- Back to Home »
- MELANKOLIA »
- lanjutan - naskah (melankolia) 6
setia menunggu hujan reda. Ive terus menanti hujan itu reda. Samapi nanti ketika hujan tak lagi meneteskan luka, mendekap duka. Bahkan sampai hujan memulihkan luka. Pagi itu, matahari seakan ikut mereasakan kepedihan Ive. Ia sama sekali enggan memperlihatkan dirinya untuk menunjukkan jati dirinya yang sejati menyinari bumi. Baju Ive yang kering oleh tiupan angin semalam terlihat kotor terkena cipratan tanah. Seketika Ive bangkit dari duduknya, entah kakinya akan membawa kemana. Ive hanya menuruti dan otaknya-pun patuh terhadap perintah Ive. Lambat-laun, hentakan kaki Ive telah membawanya ke suatu hutan. Hutan yang dipenuhi pepohonan lebat. Akar-akar besar melintas dimana-mana, dedaunan yang telah kering dan memisahkan diri dari tubuh pohon bertebaran layaknya pasir dipantai. Sejauh mata memandang hanyalah dedaunan kering. Sungguh sunyi, hanya Ia seorang. Ive memperhatikan daerah sekitar, pikirannya terbang bebas memantul dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Ia berdiri diantar dua pohon yang berdekatan. Ive ‘lah yang menjadi pemisah. Matanya tidak kunjung henti melihat pohon itu. Dari atas kebawah, dari bawah keatas. Dari kiri kekanan. Tidak terlihat seberapa tinggi pohon tersebut. matanya tak sanggup menggapai puncak pohon. Tangannya tak senggup merangkai kedua pohon untuk bersatu. Lelah karena merasa tak sanggup melakukan itu semua, Ive akhirnya terkapar. Mungkin karena badannya yang telah dihancurkan hujan semalam. Seketika, ada burung kecil menghampiri tangan kanan Ive. Tetapi karena kelelahan, Ia tidak meresakan burung yang hinggap ditangannya. Perlahan burung itu terbang keatas badan Ive. Masih saja Ia tidak menyadarinya. Ive kini berada diantara dua dunia, dunia nyata dan dunia fana. Nyata , kerena Ive merasakan setiap gelombang yang mengisi seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Fana, karena dialam bawah sadarnya Ia seperti dalam mimpi. Matan ya terpejam lama hingga burung itu mematukan patuknya kebibir Ive. Ia tidak sanggup menggerakan tubuhnya. Kaku. Kemudian burung itu berkicau, yang dapat Ive lakukan hanya mendengar dan memperhatikan burung. Bunyi pepohonan yang terhempas angin seperti beragam irama yang menghasilkan sebuah nada-nada minor. Burung tersebut masih saja berkicau, semakin lama semakin meninggi. Ive memejamkan matanya kembali dan sesaat Ia dapat bangun. Perlahan tapi pasti dan sampai Ia dapat berdiri. Ive memandangi burung itu, aneh. Burung itu tidak terbang, hanya terus saja berkicau tanpa jeda sedikitpun. “Kenapa kau tidak terbang bersama kawananmu ?” kata Ive kepada burung tersebut. “Apa yang kau lakukan disini ?”. burung itu masih Saja berkicau, tetapi kini seperti menjawab segala pertanyaan Ive padanya. Ive menemukan kardus kecil yang berada tepat disebelah pohon lalu memasukan burung itu kedalamnya. Kardus itu dibiarkan terbuka atasnya tapi burung itu sama sekali tidak terbang. Ia membawanya pulang ke kostan dan meletakkannya didekat kasur.