- Back to Home »
- Prosa »
- Saya Tidak Mencontek
Posted by : Harry Ramdhani
October 17, 2013
Kaki ini terlalu berat untuk melangkah pergi, mungkin terlalu lama di rumah berdiam diri. Masih pagi buta dan suara ayam masih terdengar mendengkur di sana. Di kandangnya.
Kali ini tugasku bukan lagi pemenuh di rumah, tapi menjadi salah seorang dari Tim Pengawas Independen Ujian Nasional. Tugas yang cukup berat. Di Indonesia, pengawas hanya sebuah identitas dan independen merupakan slogan yang disepakati oleh para dipenden. Diberikan tugas di sekolah yang tidak tahu ‘apakah masih terlacak GPS?’ merupakan beban tambahan tersendiri dari tugasku. Sempat iseng mencari di googleMap dan … tidak ada. Jawaban yang sama saat orang ingin meminjam uang.
Seperti biasa, jam-jam segini angkutan umum yang melintas hanya dipenuhi belanjaan warung, sayur-mayur, dan karyawati para mucikari. Setidaknya aku akan menunggu angkutan umum yang aman, karena ini masih pagi, karena masih banyak laki-laki hidung belang yang berkeliaran, karena aku tidak ingin keperawananku hilang direnggut pemuda bajingan di jalan. Dan ingat, ini pagi buta, ayam saja yang biasa bangun pagi tidak melihat, lalu jika ada apa-apa denganku, mesti teriak minta tolong ke siapa?
***
Perjalanan aman, aku sudah sampai di tujuan dengan tidak ada gangguan. Di sekolah, sudah ada beberapa guru yang menyambut dengan ramah –lebih tepatnya berlebihan– bak dokter umum yang siap membuka klinik di perkampungan. Aku tidak tahu mesti bersikap apa? Ini masih pagi buta.
Tugasku ke sini adalah mengawasi kalian yang menyelenggarakan ujian. Tidak lebih.
Ternyata di tempatku mengawas, guru-gurunya tidak ada yang lulus kuliah, sebagian besar dari mereka hanya sempat mengenyam bangku pendidikan sampai Sekolah Rakyat, sisanya malah tidak pernah sekolah. Dan, Kepala Sekolahnya, cuma lulusan Menengah Pertama. Menyeramkan, mereka diminta untuk mengurusi sekolah yang sama sekali mereka tidak pernah enyam dulu. Di sini, mereka diminta mengajar oleh Bupati setempat.
Kalian tahu, tenaga pengajar yang dibuatkan standar oleh pemerintah pusat terlalu tinggi, terlalu membuat daerah ini bermimpi bisa maju oleh orang-orang bernama panjang oleh gelar. Gelar yang kita tidak tahu bisa didapat dengan cara seperti apa, dimana, dan bagaimana. Bukan urusanku, tapi sudah cukup membuatku sedikit prihatin.
Kata salah seorang guru, “Buatkan saja memo, biar nanti guru yang lain bisa menggantikan mengambil soal.” Ide yang baik. Padahal ini masih pagi, mungkin saja Ia sarapan dengan roti tadi. Tiga orang yang ditugaskan untuk mengambil soal di rayon yang kupikir jaraknya sama seperti jarakku kembali pulang, sudah berangkat. Mestinya aku ikut ke sana, tapi karena baru tiba dan perlu istirahat sejenak. Aku istirahat di ruang Kepala Sekolah –sebenarnya tak beda dengan ruang guru, karena masih di satu ruang dan hanya dipisahkan papan sebagai penyekat. Kita Berbincang banyak hal tentang keadaan sekolah. Miris. Mana mungkin satu guru dibebani tugas untuk mengajar empat mata pelajaran? Padahal, di Kota, banyak guru (mungkin lebih baik aku menyebutnya: Pengajar) yang satu minggu hanya kebagian tiga kali mengajar, sisanya mereka hanya absen. Alah, pemerataan adalah akal-akalan orang yang kantornya di kota metropolitan.
Aku tanyakan kesiapan untuk Ujian Nasional, Kepala Sekolah hanya bisa pasrah. Pemerintah sudah seperti Tuhan ketika sedang Ujian, orang-orang yang bergantung dengannya dibuat tak berdaya. Pelecehan terhadap dunia pendidikan. Indonesia mestinya tidak seperti sekarang, Indonesia mestinya sudah siap melihat masa depan.
Apa yang mesti aku lakukan? Jika membiarkan mereka nanti nyontek saat ujian, maka tak bedanya aku dengan setan-setan yang Ia anggap sendiri dirinya manusia. Padahal mereka lebih cocok disebut Landak, bentuknya lucu tapi berduri.
***
Setengah jam lagi ujian dimulai. Aku, beserta pengawas kelas dan panitia pelaksana dari sekolah melakukan rapat kecil dahulu. Berbekal sosialisasi oleh Dinas Pendidikan beberapa hari lalu, dengan itu aku membuat aturan-aturan baru untuk pelaksanaan ujian.
Di depan kelas, aku melihat wajah-wajah peserta ujian yang tegang, sesaat sebelum waktu hampir menunjukan pukul tujuh. Aku hampiri seorang sisiwi yang duduk, Ia bersimpuh dibawah jendela yang hampir copot dan tentu bisa membahayakan dirinya, “sudah siap, kan?” tanyaku seramah mungkin agar tidak semakin membuatnya takut. “Tenang, kamu pasti bisa mengerjakannya.” lanjutku.
Suara velg mobil yang dipukul-pukul ternyata adalah lonceng, tanda peserta ujian masuk kelas. Suara itu seperti suara terompet Sangkakala, pertanda kiamat. Siswa pun berbaris dengan wajah nan-pucat. Pemandangan pendidikan macam apa ini? Tidak ada keriangan yang mencuat, hanya ketakutan yang terlihat dan membuat mereka seakan tidak kuat.
Aku mengelilingi kedelapan ruangan. Memantau satu demi satu agar tidak ada yang kacau. Jujur, dulu pun aku mendapat bocoran selama ujian, tapi apa mereka juga dapatkannya?
Suasana sekolah mendadak sepi, seperti tak ada penghuni di setiap lini. Aku mainkan velg mobil yang dijadikan lonceng, dengan pelan tentunya. Di sini aku jadi orang yang kesepian, berkeliling ruangan pun tak ada tujuan. Di belakang sekolah ada mushola atau kupikir lebih tepat bila disebut gudang penyimpanan beras, debunya banyak, alas kaki membekas di mana-mana, dan banyak lagi. Aku lihat ada guru sedang khusyuk berdoa, ada juga yang tidur, mungkin guru ini sudah percaya atas apa yang Ia lakukan selama ini ke muridnya.
Di ruangan lima ada sedikit keributan, aku bergegas menghampiri. Ada siswa yang ketauan nyontek, Ia membawa kertas bocoran. Darimana Ia dapatkan?
Suasana ruang lima menjadi makin gaduh. Laki-laki yang sedikit lusuh hanya tertunduk dan menangis setelah dibawa ke ruang Kepala Sekolah. Aku, pengawas kelas, dan panitia pelaksana berdiskusi untuk tidak membuat keributan semakin memanjang. Pelaksanaan Ujian dilanjutkan.
Laki-laki itu menangis dan sesegukan, aku ambilkan Ia teh manis untuk tidak melulu ketakutan, sekedar menenangkan. Aku tahu apa yang Ia pikirkan, pasti merasa masa depannya telah hancur karena tidak lulus Ujian Nasional. Banyak cemoohan pasti yang akan Ia terima dari tetangga, dari teman-teman sebaya, dari orang-orang yang tega membunuh jiwa dan anak harapan bangsa.
“Dapat darimana jawaban bocoran itu?” Ah, aku merasa sudah melemparkan pertanyaan bodoh.
Dia masih diam tidak menjawab. Menggenggam cangkir pun seperti ingin dipecahkan. Erat.
“Yasudah, nanti aku coba urus. Kamu tenang saja.” Ucapku sambil mengusap punggungnya.
Kita semua sepakat untuk tidak membawanya kasus ini ke Dinas Pendidikan. Tapi dengan catatan, Ia tidak bisa ikut Ujian bersama temannya di ruangan, tapi di sini, di meja Pengawas Ujian.
***
Ternyata, kasus ini bocor ke Dinas Pendidikan. Ah, dasar dunia pendidikan, bocornya dimana-mana, coba sekali-kali kau bocori oknum yang suka membuat anggaran pendidikan ini bocor, berani tidak?
Aku dan anak laki-laki yang didampingi Kepala Sekolah juga Wali muridnya dipanggil ke Dinas Pendidikan. Mungkin kita akan disidang. Aku sudah siap dengan segala keputusan yang akan dijatuhkan. Karena, seperti yang semua orang tahu, adil di Indonesia hanya mitos belaka.
Dengan menggunakan jilbab merah, tanda aku sudah siap untuk berjuang atas semua tuduhan. Atas semua pernyataan konyol yang mengedepankan aturan. Atas tindakan bodoh mereka memanggilku untuk melihat anak laki-laki ini dibilang: Bersalah.
Dihadapan laki-laki tua berperut tambun, nyaliku tidak akan menciut sedikitpun.
“Kamu sebagai pengawas Independen kenapa malah menyembunyikan kasus ini?” katanya seakan hakim.
Aku malah jadi ikut bodoh, apa urusan mereka menghakimi aku? Kalau ini soal aturan, mestinya dibawa ke pengadilan. Barangkali mereka ingin sesekali berurusan dengan wanita cantik. “Aku tidak menyembunyikan, tapi menyelesaikan kasus ini. Itu berbeda.” Kataku dengan lantang.
“Bukan kewajibanmu menyelesaikan kasus seperti ini. Tugasmu mengawasi ujian.”
Tuhan, kenapa negeri ini mesti dikelola oleh orang-orang tolol seperti laki-laki tua berperut tambun?
“Jika hanya mengawasi, kenapa pemerintah tidak berdayakan preman pasar saja atau pengangguran?” jawabku. “Jelas itu lebih berguna dan aman. Ada kecurangan, tinggal hantam.”
Laki-laki tua berperut tambun naik pitam, “Apa maksudmu? Kau sudah dibayar mengawasi.”
“Di bayar? mana? Aku belum menerima uang sepeser-pun.” Intonasiku sudah sedikit meninggi. “Lantas, apa salahnya anak ini? Yaa… memang Ia mempunyai bocoran tapi, Ia sudah dapat ganjaran.”
Suasana di ruangan semakin panas, antara aku dengan laki-laki tua berperut tambun yang kemudian aku tahu namaya: Rasyidun Gofur.
“Dia mencontek. Dia melanggar aturan. Dan dia tidak akan lulus ujian.” kata Gofur sambil menunjuk-nunjuk Gilang, seorang siswa yang sedang aku bela.
“Mencontek? Dasar bodoh” Aku semakin tidak terkontrol dan berdiri dengan menggebrak meja. “Dia tidak mencontek. Paham?”
“Kau ini sarjana bodoh, yah” Gofur ikut tidak terkontrol. “Jelas-jelas dia mencontek.”
Ibunya Gilang sambil mengusap tanganku untuk tetap bersabar dan menangis memeluk Gilang yang dari tadi tetunduk. Aku yakin, Ia sedang menangis dalam tunduknya.
“Wahai, Pak Gofur yang memiliki jabatan” kataku, “mencontek itu melihat pekerjaan oranglain yang sama-sama sedang mengikuti ujian, sedangkan yang Gilang lakukan adalah melihat bocoran. Sekali lagi, itu berbeda. Melihat bocoran bukanlah mencontek. Jika bapak berani mem-black list nama Gilang, artinya bapak juga telah mencoreng pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan Gilang juga adalah ulah oknum Dinas Pendidikan. Tuduhan bapak tidak diterima. Dan saya, sebagai Tim Pengawas Independen telah menghukumnya.” Jilbab yang aku pakai sampai kendor ke sana-ke mari. Yang aku lakukan di dalam ruangan, persis orang orasi di depan Gedung Kepresidenan.
*** Empat tahun berikutnya ***
Ada sebuah undangan tergeletak di depan pintu rumah. Undangan pernikahan Gilang, seorang siswa yang dulu pernah dihukum mengerjakan Ujian di mejaku. Aku tersenyum melihatnya, Gilang masih mengingatku. Bagiku, itu sudah terlampau membuatku bahagia.
Aku dan Suamiku datang ke pesta pernikahan. Sungguh meriah. Aku bertemu beberapa guru di sekolah tempat mengawas dulu.
Pula, tidak aku duga sebelumnya, Gilang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Biaya kuliahnya Ia tanggung sendiri sambil berdagang. Kini Ia telah terbilang sukses. Usahanya berkembang pesat dan Ia juga banyak terlibat di Lembaga Sosial untuk mensejahterakan pendidikan. Sungguh senang aku mendengarnya.
Dalam setiap butir tangis anak-anak sekolah, mereka yang pernah dilecehkan oleh oknum-oknum pejabat pendidikan, terbersit doa. Doa berbentuk air mata yang ditadahi malaikat dan diberkati ke Tuhan. Selebihnya, adalah urusan Tuhan.
Saat aku menyadari bahwa pendidikan memang pantas untuk diperjuangkan. Perpustakaan Teras Baca, Mei 2013
gambar dari sini