- Back to Home »
- Prosa »
- Sofa Paling Empuk Di Dunia
Saya menulis cerita in setelah pulang dari YKAKI_Indonesia. Ke sana hanya untuk sekedar interview pekerjaan. Sungguh, itu kali pertama saya interview pekerjaan dan... menyenangkan. Pengalaman pertama tidak akan pernah terlupakan.
Seperti biasa, saya menulis di hengpon jadul --yang mungkin kalau rusak maka Tukang Service akan bilang, "biaya ngebenerin lebih mahal dari harga handphone-nya, Mas."-- milik satpam dan belum juga ditebus. Untuk biaya sekolah, katanya. Yasudah. Tulisan ini terhenti ketika hengpon jadul ini kehabisan daya. Battre-nya habis. Baru juga selesai beberapa penggal paragraf. Lalu, tulisan ini sempat saya lakukan ketika mampir sebentar di Kedai Kopi untuk sekedar mencari 'colokan'. Melanjutkannya dan tidak selesai juga. Layaknya nasib semua tulisan yang di hengpon jadul ini, saya selalu lupa memberi nama file dan saya biarkan begitu saja. Tapi, ketika melihat tweet semalam dari YKAKI_Indonesia, saya cari-cari kembali tulisan itu. Satu persatu saya buka file yang jumlahnya lebih dari 200. Ketemu dan, saya melanjutkannya. Bermodal ingatan-ingatan yang masih menempel, tulisan ini selesai. Sungguh, senyum anak-anak di Rumah Singgah YKAKI_Indonesia tidak akan pernah saya lupakan. Senyum mereka menguatkan. Saya ingin sekali bisa kembali ke sana; bermain dan atau urusan yang berbeda. Inilah cerita fiksi setelah pulang dari sana:
Aku duduk di sofa paling empuk di dunia. Hitam warnanya. Ketika duduk, aku tidak ingin ke mana-mana, apalagi sampai berpikir angkat kaki dari sana. Sofa ini paling empuk di dunia.
Di hadapanku saat duduk di sofa paling empuk di dunia, banyak anak-anak yang sedang main, banyak juga ibu-ibu yang menjaga anak-anak itu main. Mungkin ibunya, mungkin juga pengasuhnya. Aku tidak tahu, melihatnya pun baru. Mainan-mainan yang berserakan dibiarkan, karena membereskan mainan sama saja mengubur harapan. Dunia anak adalah dunia bermain.
Lantainya putih dan bersih. Katanya, di sana kebersihan paling dijaga. Sepertinya tidak ada semut yang berani bercumbu di lantai itu. Malu. Saat itu aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Pasti lucu, ketika ada semut sedang nikmat bercumbu, tiba-tiba ada kibasan sapu yang datang bagai luapan air tsunami. Semut itu terangkat bersama kenikmatan yang hilang mendadak. Ah, sofa paling empuk di dunia ini membuat imajinasiku tidak karuan.
Anak laki-laki dengan kepala yang plontos dan mengenakan rompi orange menghampiri. Matanya bulat sebulat kepalanya. Ia memandangiku. Di bola matanya ada aku. Di bola mataku ada anak laki-laki itu. Aku ajak duduk di sofa paling empuk di dunia, Ia menggeleng. Aku ulurkan tangan, Ia lari. Dasar anak kecil, sulit sekali ditebak maunya. Tapi, biarlah, namanya juga anak-anak. Melihat mereka bahagia bermain, adalah caraku memperindah hidupku.
Sepintas teringat sebuah novel kenamaan yang aku lupa judulnya. Novel itu bercerita tentang dunia anak yang diisi hanya main, main, dan main. Tiada libur untuk main. Setiap pagi. Setiap hari. Setiap mereka habis nangis dan mengingat bahwa penyakit ini bisa dengan semena-mena menyerang kapan saja --tanpa kendali.
Aku hanya mengingat salah satu nama tokohnya, Chris. Ya, Chris, adalah pengidap Retinablastoma, salah satu gejala kanker pada anak. Matanya ada bercik putih. Bersinar layaknya mata kucing ketika disorot cahaya. Mata yang kelak akan mampu memandang ke depan. Dokter sering mengingatkan untuk tidak terlalu banyak main, namun anak kecil selalu begitu; lebih baik tidak makan daripada tidak main.
Seingatku, Chris baru berumur 6-7 tahun, sedangkan umur Ibunya sudah berkepala enam. Jarak yang cukup jauh, bukan? Kadang, Ibunya sendiri yang kualahan menjaga Chris. Konflik yang disajikan penulis novel itu sangat bagus. Ia memainkan perasaan dan peran seorang Ibu yang ingin anaknya menjaga kesehatan atau membatasi seluruh kesenangan.
Aku masih duduk di sofa paling empuk di dunia.
Di teras rumah, aku lihat anak laki-laki kepala plontos itu main mobil-mobilan. Mobil yang besar, karena bisa dinaikinya. Layaknya pembalap mobil, Ia banting stir ke kanan dan kiri. Membunyikan klakson yang keluar dari mulutnya sendiri.
"Tiiin… tiiiiiin… permisi, pembalap ingin lewat," kata anak laki-laki plontos itu.
Lucunya, mana ada pembalap bilang, 'permisi'? Dan, aku masih melihatnya main mobil-mobilan.
"Hey, boleh aku ikut main?" kataku.
"Boleh, tapi mana mobilmu?"
"Ini…" aku menunjuk sofa yang kududuki. Sofa paling empuk di dunia.
Aku berputar di sofa itu. Anak laki-laki plontos tadi malah ketawa melihat ulahku. Ah, sekali lagi, aku dibuat senang oleh anak ini. Tawanya sungguh terlalu. Dan, aku ulangi lagi putaran bodoh itu. Anak laki-laki plostos kembali tertawa. Aku ulangi sampai lima kali, kepalaku pusing.
O ya, selain aku, ada empat orang muda-mudi yang --sepenglihatanku-- sedang mengajarkan anak-anak lain. Ada yang diajarkan mewarnai, melukis, dan mencoret-coret kertas. Empat orang muda-mudi tadi duduk berseberangan denganku. Ketika duduk, mereka bicara dengan bahasa inggris, tapi ketika mengajarkan anak-anak itu mereka menggunakan bahasa Indonesia. Hebat. Melihat mereka mengajarkan anak-anak di sini lebih mirip seorang Ibu yang menyuapkan sayuran pada anaknya. Tidak suka tapi, sedikit memaksa. Biarlah, mungkin itu metode lama yang sudah direvisi. Aku tidak tahu, urusanku masih dengan anak laki-laki plontos tadi.
'Di mana dia?' tanyaku dalam hati.
Seorang perempuan dengan rambut dikuncir satu memanggilku berkali-kali. Membangunkanku dari tidur tadi. Ah, sofa ini memang paling empuk sedunia. Bermimpi pun tampak nyata.
"Silakan masuk, Mas. Sudah gilirannya sekarang."
Mengunjungi Rumah Singgah ini, seperti duduk di sofa empuk; tidak ingin ke mana-mana ketika sudah duduk.
Kedai Alania - Perpustakaan Teras Bac.