- Back to Home »
- Prosa »
- Ampulheta
Posted by : Harry Ramdhani
January 15, 2014
Aku tidak lagi perlu arloji. Aku sudah temukan barang langka di jaman yang serba-ada, jam pasir namanya. Istimewa, bukan? Lihat ketika diputar-balik, pasir-pasir berjatuhan dengan teratur. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit, begitu kata pepatah yang melegenda. Entah siapa? Tapi, memang begitu adanya. Aku percaya saja.
Kekasih, silakan saja jika ingin coba putar-balikan jam pasir ini, siapa tahu kesedihan dapat diubahnya menjadi kebahagiaan. Bukan begitu inginmu? Aku sadar, beberapa hari ini aku tampak menyebalkan. Lebih menyebalkan dari penjual bakso yang menanyakan ini-itu, padahal apapun yang disajikan pasti akan dimakan. Menjengkelkan.
Sampai di mana tadi? O ya, kalau kau tidak ingin putar jam pasir ini, tunggu saja sampai yang dibawah penuh. Doa-doa yang kau panjatkan tadi -ketika memutar-balik jam pasir- semoga di-ijabah Tuhan. Tuhan melihat dan mendengar apa yang kau lakukan. Kalau tidak ada juga, simpan di tempat yang Tuhan tidak bisa lihat. Di hatimu. Aku hanya takut kalau Tuhan ikut berdoa, lalu kita mesti berdoa pada siapa?
Duka
Aku sadar. Sangat sadar, kalau melihatmu menderita adalah duka yang tak sanggup aku sembunyikan di antara semua kesedihan. Daripada aku melihatmu menderita, lebih baik aku coba mencabik-cabik kulit titit sampai menjadi luka. Itu kemaluanku. Aku malu tak bisa membuatmu bahagia.
Luka
Perih. Ketika luka aku tabur garam. Sengaja, supaya aku bisa rasakan hal terperih dalam hidupku selain buatmu menderita. Kekasih, lupakan semua cerita cinta selain cerita-cerita yang sering buatmu keluarkan airmata. Di sana, aku percaya, setiap cerita yang keluarkan airmata pasti tidak bisa dilupakan. Silakan pergi asal tetap ingat aku yang bisa buatmu keluarkan airmata.
Airmata
Aku sudah katakan tadi, luka jika ditabur garam rasanya perih. Airmata itu seperti air garam. Asin. Itulah duka dan lukaku bila melihatmu menderita dan ditinggal pula. Perih. Saat airmata jatuh di pipi, aku merasa ditampar kenyataan bahwa kau telah pergi dan tak lagi kembali. Di mana kau sekarang, kekasih?
***
Putar-balik jam pasir. Kesedihanku ini sanggup membasahi seluruh daratan pesisir. Aku ingin mencoba bahagia bila nantinya tidak lagi bersamamu. Aku ingin setia pada tawa dan canda supaya tak ada lagi duka. Tak ada lagi luka. Tak ada lagi airmata.
Setia itu baik. Lihat nelayan, seberapa jauhnya Ia berlayar dan akhirnya pulang juga. Aku ingin terapkan itu. Aku adalah nelayan dan kau ikan. Tapi, aku bukan nelayan yang sembarangan menjual hasil tangkapan. Aku adalah nelayan yang ingin berlayar di semua penantian-penantian kebahagian bersamamu kelak. Entah kapan, tapi pasti.
Perpustakaan Teras Baca, 13 Januari 2014
gambar: dari sini