- Back to Home »
- Prosa »
- Memimpikanmu Pagi Buta
Posted by : Harry Ramdhani
January 15, 2014
Kekasih, percayakah kau kalau mimpi itu membingungkan? Aku percaya. Bagaimana tidak, alur cerita dalam mimpi selalu buatku ingin bangun dan cepat-cepat melupakan. Aku tidak mungkin salahkan Tuhan yang berikan mimpi itu, tapi kadang karena keberadaan Tuhan semua pasti membingungkan. Ada orang mengaku sebagai Tuhan, ada orang yang terlalu fanatik (membela mati-matian) pada Tuhan, ada orang yang berTuhan tapi, kelakuan dan hatinya seperti setan. Bagiku, Tuhan semata untuk disembah, tidak lebih.
O ya, kekasih, reaksiku ketika bangun dari mimpi selalu bingung --apa yang mesti aku lakukan setelah memimpikan itu, namun selama berada di alam mimpi aku nikmati saja. Toh, itu tidak nyata.
Kadang aku takut ketika diberikan mimpi, apalagi memimpikanmu, karena ketika itulah harapanku kembali tumbuh. Ah, pernah aku memimpikanmu ketika tidur lebih cepat dari biasanya. Dalam mimpi aku bahagia bersamamu. Tidak ada lagi yang melarang kita berhubungan. Tidak ada lagi yang menolak ketika ingin bersetubuh di dalam kostan. Tidak ada lagi yang berjanji kalau tak akan pergi. Aku menikmati.
Tapi, perbandingannya hanya satu berbanding tujuh. Satu mimpiku bahagia bersamamu, sisanya menjengkelkan.
Aku sesekali coba mengakali supaya tidak lagi memimpikanmu (bukan maksudku mengakali Tuhan), tapi apapun yang diberikanNYA aku harap mimpi-mimpi yang bahagia saja.Aku coba untuk tidak tidur ketika malam, namun aku coba tidur nanti ketika sudah pagi. Demi apa? Demi bisa memimpikanmu lagi (yang bahagia).
Duh, mukhadimah-ku terlalu panjang, yah? Sebenarnya aku ingin ceritakan mimpiku tadi pagi. Ya, aku memimpikanmu tadi pagi. Seperti yang aku katakan tadi, aku mengakali supaya dapat bahagia walau itu hanya dalam mimpi.
Tenang, kekasih, aku sudah terbiasa dengan mimpi yang membingungkan.
Jadi begini, di dalam mimpi aku sedang tersesat di suatu perkampungan yang hanya dihuni oleh beberapa penduduk. Salah satu penduduk itu kamu. Entah bagaimana caranya aku yang tersesat sudah kenal denganmu. Kita berbincang panjang-lebar di ruang tamu. Pakaian yang kamu kenakan seadanya. Baju putih polos yang hampir tembus dan celana pendek yang kurang pantas disebut celana -karena hanya dijadikan formalitas kalau kamu tidak setengah telanjang. Aku coba menahan birahi. Tapi kamu, selalu memancingnya supaya melakukannya di sini.
"Lebih baik kamu mengajakku keluar. Jalan-jalan," kataku yang takut kalau-kalau nanti aku malah lepas kendali
"Jalan-jalan ke mana?"
"Ke mana saja. Tapi, yang jelas aku tidak ingin cepat-cepat pergi dari aku yang sedang tersesat."
Kita pergi ke suatu tempat di mana orang-orang tidak ada yang mampu melihat. Ruangan gelap. Cukup jauh dari tempat tinggalmu, tapi aku tahu kalau di luar sana ramai.
Hanya 30menit kita di dalam. Namun, yang kita lakukan sama saja seperti di rumahmu: berbicang panjang-lebar. Sungguh. Itu seingatku. Kita lanjutkan jalan-jalan ke suatu tempat yang sepi, tapi aku bisa longkok sekitar kalau banyak orang yang di sana. Manusia, lebih suka di dalam (ruang) menuai harapan daripada keluar (ruang) melihat kenyataan.
Di ujung jalan, aku melihat seorang perempuan. Mirip sekali denganmu. Sangat. Mungkin kalian sepasang anak kembar yang terpisah, seperti sinetron Liontin, yah?
Kamu kaget. Orang yang mirip denganmu pun demikian. Aku, sih, malah senang, ada dua orang yang kusuka jadi dua orang. Lebih puas, bukan?
Kita bertiga mampir ke taman. Aku juga tidak tahu, kenapa dalam mimpi suka sekali pergi ke taman sebagai tempat tujuan. Sialnya, taman-taman itu selalu berbeda antara mimpi satu dengan lainnya. Kamu dan kembaranmu sibuk bertukar cerita, dan di sana aku mendengarkan saja.
"Aku tinggal bersama nenek, katanya orangtuaku sudah meninggal sejak aku berumur tiga tahun," katamu penuh semangat menceritakan.
"Sungguh? Kamu tinggal di mana?" jawab kembaranmu penasaran.
Bla… Bla… Blast! Angin yang bertiup di taman menyarukan perbincangan kalian. Tiba-tiba kalian berdiri, melangkahkan kaki, dan aku yang tidak diajak membuntut saja. Maklum, namanya juga laki-laki.
Setibanya di rumah kembaranmu, kita bertemu dengan orangtua kembaranmu -yang mungkin orangtuamu- yang sedang duduk di teras.
***
"Mas, bangun. Mpok mau beres-beres kamar dulu."
Mimpiku terpotong. Tapi, aku hanya ingat bahwa setiap orang di dunia memliki kembar tujuh. Semoga itu benar, walau aku pernah gagal dulu bersamamu, masih ada enam orang lagi yang bisa aku miliki. Orang yang serupa tentunya.
Tidak ada yang istimewa dalam mimpi selain mimpi horor. Aku juga pernah mimpi horor tapi, aku tidak ingin menceritakan pada semua. Mengingatnya saja aku sudah takut.
Kekasih, apa kau masih mendengar cerita mimpiku di pagi buta?
Ruang tunggu mahasiswa Fisip, Unida, 15 Januari 2014
gambar: dari sini