan puasa. Di Masjid banyak anak-anak yang datang, para perempuan berjalan beriringan, dan para laki-laki berdandan untuk menarik perhatian. Gita Cinta Kala Ramadhan.
Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan anak-anak kecil ketika sedang sembayang. Pasti di sana kita sadar, sadar bahwa ada orang jarang sembayang subuh. Ketika do'a qunut, anak-anak malah sujud. Tapi, melihat para bapak-bapak mengangkat tangan, mereka (anak-anak kecil) kembali bangun. Ada saja yang malah lepas tertawa.
Begitulah bulan ramadhan ketika tiba. Segala pernik Ramadhan seperti itu membuatku ingin kembali ke masa kecil. Menjadi mereka bisa lepas tertawa.
Namun, ada saja yang membuatku tidak suka ketika Ramadhan, yaitu petasan. Mendengar ledakannya, jatungku langsung berdebar. Mencium baunya, mual yang dirasa.
Asal kalian tahu, aku lahir saat bulan ramadhan. Saat semua orang sedang menahan lapar, dari rahim ibuku, aku keluar. Saat teriknya siang, ibuku berteriak dan ayahku berubah jadi burung merak. Alah, apa sih. Tapi, ketika ayahku menceritakan prosesi lahirku, sungguh menyedihkan. Jadi gini, Uang yang ada didompet ayahku hanya seratus ribu. Biaya persalinanku --yang bukan di rumah sakit ataupun bidan-- juga seratus ribu. Mana mungkin, nanti buka puasa dengan apa? Nanti untuk mengurus administrasi di desa dengan apa? Nanti untuk mengurus yang lain bagaimana? Uangnya mana? Yang jelas hanya segitu-gitunya.
Dengan sedikit lobi ke … Mak Nyak --begitu ayahku memanggilnya-- akhirnya ayahku mebayarnya secara mencicil. Bayaran pertama 80ribu, sisanya nanti. Dan, ayahku langsung mengurus segala administrasi untuk Akte Kelahiran. Sisa uang tinggal 20ribu, dipakai ongkos dan tinggal 15ribu. Ternyata, biaya membuat Akte Kelahiran adalah 20ribu --Hingga akhirnya aku tahu, ternyata memiliki Akte Kelahiran adalah Hak setiap Anak di Indonesia. Jadi bebas biaya, tapi di sini malah dipungut biaya. Dasar sumbu kompor minyak, nyedot mulu kerjanya--. Lagi, dengan lobi, ayahku mencicil Akte Kelahiranku. Katanya, "Bayar 10ribu dulu, sisanya nanti ketika selesai." Dengan uang lima ribu, Ayahku pulang dan hanya berbuka puasa pakai air putih. Ayahku melakukan itu ketika bulan puasa, semoga yang Ia lakukan atas se-izin Tuhan. Aku lahir dengan penuh tunggakan. Aku lahir dari seorang ayah yang rela berkorban demi kelahiran anaknya ini. Anaknya yang kemudian diberi nama: Harry Ramdhani.
***
Begitulah ramadhan dengan segala perniknya. Aku bahagia bila ramadhan tiba.
Perpustakaan Teras Baca, 15 Juli 2013
Tag :
cosmic g-spot,
Mereka di Penjara Neraka
By : Harry RamdhaniSoal melanggar aturan, aku jagonya
dan hukuman adalah teman.
Tidak peduli itu ringan
atau sampai menghancurkan badan.
Aku pikir, kadang aturan
sulit dinalar pikiran,
diterima secara seksama.
Bagiku, aturan ada untuk dilanggar.
Semua karena ketidak-adilan,
karena sore itu, aku dipertemukan
dengan cahaya redup di dalam ruangan,
DAN tergeletak manusia tanpa nyawa,
tanpa ada bala-bantuan,
tertinggal nyawa, hanya meninggalkan badan.
Kata mereka: Ini termasuk dalam hukuman.
Ahh, persetan!!
Sejak saat itu terisisa
luka,
kecewa,
dan, hingga
tidak bisa percaya.
Beginikah Indonesia?
Membiarkan terdakwa mati
karena sakit
sama saja seperti
menghina koruptor.
Biarpun sudah didakwa
tapi, masih saja dihina.
Di mana hati nurani kalian semua?
Di mana akal-budinya?
***
Aku, bersama teman-teman
sudah hidup liar -tak karuan-,
di penjara, di jalan, di kolong jembatan.
Pokoknya sudah kami telan.
Rasanya: enak,
jika dinikmati penuh penghayantan.
Hidup sungguh kejam,
satu per-satu temanku diambil Tuhan.
Caranya-pun beragam:
ada yang tertembak di dada sebelah kanan,
ada yang tertabrak mobil keamanan,
ada yang … sudahlah.
Namun, aku masih ingat ucapan
mereka sebelum pergi meninggalkan,
"Terang …
tanda kita selalu bersama
Temani …
keceriaan selamanya
akankah berubah gelap?
Biarkan waktu menjawab."
Itu temanku saat sekarat di tempat
persembunyian saat masih dalam pengejaran
para aparat laknat.
***
"Biarkan waktu menjawab."
Entah sampai kapan ini berakhir?
Sebuah pengejaran yang melelahkan,
tangkap saja aku, supaya bisa bertemu
teman-temanku yang terlebih dahulu
meninggalkanku.
Tak peduli di neraka!!
bersama mereka, aku percaya.
Daripada janji manis surga
tapi menghancurkan sesama.
Aku ingin sekali bertemu …
Harry dan Peneras Baca.
Perpustakaan Teras Baca, 14 Juli 2013
dan hukuman adalah teman.
Tidak peduli itu ringan
atau sampai menghancurkan badan.
Aku pikir, kadang aturan
sulit dinalar pikiran,
diterima secara seksama.
Bagiku, aturan ada untuk dilanggar.
Semua karena ketidak-adilan,
karena sore itu, aku dipertemukan
dengan cahaya redup di dalam ruangan,
DAN tergeletak manusia tanpa nyawa,
tanpa ada bala-bantuan,
tertinggal nyawa, hanya meninggalkan badan.
Kata mereka: Ini termasuk dalam hukuman.
Ahh, persetan!!
Sejak saat itu terisisa
luka,
kecewa,
dan, hingga
tidak bisa percaya.
Beginikah Indonesia?
Membiarkan terdakwa mati
karena sakit
sama saja seperti
menghina koruptor.
Biarpun sudah didakwa
tapi, masih saja dihina.
Di mana hati nurani kalian semua?
Di mana akal-budinya?
***
Aku, bersama teman-teman
sudah hidup liar -tak karuan-,
di penjara, di jalan, di kolong jembatan.
Pokoknya sudah kami telan.
Rasanya: enak,
jika dinikmati penuh penghayantan.
Hidup sungguh kejam,
satu per-satu temanku diambil Tuhan.
Caranya-pun beragam:
ada yang tertembak di dada sebelah kanan,
ada yang tertabrak mobil keamanan,
ada yang … sudahlah.
Namun, aku masih ingat ucapan
mereka sebelum pergi meninggalkan,
"Terang …
tanda kita selalu bersama
Temani …
keceriaan selamanya
akankah berubah gelap?
Biarkan waktu menjawab."
Itu temanku saat sekarat di tempat
persembunyian saat masih dalam pengejaran
para aparat laknat.
***
"Biarkan waktu menjawab."
Entah sampai kapan ini berakhir?
Sebuah pengejaran yang melelahkan,
tangkap saja aku, supaya bisa bertemu
teman-temanku yang terlebih dahulu
meninggalkanku.
Tak peduli di neraka!!
bersama mereka, aku percaya.
Daripada janji manis surga
tapi menghancurkan sesama.
Aku ingin sekali bertemu …
Harry dan Peneras Baca.
Perpustakaan Teras Baca, 14 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Biodata Dalam Diary
By : Harry RamdhaniDihadapan HRD, aku tertunduk. Lupa mengingat apa yang menjadi hobiku
sendiri. Hobi? Aku hanya tahu hoby dari buku diary--tepatnya biodata
diri-- semasa masih sekolah dasar. Disana aku menuliskan, "Hobi:
Ngerjain PR setiap hari biar gak dihukum guru."
Bagiku, hobi adalah kegiatan yang selalu rutin dilakukan, seperti ibadah mungkin. Namun, tak etis saja menulis ibadah di biodata diri. Segala bentuk yang kita yakini memang tak perlu lagi ditulis. Jadi, aku sedikit kurang setuju bila di kartu tanda pengenal dituliskan 'Agama:', untuk apa ditulis? Toh, jika sedang terkena musibah tidak perlu membedakan agama yang diyakini dahulu untuk membantunya. Dasar bodoh.
***
"Jadi, apa hobimu?" HRD kembali menanyakan yang sama.
Aku masih belum bisa menaikan kepala untuk sekedar melihatnya. Jujur, aku masih bingung mesti menjawab apa.
"Apa kamu tidak memiliki hobi?"
Sekali lagi belum bisa satupun pertanyaan yang bisa aku jawab. Andai itu soal matematika, pasti sudah habis aku lahap. Semisal aku jujur padanya (baca: HRD), pasti hanya jadi bahan tertawaan. Atau hal terburuknya, diusir secara tidak terhormat dari dalam ruangan. Apa yang mesti aku lakukan? Aku ingin bekerja sekarang.
"Hobiku … "
"Ya, apa hobimu?"
"Eum,… Hobiku adalah mengerjakan PR. PR apapun pasti aku selesaikan."
"PR? Pekerjaan Rumah?"
"Benar, pak. Saya selalu mengerjakan segala tugas dan pasti saya selesaikan. Hobiku tidak seperti yang lain, bermain sepak bola, memancing atau yang lain-lain. Saya bisa melakukan semua tapi, ketika sedang saya lakukan mesti saya selesaikan. Tidak setengah-setengah."
"HAH!!"
"Maaf jika jawabanku tidak sepikiran, pak."
***
Sudah akhir bulan, saatnya gajian. Ini adalah tahun ke-tiga aku bekerja di perusahaan yang dulu membuat aku lama menunduk ketika ditanya sebuah pertanyaan dan aku jawab dengan tidak masuk akal. Tapi, aku bisa bekerja di sini karena sebuah kejujuran yang aku lakukan.
Perpustakaan Teras Baca, 13 Juli 2013
Bagiku, hobi adalah kegiatan yang selalu rutin dilakukan, seperti ibadah mungkin. Namun, tak etis saja menulis ibadah di biodata diri. Segala bentuk yang kita yakini memang tak perlu lagi ditulis. Jadi, aku sedikit kurang setuju bila di kartu tanda pengenal dituliskan 'Agama:', untuk apa ditulis? Toh, jika sedang terkena musibah tidak perlu membedakan agama yang diyakini dahulu untuk membantunya. Dasar bodoh.
***
"Jadi, apa hobimu?" HRD kembali menanyakan yang sama.
Aku masih belum bisa menaikan kepala untuk sekedar melihatnya. Jujur, aku masih bingung mesti menjawab apa.
"Apa kamu tidak memiliki hobi?"
Sekali lagi belum bisa satupun pertanyaan yang bisa aku jawab. Andai itu soal matematika, pasti sudah habis aku lahap. Semisal aku jujur padanya (baca: HRD), pasti hanya jadi bahan tertawaan. Atau hal terburuknya, diusir secara tidak terhormat dari dalam ruangan. Apa yang mesti aku lakukan? Aku ingin bekerja sekarang.
"Hobiku … "
"Ya, apa hobimu?"
"Eum,… Hobiku adalah mengerjakan PR. PR apapun pasti aku selesaikan."
"PR? Pekerjaan Rumah?"
"Benar, pak. Saya selalu mengerjakan segala tugas dan pasti saya selesaikan. Hobiku tidak seperti yang lain, bermain sepak bola, memancing atau yang lain-lain. Saya bisa melakukan semua tapi, ketika sedang saya lakukan mesti saya selesaikan. Tidak setengah-setengah."
"HAH!!"
"Maaf jika jawabanku tidak sepikiran, pak."
***
Sudah akhir bulan, saatnya gajian. Ini adalah tahun ke-tiga aku bekerja di perusahaan yang dulu membuat aku lama menunduk ketika ditanya sebuah pertanyaan dan aku jawab dengan tidak masuk akal. Tapi, aku bisa bekerja di sini karena sebuah kejujuran yang aku lakukan.
Perpustakaan Teras Baca, 13 Juli 2013
Tag :
cosmic g-spot,
Dear, Diary ... Sincerely, Harry …
By : Harry RamdhaniDear, Diary…
Jika aku ingat kemarin, rasanya sebal. Bagaimana tidak, apa yang aku lakuin hari itu (Kamis, 11 Juli 2013) bisa dihitung dengan sebelah jari. Mari.
Dear, Diary … Ke bengkel, …
Motorku serasa kakek-kakek renta yang dipaksa untuk sholat di lantai dua masjid raya. Bisa tapi, tergopoh-gopoh. Bila dipaksa terus berjalan, kelamaan aku yang akan jalan bersama motorku. Menggandengnya.
Sekitar jam tujuh pagi, aku mengantar papah ke stasiun bojonggede dengan motor. Pulangnya, aku bawa langsung ke bengkel. Dengan harapan dapat nomor urut depan. Ternyata benar, ini bisa kejadian, karena baru seorang cleaning servis menggotong ember berisi air sabun. Aku menunggu. Kadang, sesekali mengintip pekerjaan Cleaning Servis, ternyata, mengepel itu tak semudah menjalankan tamiya. Tinggal geser, langsung jalan. Mengepel itu mesti bolak-balik ditempat yang sama dan mesti bisa memastikan bahwa lantai ketika selesai di-pel sudah bersih.
Aku masih menunggu.
Satu per-satu orang datang, para montir berseragam menysul belakangan. Namun, di mana admin yang menjaga tempat pendaftaran? Masih juga belum datang. *murung*
Seorang ibu-ibu berkerudung datang yang kemudian belakangan aku ingat, Ia adalah wanita yang pernah aku tabrak karena ulahnya ugal-ugalan di jalan. *tidak perlu aku ceritakan di sini*. Aku mendaftar duluan, karena memang aku yang datang lebih awal daripada yang lain, mereka belakangan. Jika tidak percaya, boleh tanya Cleaning Servis yang sedang berjalan di seberang.
Motorku dibawa oleh seorang montir yang --aku kira umurnya tidak jauh dariku-- mengenakan seragam serba Honda dan sepatu khas para pekerja. Oprak-oprek-oprak-oprek, montir nanya, "Mas, ini mau diganti?" #DamnSitLol pertanyaan bodoh ketika masih pagi itu seakan menanyakan, "Mau ngapain pagi-pagi ke kamar mandi?" Jelas dong diganti, namanya juga lagi dibengkel. -_-*
Singkat cerita. Aku adalah konsumen nomor urut satu, dan sampai semua orang yang datangnya belakangan selesai diperbaiki, hanya tersisa aku dengan para kurcaci montir di sini. Memerlukan waktu empat jam untuk menyelesaikan. Waktu yang Terbuang, mungkin tepat untuk sebuah Mega Sinetron yang tayang diwaktu petang.
Dear, Diary … Pergi ke Kampus,…
Aku punya janji jam satu, tapi karena banyak yang terbuang waktuku dibengkel itu, aku terlambat. Aku benci terlambat. Niatnya pingin gathering malah cuma obrolan garing. Kenapa? karena aku terlambat. Apa akibatnya? obrolan jadi ke sana-ke mari.
Sedikit yang bisa tersampaikan karena terbatas oleh waktu menjelang petang. Aku mesti pulang.
Kalian tahu, ternyata hujan tak selamanya indah seperti pelangi saat datang. Aku menerobos hujan supaya bisa sampai di rumah tidak terlambat. Di langit, ada petir yang disertai kilat. Hujan semakin membabi-buta para pengendara, aku berteduh di salah satu kedai bakso. Penjualnya tidak seramah layaknya ingin menawarkan barang, jadi aku hanya memesan lalu melanjutkan perjalanan menerobos hujan.
Aku baru ingat, namanya bakso itu kuahnya panas. Dan bakso yang tadi aku beli disimpan di dalam tas. Punggungku kepanasan tapi, perjalanan masih lumayan panjang.
Dear, Diary … Ke Warnet Tutup,…
Waktuku tidak banyak untuk bisa menyelesaikan hari ini tanpa posting satu-pun tulisan di blog. Padahal aku sudah membuatnya dan disimpan dulu di Notes pesbuk. Maklum, tidak selamanya aku terkoneksi dengan jaringan internet.
Benar, #JuliNgeblog #Day11 sudah aku persiapkan sedari kemarin. Aku-pun sadar, tidak mungkin ke warnet di saat taraweh. Tidak sopan. Yasudah, sembari nunggu yang sekitar jam 9malem, aku habiskan baca-baca timeline orang. Dari sana, aku tahu akan satu hal, ternyata SPG tidak ada yang jelek. Bukan berarti aku bilang kalau kamu cantik, yah. Itulah kenyataannya.
Sudah jam 9malam, warnet sudah tutup. Juaaaaaancuk.
Sincerely, Harry …
Perpustakaan Teras Baca, 12 Juli 2013
Jika aku ingat kemarin, rasanya sebal. Bagaimana tidak, apa yang aku lakuin hari itu (Kamis, 11 Juli 2013) bisa dihitung dengan sebelah jari. Mari.
Dear, Diary … Ke bengkel, …
Motorku serasa kakek-kakek renta yang dipaksa untuk sholat di lantai dua masjid raya. Bisa tapi, tergopoh-gopoh. Bila dipaksa terus berjalan, kelamaan aku yang akan jalan bersama motorku. Menggandengnya.
Sekitar jam tujuh pagi, aku mengantar papah ke stasiun bojonggede dengan motor. Pulangnya, aku bawa langsung ke bengkel. Dengan harapan dapat nomor urut depan. Ternyata benar, ini bisa kejadian, karena baru seorang cleaning servis menggotong ember berisi air sabun. Aku menunggu. Kadang, sesekali mengintip pekerjaan Cleaning Servis, ternyata, mengepel itu tak semudah menjalankan tamiya. Tinggal geser, langsung jalan. Mengepel itu mesti bolak-balik ditempat yang sama dan mesti bisa memastikan bahwa lantai ketika selesai di-pel sudah bersih.
Aku masih menunggu.
Satu per-satu orang datang, para montir berseragam menysul belakangan. Namun, di mana admin yang menjaga tempat pendaftaran? Masih juga belum datang. *murung*
Seorang ibu-ibu berkerudung datang yang kemudian belakangan aku ingat, Ia adalah wanita yang pernah aku tabrak karena ulahnya ugal-ugalan di jalan. *tidak perlu aku ceritakan di sini*. Aku mendaftar duluan, karena memang aku yang datang lebih awal daripada yang lain, mereka belakangan. Jika tidak percaya, boleh tanya Cleaning Servis yang sedang berjalan di seberang.
Motorku dibawa oleh seorang montir yang --aku kira umurnya tidak jauh dariku-- mengenakan seragam serba Honda dan sepatu khas para pekerja. Oprak-oprek-oprak-oprek, montir nanya, "Mas, ini mau diganti?" #DamnSitLol pertanyaan bodoh ketika masih pagi itu seakan menanyakan, "Mau ngapain pagi-pagi ke kamar mandi?" Jelas dong diganti, namanya juga lagi dibengkel. -_-*
Singkat cerita. Aku adalah konsumen nomor urut satu, dan sampai semua orang yang datangnya belakangan selesai diperbaiki, hanya tersisa aku dengan para kurcaci montir di sini. Memerlukan waktu empat jam untuk menyelesaikan. Waktu yang Terbuang, mungkin tepat untuk sebuah Mega Sinetron yang tayang diwaktu petang.
Dear, Diary … Pergi ke Kampus,…
Aku punya janji jam satu, tapi karena banyak yang terbuang waktuku dibengkel itu, aku terlambat. Aku benci terlambat. Niatnya pingin gathering malah cuma obrolan garing. Kenapa? karena aku terlambat. Apa akibatnya? obrolan jadi ke sana-ke mari.
Sedikit yang bisa tersampaikan karena terbatas oleh waktu menjelang petang. Aku mesti pulang.
Kalian tahu, ternyata hujan tak selamanya indah seperti pelangi saat datang. Aku menerobos hujan supaya bisa sampai di rumah tidak terlambat. Di langit, ada petir yang disertai kilat. Hujan semakin membabi-buta para pengendara, aku berteduh di salah satu kedai bakso. Penjualnya tidak seramah layaknya ingin menawarkan barang, jadi aku hanya memesan lalu melanjutkan perjalanan menerobos hujan.
Aku baru ingat, namanya bakso itu kuahnya panas. Dan bakso yang tadi aku beli disimpan di dalam tas. Punggungku kepanasan tapi, perjalanan masih lumayan panjang.
Dear, Diary … Ke Warnet Tutup,…
Waktuku tidak banyak untuk bisa menyelesaikan hari ini tanpa posting satu-pun tulisan di blog. Padahal aku sudah membuatnya dan disimpan dulu di Notes pesbuk. Maklum, tidak selamanya aku terkoneksi dengan jaringan internet.
Benar, #JuliNgeblog #Day11 sudah aku persiapkan sedari kemarin. Aku-pun sadar, tidak mungkin ke warnet di saat taraweh. Tidak sopan. Yasudah, sembari nunggu yang sekitar jam 9malem, aku habiskan baca-baca timeline orang. Dari sana, aku tahu akan satu hal, ternyata SPG tidak ada yang jelek. Bukan berarti aku bilang kalau kamu cantik, yah. Itulah kenyataannya.
Sudah jam 9malam, warnet sudah tutup. Juaaaaaancuk.
Sincerely, Harry …
Perpustakaan Teras Baca, 12 Juli 2013
Tag :
cosmic g-spot,
Malu Pada Mula
By : Harry Ramdhani
Adakah perasaan rindu
ketika kembali bertemu?
Entah, sudah berapa lama
kita berpisah tak jumpa.
yang jelas, kita bisa bersama
di satu tempat tak diduga.
aku bahagia,
apa kau bahagia?
jika, "ya" … kita bahagia.
Seakan ada benda
melesat di udara.
Benda yang melayang dalam
kegelapan kemudian
memecahkan kenyataan.
Masih saja aku tak percaya
bahwa kita bisa berjumpa.
Deska, namanya, seorang
wanita muda yang
membutakan kenangan
menjadi sebuah pesakitan.
Andi, namanya, seorang
pria lajang dan masih bujang
yang kerap berjuang
bisa lulus sekarang.
Mereka diam, mungkin
sibuk berbicara di dalam pikiran
masing-masing.
Seperti itulah manusia
bila lama tak jumpa.
Ada canggung untuk menyanjung,
ada malu seperti putri malu,
ada senang bila berani menyatakan sayang,
namun kaku dan dingin seperti es batu.
Dalam keramaian rasanya menyendiri,
walau banyak kata ingin keluar tapi,
tertahan seakan ada yang menyumbat.
Jika itu setan, tolong usir pergi.
Melihat-pun seperti besok akan kiamat.
Lagu berdendang mengisi ruang
kosong dalam kalbu,
"How do i leave without you …"
Chapter1 dari Cerita Mini: Jumpa
antara Deska dan Andi Muhamad Eka
Perpustakaan Teras Baca, 11 Juli 2013
ketika kembali bertemu?
Entah, sudah berapa lama
kita berpisah tak jumpa.
yang jelas, kita bisa bersama
di satu tempat tak diduga.
aku bahagia,
apa kau bahagia?
jika, "ya" … kita bahagia.
Seakan ada benda
melesat di udara.
Benda yang melayang dalam
kegelapan kemudian
memecahkan kenyataan.
Masih saja aku tak percaya
bahwa kita bisa berjumpa.
Deska, namanya, seorang
wanita muda yang
membutakan kenangan
menjadi sebuah pesakitan.
Andi, namanya, seorang
pria lajang dan masih bujang
yang kerap berjuang
bisa lulus sekarang.
Mereka diam, mungkin
sibuk berbicara di dalam pikiran
masing-masing.
Seperti itulah manusia
bila lama tak jumpa.
Ada canggung untuk menyanjung,
ada malu seperti putri malu,
ada senang bila berani menyatakan sayang,
namun kaku dan dingin seperti es batu.
Dalam keramaian rasanya menyendiri,
walau banyak kata ingin keluar tapi,
tertahan seakan ada yang menyumbat.
Jika itu setan, tolong usir pergi.
Melihat-pun seperti besok akan kiamat.
Lagu berdendang mengisi ruang
kosong dalam kalbu,
"How do i leave without you …"
Chapter1 dari Cerita Mini: Jumpa
antara Deska dan Andi Muhamad Eka
Perpustakaan Teras Baca, 11 Juli 2013
Tag :
Jumpa,
OBSET [Obrolan SEtSAT]
By : Harry RamdhaniJika kalian tahu OBSAT, di sana adalah mereka para orang-orang yang mengubah Indonesia dengan cara masing-masing. Secara pribadi, saya mengagumi itu. Mereka hebat. Tapi, apalah sebuah perubahan jika tanpa tindakan? Perubahan berawal dari sebuah obrolan, obrolan yang membawa orang untuk bergerak. Ini disebabkan oleh tayangan talk show di layar kaca. Di sana banyak para ahli diberagam bidang membicarakan Indonesia tapi, sama sekali tidak berbuat apa-apa. Berbeda dengan OBSAT, di sana mereka melakukan perubahan itu dahulu baru mengajak orang-orang untuk ikut mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik. Lewat sebuah obrolan singkat dan padat.
Lalu, apa itu OBSET?
OBSET kependekan dari OBROLAN SEtSAT. Terbaca sesat. Namun, mesti dicermati lagi makna sesat. Saya ingat guru PKN saat masih kelas satu SMP. Isu yang sedang naik kala itu adalah Kasus Lia Eden, semakin hari semakin marak pemberitaan tentang dia. Ketika di kelas, guru saya berkata, "Sebenarnya, kita telah dilindungi Undang Undang dalam memiliki keyakinan berdasarkan apa yang diyakini. Apapun yang kita lakukan asal tidak mengajak orang, maka bukan disebut sesat. Tapi, lain hal jika sudah mengajak orang untuk sama seperti kita, maka ada kemungkinan sesat di sana. Mau kita sholat sampai kepala bocor saat sujud, silahkan, asal tidak mengajak. Mau kita sholat sambil memakai make-up, silahkan, asalkan tidak mengajak. Biarkan oranglain sendiri yang mengikuti, bukan kita yang mengajaknya."
Sesat itu soal baik-buruk bukan soal benar-belum benar (tidak ada yang salah di dunia ini). Baik-buruk bersifat umum, berbeda dengan benar-belum benar itu individual. Dalam OBSET, kita tidak mengajak dan bagi yang tidak bisa, yasudah.
OBSET bermula dari obrolan ngalor-ngidul di bangku pelataran senja, di dekat sekretarian Fisikom, kampusku. Misal, kita membicarakan 'gelas', gelas tersebut adalah tema dan topiknya beragam, tetap, saya yang mengatur jalannya obrolan. Ada yang menganggap gelas sebagai gayung dll, dsb, dst.
Setelah ini sudah sering dilakukan, kemudian saya mengangkatnya ke Linimasa Twitter. Mulailah banyak yang tidak suka. Saya sendiri berasumsi bahwa kita sudah terbiasa dengan hal-hal yang dari dulu tertanam diotak, sehingga ada yang sedikit beda, mereka tidak bisa terima. Contohnya: saya pernah mengenakan kumpul berbentuk sempak, bagi saya, kain yang disekitarnya ada karet dan digunakan di kepala adalah kupluk. Apapun bentuknya. Dasar bodoh.
Setelah sekian lama di Twitter, akhirnya segala macem ac count sosial media yang saya punya semua di hacked. FB, Twitter, juga Blog. Dan, yang bisa kembali hanyalah Blog dan Pesbuk. Kini, saya sudah jarang melakukan #OBSET di twitter. Lebih baik diam. Ini OBSET terakhirku di Linimasa Twitter: Belajar Ekonomi dengan Narasumber, Fresh Graduate Mahasiswa Ekonomi, Nurlaeli. BTW, dia meraih cum laude.
Jadi, ilmu Ekonomi itu lahir karena kebutuhan masyarakat tinggi tapi, SDM-nya rendah. #OBSET
Awalnya nanya soal BBM tapi, jawabannya gak asyik, "gue percaya, pemerintah itu orang2nya pada pinter. wajar." #OBSET
Akhirnya gue nanya2 soal penetapan harga pokok suatu 'objek'. dan, itu bukan perkara mudah. suer!! #OBSET
untuk metapkan harga mesti diliat dari beragam sudut pandang. dari internal sampe eksternal. buanyak. #OBSET
tapi, beda lagi soal penentuan harga dibidang jasa. oia, ekonomi itu dibagi tiga: Jasa, Dagang, dan Manufaktur. #OBSET
Bidang Jasa itu tanpa memerlukan modal awal tapi, mesti memperhitungkan kepuasan konsumen. #OBSET
Bidang Dagang itu yaa, kayak yg kalian tau. tapi, biasanya gak pake produksi dari awal. #OBSET
Bidang Manufaktur itu dari modal awal produksi sampe penjualan dikelola perusahaan. #OBSET
Nah, sekarang bahas yg Bidang Jasa aja, yah. setuju? #OBSET
lihat, Bidang Jasa adanya dipaling bawah. tapi, di sini idealisme diuji. jasa itu soal bayaran bukan gaji. #OBSET
Kalau tidak salah, Bidang Jasa belum termasuk UMR. berapa-pun, itulah adanya. #OBSET
kayak yg tadi udah dibahas. Jasa adalah soal pelayanan dan hasil akhirnya adalah kepuasan. paham? #OBSET
konsep dari jasa adalah kepuasan. Jadi yg mesti dibangun sejak awal adalah loyalitas kepada konsumen. #OBSET
konsepnya gini, jika konsumen sudah puas maka HARGA MATI untuk bisa mengendalikannya. #OBSET
caranya ada beragam tapi, pasti diawali promosi. apapun bentuknya, promosi pilihannya. #OBSET
Promosi bisa dilakuin dari membanting harga. artinya, memasang harga terendah dari yg ada. awalnya rugi tapi, kedepan untung. #OBSET
Atau, bisa juga dari membandingkan harga2 yg sudah ada dijenis yg sama. antara A-B-dengan C. #OBSET
Jika masih belum ketemu, percayakan pada kualitas sendiri. ngaca. #OBSET
Jadi, siapaun orang ingin memilih bidang Jasa sebagai usaha. perlu digaris bawahi soal kepuasan konsumen. layani. #OBSET
Perpustakaan TerasBaca, 10 Juli 2013
Tag :
OBSET,
Revolusi Menjadi Konglomerasi
By : Harry RamdhaniSaya, sebagai mahasiswa komunikasi (tingkat akhir yang akhir-akhir
ini belon mikirin skripsi) geram. Geram akibat ngejawab soal uang
empat halaman folio dengan tulis tangan. Entah, saya menulis apa di
sana. Yang jelas adalah membicarakan media. Mari kita buka mata, bahwa
revolusi media telah menjadi konglomerasi media.
Revolusi media lahir sejalan dengan revolusi yang terjadi di negeri itu sendiri, tepatnya: Indonesia. Berkat runtuhnya rezim Soeharto dan segala antek-anteknya, media sudah tidak lagi dibawah naungan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan bukanlah PLN karena itu beda. PLN itu soal listrik dan bukan soal penerangan. Banyak yang terang tapi, tidak berasal dari PLN, contohnya: Kamu.
Dulu, setiap media mesti melawati jalur Departemen Penerangan untuk bisa mempublikasikan karya jurnalistiknya. Apaun itu bentuknya. Akibatnya adalah media menjadi corong pemerintahan. Bagi media yang ingin coba-coba nakal maka akan di bredel. Bisa dilihat, Majalah Detik di bredel, Majalah Tempo juga demikian. Mereka (media) tidak bisa berbuat banyak selain menjilat pemerintah untuk bisa bertahan. Di perpustakaan Teras Baca, banyak media tahun 80-an, kalian tahu isinya? Saya saja enggan membacanya. Bukan berarti 'bad news is a good news' tapi, ini adalah soal independensi suatu media.
Soeharto turun, Habibie naik. Departemen Penerangan dihapus, banyak media baru bermunculan. Oia, salah satu tugas Departemen Penerang kala itu selain mensortir isi pemberitaan, juga memegang wewenang untuk mengeluarkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kini, sudah ada lagi SIUPP dan siapapun berhak membuat media sendiri. Sebenarnya ada Undang-Undang yang mengatur untuk mendirikan media sendiri tapi, ini Indonesia. Aturan hanya sebatas slogan.
Buanyak sekali media bermunculan. Kontennya-pun beragam, dari politik sampai tumbuh-tumbuhan. Apa saja yang sekiranya menjual dan menguntungkan, tinggal buat. Ini dia kalimat yang menjembataninya, apapun yang menjual dan menguntungkan tinggal dibuat.
Saya sendiri pernah dengar ucapan orang bule, "Bagi siapapun yang ingin berkuasa di Dunia Ketiga, maka mesti bisa menaklukan media." Media dibawah orang-orang yang ingin berkuasa. Orang yang ingin berkuasa mesti memiliki modal. Bagi siapapun yang punya modal, ingin berkuasa, taklukan media. Jadilah seperti sekarang, satu orang, bisa mengendalikan banyak media. Baik cetak, elektronik, sampai media baru (internet dll, dst, dsb).
Ini menjatuhkan itu. Itu menjatuhkan balik ini. Ini menjatuhkan orang dalam untuk meraih simpati. Itu membanggakan diri agar orang lain tahu. Persetan.
Mungkin banyak yang tidak tahu, media memiliki dua kekuatan: Agenda Setting dan Jarum Hipodermik. Agenda Setting adalah di mana media mengikuti permintaan pasar, kemudian dikemas serapih mungkin. Nanti, ketika pasar sudah nurut, media bisa mempermainkannnya. Dan, Jarum Hipodermik adalah di mana media menyerang langsung pasar dan membuatnya tidak berdaya. Ingat, di Indonesia masih banyak orang mudah percaya dari apa yang dilihat dari media. Ketika pasar sudah dibuat tidak berdaya, ada konspirasi di sana.
Itulah Revolusi yang terjadi di sini. Konglomerasi media adalah alatnya. Persetan.
Persetan. Asal kalian tahu, saya menulis ini tidak sampai 30menit. Sedangkan kemarin, saya mesti menulis empat halaman dengan menulis tangan dan mengabiskan waktu lebih dari dua jam. Persetan, kenapa saya baru secerdas ini bukan kemarin?
Begitulah kalian jika ingin menulis. Tulis apa saja yang kalian tahu dan menjadi keresahan. Tidak sulit. Makanya belajar.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013
Revolusi media lahir sejalan dengan revolusi yang terjadi di negeri itu sendiri, tepatnya: Indonesia. Berkat runtuhnya rezim Soeharto dan segala antek-anteknya, media sudah tidak lagi dibawah naungan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan bukanlah PLN karena itu beda. PLN itu soal listrik dan bukan soal penerangan. Banyak yang terang tapi, tidak berasal dari PLN, contohnya: Kamu.
Dulu, setiap media mesti melawati jalur Departemen Penerangan untuk bisa mempublikasikan karya jurnalistiknya. Apaun itu bentuknya. Akibatnya adalah media menjadi corong pemerintahan. Bagi media yang ingin coba-coba nakal maka akan di bredel. Bisa dilihat, Majalah Detik di bredel, Majalah Tempo juga demikian. Mereka (media) tidak bisa berbuat banyak selain menjilat pemerintah untuk bisa bertahan. Di perpustakaan Teras Baca, banyak media tahun 80-an, kalian tahu isinya? Saya saja enggan membacanya. Bukan berarti 'bad news is a good news' tapi, ini adalah soal independensi suatu media.
Soeharto turun, Habibie naik. Departemen Penerangan dihapus, banyak media baru bermunculan. Oia, salah satu tugas Departemen Penerang kala itu selain mensortir isi pemberitaan, juga memegang wewenang untuk mengeluarkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kini, sudah ada lagi SIUPP dan siapapun berhak membuat media sendiri. Sebenarnya ada Undang-Undang yang mengatur untuk mendirikan media sendiri tapi, ini Indonesia. Aturan hanya sebatas slogan.
Buanyak sekali media bermunculan. Kontennya-pun beragam, dari politik sampai tumbuh-tumbuhan. Apa saja yang sekiranya menjual dan menguntungkan, tinggal buat. Ini dia kalimat yang menjembataninya, apapun yang menjual dan menguntungkan tinggal dibuat.
Saya sendiri pernah dengar ucapan orang bule, "Bagi siapapun yang ingin berkuasa di Dunia Ketiga, maka mesti bisa menaklukan media." Media dibawah orang-orang yang ingin berkuasa. Orang yang ingin berkuasa mesti memiliki modal. Bagi siapapun yang punya modal, ingin berkuasa, taklukan media. Jadilah seperti sekarang, satu orang, bisa mengendalikan banyak media. Baik cetak, elektronik, sampai media baru (internet dll, dst, dsb).
Ini menjatuhkan itu. Itu menjatuhkan balik ini. Ini menjatuhkan orang dalam untuk meraih simpati. Itu membanggakan diri agar orang lain tahu. Persetan.
Mungkin banyak yang tidak tahu, media memiliki dua kekuatan: Agenda Setting dan Jarum Hipodermik. Agenda Setting adalah di mana media mengikuti permintaan pasar, kemudian dikemas serapih mungkin. Nanti, ketika pasar sudah nurut, media bisa mempermainkannnya. Dan, Jarum Hipodermik adalah di mana media menyerang langsung pasar dan membuatnya tidak berdaya. Ingat, di Indonesia masih banyak orang mudah percaya dari apa yang dilihat dari media. Ketika pasar sudah dibuat tidak berdaya, ada konspirasi di sana.
Itulah Revolusi yang terjadi di sini. Konglomerasi media adalah alatnya. Persetan.
Persetan. Asal kalian tahu, saya menulis ini tidak sampai 30menit. Sedangkan kemarin, saya mesti menulis empat halaman dengan menulis tangan dan mengabiskan waktu lebih dari dua jam. Persetan, kenapa saya baru secerdas ini bukan kemarin?
Begitulah kalian jika ingin menulis. Tulis apa saja yang kalian tahu dan menjadi keresahan. Tidak sulit. Makanya belajar.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013
Tag :
komunikasi,
Kasih Sayang dan Uang
By : Harry RamdhaniDi bawah terang lampu jalan. Glady melangkah dari satu orang ke
orang lainnya. Sendirian. Demi target satu bulan, Ia rela membual yang
kadang tidak masuk akal seperti halnya sebuah guyonan.
Baju ketat mini, sepatu hak tinggi, dan make-up tebal di pipi. Malam ini Ia cantik seperti model di televisi. Namun, apalah artinya kecantikan bila hanya sebagai bahan jualan? Sama saja, bak ikan hias yang ada di Festival tahunan Ikan Nasional. Semakin cantik ikan, maka akan besar kemungkinan laku dijual. Ia manusia, bukan ikan.
Aku sudah sering mengingatkannya untuk berhenti menjadi SPG, carilah pekerjaan lain yang pantas untuknya. Bukan berarti merendahkan pekerjaan seorang sales tapi, image yang telah terbentuk di khalayak, buruk. Asumsi khalayak adalah SPG merupakan kedok pelacuran yang legal. Kurang buruk apa?
***
Di teras rumahnya, suasana kaku antara kau dan aku. Membeku. Aku hanya diam ada yang memecah kebuntuan, menunggu. Alasan semua ini sama seperti masalah-masalah yang dulu, urusan pekerjaannya menjadi seorang SPG di perusahaan rokok, Tebu.
Angin berhembus pelan. Tidak ada seorang-pun yang melintas di jalan.
"Kenapa kamu tidak adil?" Tanyaku untuk mencairkan pertemuan yang beku.
"Maksudnya?" Jawabnya heran.
"Kamu banyak bicara ketika sedang berkerja tapi, denganku kau diam seribu bahasa."
"Itu beda."
Hanya adu argumen yang terjadi. Seperti itu sedari dulu. Bukannya tidak ingin mengalah tapi, kamu selalu membentengi diri: mesti bekerja apa lagi?
Obrolan ini tidak akan pernah ada akhir, karena Ia masih disibuki nomor-nomor baru yang daritadi memanggil. Tapi, tak satupun diangkat. Bajingan supervisor itu, lewatnyalah nomor handphone Glady disebar ke orang-orang yang (ingin) mencoba mendekatinya. Embel-embelnya: urusan pekerjaan.
Pekerjaan adalah alasan. Alasanku terus jarang akur dengan pasanganku dan alasannya terus mempertahankan pekerjaannya. Tidak ada yang berubah dari dulu kecuali umur kita.
"Glady, maafkan aku bila terlalu mengekangmu karena pekerjaanmu ini. Jujur, dibalik semua itu, aku menyayangimu." Selalu seperti itu aku mengakhiri adu argumen kala perdebatan sedang dipuncak-puncaknya. Malahan, kadang hanya dengan satu ciuman yang bisa membuatnya diam.
'HEH!! PELACUR. SONGONG BANGET TELPON AJA GAK DIJAWAB.'
Sebuah pesan singkat yang masuk ketika Glady enggan mengangkat telpon dari orang yang Ia sendiri tidak kenal. Sebenarnya sudah biasa pesan singkat seperti ini masuk tapi, kali ini aku naik pitam. Glady bukan pelacur.
"Sampai kapan?"
"Aku tidak ingin mengganti nomorku, sayang. Bisa dipecat nanti."
Aku rela mengakhir hubungan, asalkan Ia bisa mendapat laki-laki yang bisa menjamin hidupnya dan tidak lagi bekerja menjadi seorang SPG.
Wanita cantik memang diberikan sedikit kekurangan: bodoh. Padahal, Ia bisa mencari laki-laki yang lebih mapan dari sekarang, lebih bisa menanggung hidupnya di masa depan, lebih bisa membuat hidupnya tenang. Tapi, lagi-lagi ini hanya soal kasih sayang dan uang.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013
Baju ketat mini, sepatu hak tinggi, dan make-up tebal di pipi. Malam ini Ia cantik seperti model di televisi. Namun, apalah artinya kecantikan bila hanya sebagai bahan jualan? Sama saja, bak ikan hias yang ada di Festival tahunan Ikan Nasional. Semakin cantik ikan, maka akan besar kemungkinan laku dijual. Ia manusia, bukan ikan.
Aku sudah sering mengingatkannya untuk berhenti menjadi SPG, carilah pekerjaan lain yang pantas untuknya. Bukan berarti merendahkan pekerjaan seorang sales tapi, image yang telah terbentuk di khalayak, buruk. Asumsi khalayak adalah SPG merupakan kedok pelacuran yang legal. Kurang buruk apa?
***
Di teras rumahnya, suasana kaku antara kau dan aku. Membeku. Aku hanya diam ada yang memecah kebuntuan, menunggu. Alasan semua ini sama seperti masalah-masalah yang dulu, urusan pekerjaannya menjadi seorang SPG di perusahaan rokok, Tebu.
Angin berhembus pelan. Tidak ada seorang-pun yang melintas di jalan.
"Kenapa kamu tidak adil?" Tanyaku untuk mencairkan pertemuan yang beku.
"Maksudnya?" Jawabnya heran.
"Kamu banyak bicara ketika sedang berkerja tapi, denganku kau diam seribu bahasa."
"Itu beda."
Hanya adu argumen yang terjadi. Seperti itu sedari dulu. Bukannya tidak ingin mengalah tapi, kamu selalu membentengi diri: mesti bekerja apa lagi?
Obrolan ini tidak akan pernah ada akhir, karena Ia masih disibuki nomor-nomor baru yang daritadi memanggil. Tapi, tak satupun diangkat. Bajingan supervisor itu, lewatnyalah nomor handphone Glady disebar ke orang-orang yang (ingin) mencoba mendekatinya. Embel-embelnya: urusan pekerjaan.
Pekerjaan adalah alasan. Alasanku terus jarang akur dengan pasanganku dan alasannya terus mempertahankan pekerjaannya. Tidak ada yang berubah dari dulu kecuali umur kita.
"Glady, maafkan aku bila terlalu mengekangmu karena pekerjaanmu ini. Jujur, dibalik semua itu, aku menyayangimu." Selalu seperti itu aku mengakhiri adu argumen kala perdebatan sedang dipuncak-puncaknya. Malahan, kadang hanya dengan satu ciuman yang bisa membuatnya diam.
'HEH!! PELACUR. SONGONG BANGET TELPON AJA GAK DIJAWAB.'
Sebuah pesan singkat yang masuk ketika Glady enggan mengangkat telpon dari orang yang Ia sendiri tidak kenal. Sebenarnya sudah biasa pesan singkat seperti ini masuk tapi, kali ini aku naik pitam. Glady bukan pelacur.
"Sampai kapan?"
"Aku tidak ingin mengganti nomorku, sayang. Bisa dipecat nanti."
Aku rela mengakhir hubungan, asalkan Ia bisa mendapat laki-laki yang bisa menjamin hidupnya dan tidak lagi bekerja menjadi seorang SPG.
Wanita cantik memang diberikan sedikit kekurangan: bodoh. Padahal, Ia bisa mencari laki-laki yang lebih mapan dari sekarang, lebih bisa menanggung hidupnya di masa depan, lebih bisa membuat hidupnya tenang. Tapi, lagi-lagi ini hanya soal kasih sayang dan uang.
Perpustakaan Teras Baca, 9 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Di Bangku Pelataran Senja
By : Harry RamdhaniDi dalam mimipi bertemu Hani.
Aku sedang menikmati sore
di bangku pelataran senja.
Matahari mulai pelit dengan cahayanya
namun indah, seperti
sedang melihat sebuah jambore.
Banyak orang di sekeliling,
walau kadang membuatku pusing
tapi, inilah keindahan senja
dengan segala keberagaman yang ada.
Anak kecil bermain sepak bola
di lapangan voli,
gerombolan pemuda menikmati
secangkir kopi,
dan aku memikirkannya.
Ia yang kerap membuatku canggung
bila bertemu langsung.
Ia yang kerap diam di kelas ini,
padahal ini kelas komunikasi.
Ia yang kerap angkuh bila
digoda dengan siapa saja.
Di situ, aku memperhatikanmu,
perlahan ada yang tumbuh walau
aku sendiri tidak tahu apa itu.
Selintas teringat awal kita jumpa.
Sepatu putih dengan lubang di depan,
pakaian yang merekat tapi, tidak ketat,
lalu di tangga kau berjalan begitu cepat.
Bukannya aku ingin membuntuti-mu,
karena pada waktu yang sama, aku
sedang ada keperluan di fakultas.
Kita bersama ke atas.
Sejak saat itu, kita sering bertemu.
Namun, aku terlihat seperti orang gagu.
Jangankan menyapa, melirik saja malu.
Di sana aku sadar, ada yang beda
di antara kita.
Entahlah namanya apa.
Aku tanyakan tentangmu
ke teman-temanku
tapi, tidak ada yang tahu.
Mana mungkin tidak ada yang tahu?
Ternyata benar, meminjam istilah
dari salah seorang anggota Geng Salip:
"Kau ini seperti intan permata
yang tertimbun batu kali. Di sini."
Cahayamu remang-remang,
langkahmu cepat hilang,
itu saja.
Kau adalah senja.
Di bangku pelataran senja
aku tercengang. Kau datang
dengan kendaraan dan
parkir sembarangan.
Lalu turun dengan menawan.
Berjalan ke arahku.
Duduk di sampingku.
Menikmati senja denganku.
Di pelantaran sebuah bangku.
Tapi tetap diam.
Itulah kau denganku.
Hani itu Harry Ramdhani.
Perpustakaan Teras Baca, 7 Juli 2013
Aku sedang menikmati sore
di bangku pelataran senja.
Matahari mulai pelit dengan cahayanya
namun indah, seperti
sedang melihat sebuah jambore.
Banyak orang di sekeliling,
walau kadang membuatku pusing
tapi, inilah keindahan senja
dengan segala keberagaman yang ada.
Anak kecil bermain sepak bola
di lapangan voli,
gerombolan pemuda menikmati
secangkir kopi,
dan aku memikirkannya.
Ia yang kerap membuatku canggung
bila bertemu langsung.
Ia yang kerap diam di kelas ini,
padahal ini kelas komunikasi.
Ia yang kerap angkuh bila
digoda dengan siapa saja.
Di situ, aku memperhatikanmu,
perlahan ada yang tumbuh walau
aku sendiri tidak tahu apa itu.
Selintas teringat awal kita jumpa.
Sepatu putih dengan lubang di depan,
pakaian yang merekat tapi, tidak ketat,
lalu di tangga kau berjalan begitu cepat.
Bukannya aku ingin membuntuti-mu,
karena pada waktu yang sama, aku
sedang ada keperluan di fakultas.
Kita bersama ke atas.
Sejak saat itu, kita sering bertemu.
Namun, aku terlihat seperti orang gagu.
Jangankan menyapa, melirik saja malu.
Di sana aku sadar, ada yang beda
di antara kita.
Entahlah namanya apa.
Aku tanyakan tentangmu
ke teman-temanku
tapi, tidak ada yang tahu.
Mana mungkin tidak ada yang tahu?
Ternyata benar, meminjam istilah
dari salah seorang anggota Geng Salip:
"Kau ini seperti intan permata
yang tertimbun batu kali. Di sini."
Cahayamu remang-remang,
langkahmu cepat hilang,
itu saja.
Kau adalah senja.
Di bangku pelataran senja
aku tercengang. Kau datang
dengan kendaraan dan
parkir sembarangan.
Lalu turun dengan menawan.
Berjalan ke arahku.
Duduk di sampingku.
Menikmati senja denganku.
Di pelantaran sebuah bangku.
Tapi tetap diam.
Itulah kau denganku.
Hani itu Harry Ramdhani.
Perpustakaan Teras Baca, 7 Juli 2013
Tag :
Prosa,
Kedai itu Alania
By : Harry RamdhaniPertemuan kita sungguh singkat. Di sebuah Kedai di dekat kampus ternama di Bogor saat hujan turun dengan arogan.
Sweater cokelat yang kau kenakan terlihat berat. Mungkin telah banyak meresap air hujan di badan. Pandanganku-pun terisap oleh caramu mengibaskan rambut-rambut basah itu. Dari jarak kejauhan tentunya. Di sinipun aku menggigil oleh angin yang terus berhembus tak karuan. Menyerang dari depan dan belakang. Aku kedinginan. Apalagi kamu dengan sweater cokelat basah?
Pandanganku-pun berhenti saat mobil sedan abu-abu berhenti tepat di depanmu. Keluar seorang ibu-ibu yang umurnya sekitar 40-an memberikanmu payung kuning bergambar bunga disekelilingnya. Aku pikir itu adalah ibumu. Kalaupun bukan, itu bukan urusan. Aku terpesona olehmu saat ini, saat hujan menjebakku di kedai sendiri.
***
Seperti orang-orang dalam cerita fiksi, aku menunggumu di tempat dan di jam yang sama, masih juga kau tak kunjung datang. Besoknya, lusa, sampai dua mingggu berikutnya,… tidak ada.
Karena sudah terbiasa menunggumu di sini, di sebuah kedai tempat mahasiswa membuang-buang waktu, aku jadi kenal beberapa pelayan kedai. Salah satunya: Triyono., pria jawa yang senang sekali melantunkan guyon ketika aku memesan secangkir kopi hitam. Ia tahu, kopi hitam adalah pesananku kedua untuk menunggumu. Kata Triyono, "Kopi aja bisa, tuh, dari panas ke dingin. Masa perasaan, nggak?" Terus saja Ia meledekku dengan guyonannya. Padahal garing tapi, karena logat kental jawa yang sudah campur aduk dengan aksen sunda, jadilah menggelikan. Aku tidak marah sama sekali, mungkin ada benarnya ucapan Triyono.
Hujan turun ketika aku ingin pulang. Cukup deras, sama seperti pertemuanku dulu dengan wanita ber-sweater cokelat.
Kedai tidak terlalu ramai, padahal aku membawa jas hujan di motor tapi, hanya enggan saja mengenakan. Karena ada beberapa berkas-berkas perbaikan skripsiku yang tidak boleh hancur oleh hujan. Cukup harapanku saja.
Ketika ingin memesan, jatuh dua logam lima ratusan. Cliriiing, menggelinding lalu meluncur mulus ke selokan. Ahh, sial. Sesaat menoleh dari jatuhnya uang logam, ada dia, dia, wanita ber-sweater cokelat yang dulu pernah aku lihat. Kini, Ia tepat ada di sebelahku. Gugup, tak satu-pun kata yang bisa menyup keluar dari rongga mulut.
"Har, ada uang lima ratus, gak? Lagi kosong receh, nih." Tanya Triyono padaku.
"Hah!! ada kok, ada, tapi tadi udah masuk selokan." Tunjukku ke arah selokan tapi, sedikit mengenai lengan dia, wanita ber-sweater cokelat. "Maaf." Kataku.
Dia, wanita ber-sweater cokelat hanya tersenyum. Sungguh cantik.
Sejak saat itu --berkat Triyono tentunya-- aku bisa kenal dengannya (bahkan lebih dalam). Hampir setiap hari aku menunggunya selesai kerja di kedai. Aku selalu memesan kopi hitam. Tidak seperti dulu, biasanya aku memesan secangkir kopi hitam untuk menunggu kedatangannya yang tak tentu tapi, kini secangkir kopi hitam pesananku adalah temanku ngobrol dengan Alania. Seorang wanita ber-sweater cokelat itu.
Janjian di kedai, minum-minum santai, lalu membicarakan hal remeh-temeh seperti orang yang sedang berjemur di pantai. Begitulah keseharianku dengan Alania, jika sudah waktunya, aku pulang mengantarnya. Di motor-pun kita masih bisa membicarakan banyak, dia sungguh orang yang pandai mengamati hal dengan cermat. Sehingga, lampu merah yang lama saja bisa jadi obrolan kita sepanjang jalan. Bahkan di akhir pekan, Ia tetap ingin mengajakku untuk bertemu di kedai. Begitulah suasana kedai, jauh lebih merakyat dibanding ocehan para wakil rakyat yang katanya merakyat. Ndasmu merakyat.
***
Malam itu tidak berbeda dengan malam lain saat aku menunggunya di kedai. Kini, Alania datang dengan tampang sedikit serius. Padahal, sejak tadi siang tidak ada apa-apa. Hanya kabar baik yang datang.
"Hardy, apa yang kamu rasain katika bersama aku?" Alania menanyakan tanpa basa-basi terlebih dulu.
"Aku,… aku merasakan senang. Sebentar, apa ini soal status?"
"Aku tidak berpikir seperti itu."
"Tapi, itu maksud kamu, kan?"
"Hardy, Aku menyayangimu." Mata Alania memerah. Sedikit lagi mungkin akan meletus air mata dan mengguyur pipi mulusnya.
"Begitupun aku. Lantas, kenapa kau menanngis Alania?"
"Mulai minggu depan, aku akan pergi ke luar kota. Selamanya."
Akhirnya, Alania menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya. Sejak saat itu, aku dan Alania hanya bisa bertukar kabar melalui sms dan telpon. Sebuah pernikahan yang telah membuat hubungan kita sebatas teman. Teman yang tumbuh dari rasa sayang.
*** 10 tahun kemudian ***
Aku dan Triyono mendirikan sebuah kedai sendiri. Kedai yang telah lama kita perbincangkan dulu sejak aku mulai menunggu seorang wanita ber-sweater coklat. Kedai itu kita berinama: Alania.
Perpustakaan Teras Baca, 6 Juli 2013
Sweater cokelat yang kau kenakan terlihat berat. Mungkin telah banyak meresap air hujan di badan. Pandanganku-pun terisap oleh caramu mengibaskan rambut-rambut basah itu. Dari jarak kejauhan tentunya. Di sinipun aku menggigil oleh angin yang terus berhembus tak karuan. Menyerang dari depan dan belakang. Aku kedinginan. Apalagi kamu dengan sweater cokelat basah?
Pandanganku-pun berhenti saat mobil sedan abu-abu berhenti tepat di depanmu. Keluar seorang ibu-ibu yang umurnya sekitar 40-an memberikanmu payung kuning bergambar bunga disekelilingnya. Aku pikir itu adalah ibumu. Kalaupun bukan, itu bukan urusan. Aku terpesona olehmu saat ini, saat hujan menjebakku di kedai sendiri.
***
Seperti orang-orang dalam cerita fiksi, aku menunggumu di tempat dan di jam yang sama, masih juga kau tak kunjung datang. Besoknya, lusa, sampai dua mingggu berikutnya,… tidak ada.
Karena sudah terbiasa menunggumu di sini, di sebuah kedai tempat mahasiswa membuang-buang waktu, aku jadi kenal beberapa pelayan kedai. Salah satunya: Triyono., pria jawa yang senang sekali melantunkan guyon ketika aku memesan secangkir kopi hitam. Ia tahu, kopi hitam adalah pesananku kedua untuk menunggumu. Kata Triyono, "Kopi aja bisa, tuh, dari panas ke dingin. Masa perasaan, nggak?" Terus saja Ia meledekku dengan guyonannya. Padahal garing tapi, karena logat kental jawa yang sudah campur aduk dengan aksen sunda, jadilah menggelikan. Aku tidak marah sama sekali, mungkin ada benarnya ucapan Triyono.
Hujan turun ketika aku ingin pulang. Cukup deras, sama seperti pertemuanku dulu dengan wanita ber-sweater cokelat.
Kedai tidak terlalu ramai, padahal aku membawa jas hujan di motor tapi, hanya enggan saja mengenakan. Karena ada beberapa berkas-berkas perbaikan skripsiku yang tidak boleh hancur oleh hujan. Cukup harapanku saja.
Ketika ingin memesan, jatuh dua logam lima ratusan. Cliriiing, menggelinding lalu meluncur mulus ke selokan. Ahh, sial. Sesaat menoleh dari jatuhnya uang logam, ada dia, dia, wanita ber-sweater cokelat yang dulu pernah aku lihat. Kini, Ia tepat ada di sebelahku. Gugup, tak satu-pun kata yang bisa menyup keluar dari rongga mulut.
"Har, ada uang lima ratus, gak? Lagi kosong receh, nih." Tanya Triyono padaku.
"Hah!! ada kok, ada, tapi tadi udah masuk selokan." Tunjukku ke arah selokan tapi, sedikit mengenai lengan dia, wanita ber-sweater cokelat. "Maaf." Kataku.
Dia, wanita ber-sweater cokelat hanya tersenyum. Sungguh cantik.
Sejak saat itu --berkat Triyono tentunya-- aku bisa kenal dengannya (bahkan lebih dalam). Hampir setiap hari aku menunggunya selesai kerja di kedai. Aku selalu memesan kopi hitam. Tidak seperti dulu, biasanya aku memesan secangkir kopi hitam untuk menunggu kedatangannya yang tak tentu tapi, kini secangkir kopi hitam pesananku adalah temanku ngobrol dengan Alania. Seorang wanita ber-sweater cokelat itu.
Janjian di kedai, minum-minum santai, lalu membicarakan hal remeh-temeh seperti orang yang sedang berjemur di pantai. Begitulah keseharianku dengan Alania, jika sudah waktunya, aku pulang mengantarnya. Di motor-pun kita masih bisa membicarakan banyak, dia sungguh orang yang pandai mengamati hal dengan cermat. Sehingga, lampu merah yang lama saja bisa jadi obrolan kita sepanjang jalan. Bahkan di akhir pekan, Ia tetap ingin mengajakku untuk bertemu di kedai. Begitulah suasana kedai, jauh lebih merakyat dibanding ocehan para wakil rakyat yang katanya merakyat. Ndasmu merakyat.
***
Malam itu tidak berbeda dengan malam lain saat aku menunggunya di kedai. Kini, Alania datang dengan tampang sedikit serius. Padahal, sejak tadi siang tidak ada apa-apa. Hanya kabar baik yang datang.
"Hardy, apa yang kamu rasain katika bersama aku?" Alania menanyakan tanpa basa-basi terlebih dulu.
"Aku,… aku merasakan senang. Sebentar, apa ini soal status?"
"Aku tidak berpikir seperti itu."
"Tapi, itu maksud kamu, kan?"
"Hardy, Aku menyayangimu." Mata Alania memerah. Sedikit lagi mungkin akan meletus air mata dan mengguyur pipi mulusnya.
"Begitupun aku. Lantas, kenapa kau menanngis Alania?"
"Mulai minggu depan, aku akan pergi ke luar kota. Selamanya."
Akhirnya, Alania menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya. Sejak saat itu, aku dan Alania hanya bisa bertukar kabar melalui sms dan telpon. Sebuah pernikahan yang telah membuat hubungan kita sebatas teman. Teman yang tumbuh dari rasa sayang.
*** 10 tahun kemudian ***
Aku dan Triyono mendirikan sebuah kedai sendiri. Kedai yang telah lama kita perbincangkan dulu sejak aku mulai menunggu seorang wanita ber-sweater coklat. Kedai itu kita berinama: Alania.
Perpustakaan Teras Baca, 6 Juli 2013
Tag :
Prosa,
bubukmarimas
By : Harry RamdhaniAku pernah menanyakan
pada hujan
makna cinta pada setiap butiran
air hujan yang menggenang
Di sana, aku hanya menemukan
makna kerinduan,
kenangan,
keresahan,
dan, orang-orang yang
trauma pada hujan.
Itulah kebencian.
Di mana makna Cinta pada hujan?
Cinta yang orang-orang puja
melebihi Kebesaran-Nya.
Aku tak ingin menyerah pada kenyataan,
pada hidup yang tak sejalan,
pada harapan
yang semakin runyam.
Percayaku pada hujan adalah Cinta.
Bukan resah yang telah basah,
bukan rindu yang menjadi candu,
bukan sebuah kenangan yang menggenang,
bukan pula trauma yang membabi-buta.
Aku mencari Cinta.
Walauku belum berjumpa dengan cinta
tetapku mencarinya.
Sampai air hujan ini khanyut ke laut,
bersatu dengan yang lain, bertemu pelaut.
Rasanya seperti butiran marimas jeruk
yang tidak larut ketika diaduk.
Hanya menggenang di permukaan
gelas bergambar horoskop bintang.
Kekasih, masihkah aku menemukan
makna cinta kala hujan?
Atau itu hanya mitos dongeng malam?
Perpustakaan Teras Baca, 5 Juli 2013
Tag :
Prosa,