- Back to Home »
- Prosa 100 Kata »
- Tanpa Tanda Baca
Posted by : Harry Ramdhani
April 16, 2014
Saya menulis ini di sebelah #peang ketika tertidur. Malam itu, Ia sedang sakit. Tapi, #peang tetaplah #peang, ketika sakit pun Ia terkadang terbangun --seperti mengigau-- lalu mengajak ngobrol dan bercanda. Layaknya orang yang tidak sakit, tawa dan senyumnya tidak luput dari dirinya. Saya senang (sekaligus prihatin) melihatnya.
Seperti yang tadi saya ungkapkan, saya menulis disela-sela tidurnya. Ketika #peang tidur, saya menulis, ketika Ia bangun, saya menemaninya sampai tidur lagi, dan begitu seterusnya sampai selesai. Saya hanya membayangkan apa yang ada di dalam alam mimipinya. Apa yang kelak akan terjadi ketika #peang besar nantinya. Semua hal tentangnya saya bayangkan. Berkatnya, saya ingin terus dan terus belajar menulis dan kelak bisa mengajarkannya. Karena menulis, bagi saya, adalah berlayar yang tak kenal ujung dan tepi. Saya ingin #peang membawa serta-merta harapan-harapan saya yang tak terselesaikan --dikemudian hari. Saya mencintainya lebih dari segalanya. Dan, inilah lima cerita 100kata:
Tanpa Tanda Baca
ilustrasi: dari sini
Aku tidak ingin makan karena perutku masih terasa kenyang oleh traktiran
di sekolah tadi siang oleh Destria dan katanya dia hari ini ulang tahun
yang ke sembilan kemudian kami sekelas ditraktir makan bakso yang
letaknya mungkin tiga puluh meter dari pagar sekolah dan di sana Kenya
menghampiriku membawa semangkuk bakso yang mengepulkan asap di atasnya
namun Ia terpeleset saus yang berceceran di lantai tapi Kenya tidak
jatuh karena masih berpegangan meja dekatku tapi sayangnya mangkuk itu
malah mendarat dengan cantik di badan Destria dan dengan langkah seribu
Ia pulang tanpa membayar namun untunglah Kenya mempertanggung-jawabkan
itu meski Ia nantinya bekerja di sana sampai tua.
Kamar #peang, 16 April 2014
Diburu Malu
ilustrasi: dari sini
Ayahnya menutup pintu dengan keras. Ibunya keluar dari kamar mandi masih dengan mengenakan handuk biru-muda. Mandinya diburu-buru ketika tahu Andri pulang.
***
"Kata Ayah, ketika maghrib mesti sudah di rumah," ucap Andri sambil memegangi bagian mukanya yang memar habis dipukuli.
Aku menggelengkan kepala sambil coba obati beberapa titik lukanya. Ia menjerit kesakitan.
Menjadi anak yang penurut dan keras kepala memang tipis bedanya. Kamu coba jujur ketika ujian, malah jadi bahan cemoohan masyarakat sekitar. Keluargamu malu. Kamu sudah dicari-cari dari siang tadi, tahu?
Kamar #peang, 16 April 2014
Sembuh
ilustrasi: dari sini
"Aku tidak ingin ke dokter. Sebentar lagi juga sembuh. Percayalah,"
tukas Badru seraya menyelimuti badannya dengan sarung yang bolong di
segala sisinya.
"Panasmu makin tinggi, Nak," jawab Ayah yang duduk di kasur sebelahku, atau yang lebih pantas disebut triplek berkapuk mungkin, "tidak perlu takut."
Sambil menahan batuk dan darah yang ingin keluar, Badru meyakinkan Ayahnya karena tahu kalau kondisi keuangan keluarga tidak cukup untuk biayanya ke dokter, "sebentar lagi aku makan dan istirahat," katanya, "dengan begitu pasti sembuh."
"Tapi…,"
"Ayah," Badru keluar dari selimutnya itu, "aku baik-baik saja."
Ayahnya keluar. Dan, setelah perbincangan, Badru tidak lagi terdengar suaranya. Di balik selimut, Ia tutup usia.
Kamar #peang, 16 April 2014
"Panasmu makin tinggi, Nak," jawab Ayah yang duduk di kasur sebelahku, atau yang lebih pantas disebut triplek berkapuk mungkin, "tidak perlu takut."
Sambil menahan batuk dan darah yang ingin keluar, Badru meyakinkan Ayahnya karena tahu kalau kondisi keuangan keluarga tidak cukup untuk biayanya ke dokter, "sebentar lagi aku makan dan istirahat," katanya, "dengan begitu pasti sembuh."
"Tapi…,"
"Ayah," Badru keluar dari selimutnya itu, "aku baik-baik saja."
Ayahnya keluar. Dan, setelah perbincangan, Badru tidak lagi terdengar suaranya. Di balik selimut, Ia tutup usia.
Kamar #peang, 16 April 2014
Secepat itu Penyesalan Datang
ilustrasi: dari sini
Ibu itu memegang erat tangan anaknya. Ketika meyebrang jalan, semua
tampak baik-baik saja. Namun, ketika sampai di seberang, barulah semua
kejadian terjadi.
Kedua tangan Ibu itu sibuk, yang satu memegang tangan anaknya. Dan, satunya sibuk dengan gadget. Anak itu mungkin habis dijemput pulang dari sekolah.
Di ujung jalan, Ibu itu senyum-senyum sendiri melihat layar gadget-nya. Seperti melihat barang discount-an. Tanpa sadar mungkin, tangannya melepas tangan anaknya. Dari kejauhan, motor melintas dengan cepat. Menyerempet anaknya. Keduanya terpental jauh. Isi tas anak itu berserakan di jalan.
Hanya karena mantan pacarnya menanyakan kabar di Twitter, Ibu itu dengan cepat membalas kabarnya penuh penyesalan.
Kamar #peang, 16 April 2014
Kedua tangan Ibu itu sibuk, yang satu memegang tangan anaknya. Dan, satunya sibuk dengan gadget. Anak itu mungkin habis dijemput pulang dari sekolah.
Di ujung jalan, Ibu itu senyum-senyum sendiri melihat layar gadget-nya. Seperti melihat barang discount-an. Tanpa sadar mungkin, tangannya melepas tangan anaknya. Dari kejauhan, motor melintas dengan cepat. Menyerempet anaknya. Keduanya terpental jauh. Isi tas anak itu berserakan di jalan.
Hanya karena mantan pacarnya menanyakan kabar di Twitter, Ibu itu dengan cepat membalas kabarnya penuh penyesalan.
Kamar #peang, 16 April 2014
Katana
ilustrasi: dari sini
Aku ambil katana dari kotak mainan. Memang hanya itu yang tersisa di
sana. Mainan lainnya, ada yang dimainkan, ada juga yang dibiarkan di
lantai berserakan.
Di Taman Kanak-kanak, mainan seperi mobil, motor, dan, puzzell adalah mainan favorit. Saking seringnya, bentuk mainan tidak karuan; bagian satu dan bagian lainnya terpisah. Namun, tak ada satu pun yang memainkan katana. Meliriknya pun sungkan.
"Bu Guru, boleh aku mainkan katana ini?" kataku.
Nampaknya Ia tidak dengar pertanyaanku tadi. Memang, Ia terlihat sibuk menjaga anak-anak yang main dan hampir bertengkar.
"Bu Guru. Bu Guru…," panggilku.
Bu Guru malah menjerit kesakitan. Jarinya putus setelah kuayunkan katana. Sungguh, aku hanya ingin tanya, "ini katana sungguhan atau mainan?"
Kamar #Peang, 16 April 2014
Di Taman Kanak-kanak, mainan seperi mobil, motor, dan, puzzell adalah mainan favorit. Saking seringnya, bentuk mainan tidak karuan; bagian satu dan bagian lainnya terpisah. Namun, tak ada satu pun yang memainkan katana. Meliriknya pun sungkan.
"Bu Guru, boleh aku mainkan katana ini?" kataku.
Nampaknya Ia tidak dengar pertanyaanku tadi. Memang, Ia terlihat sibuk menjaga anak-anak yang main dan hampir bertengkar.
"Bu Guru. Bu Guru…," panggilku.
Bu Guru malah menjerit kesakitan. Jarinya putus setelah kuayunkan katana. Sungguh, aku hanya ingin tanya, "ini katana sungguhan atau mainan?"
Kamar #Peang, 16 April 2014