- Back to Home »
- MELANKOLIA »
- naskah (melankolia)
LANGIT sore itu begitu kemerahan. Ive yang duduk di beranda kostan sedang menikmati indahnya senja merasa sedikit terganggu oleh kegaduhan dari kamar sebelah. Dengan sepenuh pemahaman yang dimilikinya, Ive memperhatikan seluruh kejadian yang ada disekitarnya. Seperti seorang penonton dalam sebuah pementasan teater. Ive mendengarkan segala yang terjadi dengan diam. Suatu diam yang mengandung pengertian dan semacam keharuan yang menukik hingga jauh kedalam lubuk hati. Sudah sejak berminggu-minggu sebelumnya, Ive mendengar suara keributan ini. Dan sudah seminggu pula keributan ini semakin memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Diawali dari bantingan pintu lalu disusul dengan teriakan perempuan yang memang istrinya, “Maksud kamu apa ? Jawab, jawab, mas.” Tidak lama kemudian terdengar seperti suara pecahan kaca yang dibanting sangat keras. Kehjadian itu memicu sebuah ingatan, ingatan akan sebuah kejadian yang sudah lama berlalu. Kekjadian yang terus membekas dalam benak Ive. Ive yang masih tertidur sekejab terbangun oleh keributan pasangan muda yang tinggal dikamar sebelah kostannya. “Aku sama sekali tidak ada main dengan wanita itu”, kata suami dengan nada seakan ingin menagaskan kepada istrinya. “Sumpah Pocong-pun aku berani, mah”. “Selalu itu yang jadi alasanmu” kata Istri sambil melangkah keluar kamar. “Terus, apa yang bisa buat kamu percaya ?” sambil memegang tangan istrinya. “Lepasin tanganku, mas” istrinya berhasil keluar dari kamar. Nampak suami itu kesal karena ditinggal lalu terdengar bantingan gelas kearah tembok yang tepat berapitan dengan tembok kamar Ive. Sudah satu minggu lebih mereka bertengkar dan mungkin pagi itu adalah puncak dari segala kegundah-gulananya. Keluarlah Ive dari kamarnya dengan mata yang masih mengantuk. Entah apa yang ada dipikiran kedua orang itu ? Melihat mereka bertengkar layaknya sepasang binatang buas yang merasa kesal karena salah satu dari emreka gagal mendapatkan jatah makanan. Perempuan itu tersenyum seolah ia berkata “Sungguh gembira, engkau menyukai itu ? “.Ive angkat bahu, lalu masuk kembali kedalam kamarnya. Bergegaslah Ive untuk beragkat ke kampus, Ia sedikit kesiangan karena semalam harus tidur sedikit malam memikirkan Tyas, kekasihnya. Hubungan mereka belakangan memang sedikit kurang bagus, tiada hari tanpa pertengkaran layaknya pasangan suami-istri tadi. Memang, pada kesempatan ini Ive tersudutkan. Tersudutkan oleh masalah yang bisa dibilang tidak pantas diributkan. Masalah ketika belum lama mereka menjalani huubungan, tepatnya dihari ke-lima. Tyas menceritakan bahwa uang yang diberikan olehnya untuk membayar kuliah ternyata hilang. Tapi lambat-laun mereka jalani, masalah itu sedikit terlupakan.