- Back to Home »
- Prosa »
- Seteguk Bir Terakhir
Posted by : Harry Ramdhani
October 29, 2013
Penantian adalah soal kesetiaan. Di sana perkara sabar dan gusar sering
berdebat untuk menangkan penantian. Katamu, "setia itu baik," itu untuk
yang ditunggu, tapi untuk yang menunggu? Beruntung aku suka menunggu.
Menunggu hal-hal yang tidak perlu ditunggu, semisal menunggumu, mungkin.
Tunggu sampai cerita ini berakhir dan nanti pun kalian akan tahu kalau
aku adalah orang yang suka menunggu.
DI CAFE tempatku menghabiskan malam dan uang, biasanya banyak orang mabuk lalu hilang kesadaran. Entah apa yang membuat mereka mabuk? Padahal bir hanya mengandung sedikit alkohol. Mungkin wanita-wanita yang mereka sewa adalah oplosan bir itu.
Namun malam ini sepi. Musiknya pun bisa terdengar jelas dan pelayan-pelayan terlihat bekerja sangat malas. Botol dan gelas bir masih banyak di atas meja. Pula, lantainya berserakan abu dan puntung rokok. Aku tidak suka tempat yang kotor, tapi lebih baik aku menunggu ada yang membersihkan sebelum aku laporkan mereka ke atasan.
Di sinilah biasanya aku melihatmu datang sendiri. Di minggu ke-empat setelah gajian. Dengan satu botol bir dingin dan beberapa cemilan, kau duduk di pojok bersama remang cahaya lampu. Aku selalu suka melihat wanita meminum bir langsung dari botolnya, diteguk seakan kepenatan ikut hanyut dalam tenggorokan. Itulah kau yang selalu datang di minggu ke-empat.
"Tempat duduk ini kosong?" kataku saat pertama memberanikan diri mendekatimu.
"Kelihatannya kosong, tapi ini bukan untukmu," jawabmu dulu.
Saat itu aku langsung pergi tanpa ucapkan satu kata pun. Bukannya malu, tapi aku tahu dari salah seorang pelayan di sini, kau memang selalu datang dan pulang sendiri. Tidak pernah ada satu orang pun yang kau tunggu.
Namanya: Tirani Azra Lluvia, kata salah seorang pelayan yang sering melayanimu. Nama yang cantik untuk wanita yang cantik.
Sesekali aku pernah pesankanmu sebotol bir dingin, tapi sayangnya tidak kau minum. Katamu, "Aku tidak ingin meminum apa pun yang tidak kupesan," walau sudah diberikan beribu alasan oleh pelayan dari bonus pengunjung ke-seratus sampai buy one get one, namun tetap saja kau tolak.
Lagu Mr. Brightside dari The Killers menghantam sepi cafe ini. Botol dan gelas bir yang belum dirapihkan seakan jatuh, ikut berserakan bersama abu dan puntung rokok di lantai. Semua berantakan seperti aku yang malam ini sedang menunggu datangnya seseorang. Penantian memang tidak semanis kisah-kisah romansa di novel remaja.
Bir di gelasku tinggal sisakan satu teguk lagi. Lagu Mr. Bright Side dari The Killers pun hampir selesai. Malam ini sepertinya penantian terakhirku untuk temuimu, Lluvia.
"Bangku ini kosong?" Mataku terperanjat ke atas. Seakan tak percaya dengan penglihatanku sendiri.
"Bangku ini kini sudah diisi orang," jawabku, "silakan duduk." Lluvia datang dengan menenteng dua botol bir dingin. Yup, kehadirannya telah lebih dulu menghangatkan malam penantianku.
"Setia itu baik," katamu.
"Apa menunggu adalah soal kesetiaan, juga?"
Kita mulai bicara ini-itu karena ada dua botol lagi yang mesti dihabiskan. Bicara pun tak karuan. Bahkan, sampai kedekatan itu kita bicara sering berakhir dengan ciuman-ciuman yang menyejukkan.
Penantian bila tidak dibarengi usaha terlebih dulu memang seperti bir dingin; getir sampai akhir. Dan, sekali lagi kulumat busa di atas bibirmu dengan nikmat, dengan lahap karena kita dibiarkan terkunci di cafe dalam keadaan gelap.
Perpustakaan Teras Baca, 28 Oktober 2013
gambar: dari sini