- Back to Home »
- Prosa »
- Kado yang Meleset dengan Tepat
Posted by : Harry Ramdhani
April 05, 2014
KADO itu bukan miliknya. Kado itu milik matanya yang baru saja membuka bingkisan namun, yang tertera di sana bukan namanya. Itu nama orang lain. Ingin rasanya mata itu mengucurkan air. Biar hanya setetes. Tapi, itu sia-sia. Tak sekali pun ada niatan untuk membasahi kado terindah yang pernah dilihat matanya.
Ia letakkan kado itu di kolong meja. Disimpannya agar tidak ada yang tahu kalau kado itu bukan miliknya. Andai pemiliknya lupa, mungkin sudah segera Ia taruh di kamar atau dalam lemari baju; di sela celana dan pakaian dalam lainnya. Sayang, kado itu bertuan.
Padahal, diulang tahunnya yang ke-23, rasanya tidak ada kurangnya. Pacar, punya. Sahabat baiknya, tak lupa mengucapkan pula. Orang tua dan calon mertua, sudah singgung-singgung pernikahan di acara makan malam kemarin lusa. Tapi, kado ini, rasanya lebih berarti dari semua. Dari segala hal yang Ia miliki dan baru saja dimiliki.
***
"Untukmu yang selalu kucinta, Marlina." Begitu yang tertulis dibingkisan kado miliknya. Sebuah payung bergambar kartun kesukaannya. Ia senang, tapi biasa-biasa saja. Meski pacarnya tahu kalau Ia senang sekali dengan hujan namun, pacarnya tak ingin melihatnya hujan-hujanan. Sakit adalah alasannya, karena sakit di negeri ini sama saja menunda kematian secara perlahan. Pacarnya tak ingin seperti itu.
"Selamat ulang tahun, Marlina. Ayo, dong, ditunggu surat undangan nikahnya." Sahabat baiknya sedari kuliah tak lupa mengirmkan kado. Sepasang Flat shoes idamannya yang sempat Ia ceritakan dulu kini sudah ada di tangan. Tinggal tunggu tanggal main untuk memakainya. Entah ingin digunakannya ke mana. Tentunya,jelas karena kado yang tadi Ia simpan di kolong meja, membuatnya ingin dibawa lari saja pergi jauh dari kenyataan.
Kado itu merusak segalanya. Merusak kebahagiaan yang semestinya didapat menjadi kesedihan yang mendalam.
Ucapan ulang tahun dari teman-temannya yang lain mulai menggumpal di akun sosial medianya. Tak satu pun sempat Ia balas. Melongoknya saja Ia sudah malas.
***
Sebenarnya kado itu bukan perkara seberapa harganya atau apa bentuknya. Tapi, kado biasanya ialah perkara siapa yang memberinya. Marlina senang-senang saja dapat kado dari orang-orang yang Ia cinta, tapi kado itu terlihat lebih istimewa. Lebih ada rasanya.
***
"Sepulang kerja, kamu ingin ke mana, Inggit?" tanya Marlina padaku.
Inggit-- adalah aku; teman barunya di kantor. Kita satu divisi di bagian keuangan. Marlina adalah karyawan baru di kantorku. Kurang dari setahunan Ia kerja di sini. Sebagai fresh graduate, Ia termasuk yang paling mudah beradaptasi dengan dunia kerja.
Akhirnya kita sepakat untuk ke kafe yang tak jauh lokasinya dari kantor. Tempatnya cukup sepi. Di sana, Marlina menceritakan semua perihal kado yang Ia terima dari Pak Pos yang bukan teruntuknya itu.
"Bukannya ada alamat atau nama pengirimnya di setiap pengiriman barang, ya?" kataku
"Iya, karena itulah, sampai sekarang aku tidak percaya," jawab Marlina.
"Kirim balik saja."
"Tapi,…" Marlina diam cukup lama.
***
Semenjak obrolan kita itu, Marlina jadi sering melamun di kantor. Walau aku tidak ingin menduganya, tapi pasti karena kado itu. Seminggu sudah kado itu ditangannya. Dan, tak ada niatan sama sekali untuk mengirimnya balik. Sama sekali tidak.
Satu bulan. Dua bulan. Marlina tak terdengar lagi namanya. Ia resign dari kantor tanpa alasan yang jelas pula. Aku pun tidak bisa menghubunginya. Mendatangi rumahnya, tak ada yang tahu juga. Orang tuanya sudah melaporkannya ke polisi untuk minta kasus anaknya diselidiki. Ia hilang. Padahal, tahun ini rencananya Ia dinikahi.
Sempat ada kabar kalau Ia telah meninggal. Ada juga yang bilang kalau Marlina kawin lari. Semakin banyak kabar aneh-aneh tentangnya, semakin membuat orang tua, pacarnya, dan sahabatnya cemas.
Dugaan awal polisi adalah orang yang mengirim kado itu, karena kado yang sempat Marlina simpan di kolong meja pun ikut tiada. Namun sayang, orang yang mengirimkan kado itu ditemukan meninggal dengan pita kuning di leher yang terikat kencang.
Pita kuning? Aku ingat sesuatu dengan pita kuning.
Pita kuning itu adalah salah satu kado yang meleset dengan tepat ke Marlina satu tahun lalu. Kado ulang tahunnya yang ke-23 itu. Selain pita kuning, ada juga buku kumpulan cerita-cerita cinta, Sup Ayam.
Pada cerita ke-23, diceritakan kalau ada sepasang kekasih yang seminggu menjelang hari pernikahannya, sibuk memasang pita-pita kuning di sebuah taman --yang kelak akan dijadikannya lokasi pernikahan. Dijadikannya hiasan, gantungan, dan lain sebagainya. Dilakukannya hanya bedua, tanpa ada bantuan siapa-siapa. Kisah cinta yang romantis di mana-mana sama saja, salah satunya mesti ada yang tewas. Pita tempat mereka menggantungkan vas yang berisi mawar merah, putus. Vas itu menghantam keras kepala calon pengantin pria. Darah mengalir deras. Pengan tin perempuan berusaha memanggil ambulans, tapi semua terlambat. Nyawanya tak selamat. Pita kuning yang digunakannya tadi, melintang di leher mayat pengantin pria.
Seminggu setelah kematian itu, pengantin wanita jadi gila. Seperti caleg yang gagal mendapat jabatan di gedung Nusantara.
***
Di tengah taman kota, ditemukan sesesok mayat perempuan yang lehernya terikat pita kuning. Tangannya dengan erat memegang mawar merah yang baru kuncup. Perempuan yang sudah tak lagi waras. Bajunya belel, dadanya terlihat ke mana-mana, ada ceplakan darah kering dibagian vagina. Seperti telah lama diperkosa. Perempuan itu, Marlina.
Laki-laki yang terlebih dulu ditemukan tewas, ternyata orang yang memperkosa. Ia adalah teman dekat Marlina dulu, ketika sempat putus dengan pacarnya. Hubungan mereka tak berlanjut pada yang lebih serius. Marlina kembali pada pacarnya dan lelaki itu kembali pada kebiasaanya dulu; mengagumi dan diam-diam mencintai Marlina.
Marlina kembali menemuinya atas saranku. Kemudian terjadilah semua ini.
Perpustakaan Teras Baca, 05 April 2014
gambar: dari sini