- Back to Home »
- MELANKOLIA »
- lanjutan - naskah (melankolia) 2
dapat meminjam uang terlebih dahulu kepada orang tuanya. Walaupun ia sendiri sadar bahwa minggu ini saja ia sama sekali tidak dikirim uang mingguan yang biasanya didapat setiap awal minggu. Logikanya, mungkin orang tuanya sedang tidak ada uang untuk mengirimnya atau mereka lupa mengirim karena ada kesibukan yang Ive tidak ketahui. Tanpa pikir panjang, Ive segera meninggalkan meja dan dua gelas besar the yang telah kosong di kantin. Diperjalanan pulang Ive kerap kali tersenyum pahit sendirian setiap pikiran akan masalahnya dengan Tyas itu melintas dikepalanya. Menilik sikap Tyas selama ini di masa mereka baru memulai berhubungan, wanita itu tak terlalu menempatkan sebagai ‘yang setara’. Ive ingat beberapa kejadian yang menguatkan itu. Antara lain ketika Tyas ingin meminjam motor teman Ive untuk menjenguk teman sekolah Tyas dahulu ketika masih SMU di Rumah Saklt. Tatkala Tyas meminta Ive mengantarkan kesana. Seolah tugas lelaki adalah semua yang berkaitan dengan antar-jemput, tidak ada bedanya dengan tukang ojek. Kecil memang persoalan itu, tetapi kalau itu menjadi tekanan dalam hubungan antara seorang pria dan wanita yang menajalin hubungan menuju kearah yang lebih serius, hal itu tak bisa lagi dianggap kecil. Terlebih bagi Ive yang sering melihat ketimpangan perlakuan wanita terhadap pria dimanapun. Seorang pria harus bersedia antar-jemput wanita kapanpun disuruh. Tanah yang sedikit menggembur akibat hujan semalam nampaknya belum juga kering sampai hari ini. Ive seperti sudah bertahun-tahun tidak pulang, padahal baru bulan lalu ia pulang untuk mengambil beberapa buku yang sepat tertinggal di rumah. Para tetangga yang tak kuunjung henti memberi senyum padanya seakan seorang tukang insinyur telah kembali membawa banyak ilmu yang siap dituangkan demi memajukan daerahnya. Memang, hanya keluarga Ive yang menyekolahkan sampai keperguruan tinggi. Selebihnya para masyarakat sekitar hanya menyekolahkan anaknya sampai sekolah atas lalu bekerja. Entah apa yang menjadi harapan orang tua Ive padanya. Mungkin berjuta harapan orang tuanya pada bahwa Ive mampu membawa nama keluarganya hingga martabat tertinggi didalam kehidupan. Dapat membantu orang-orang sekitar untuk bisa lebih maju dibanding sekarang. Sesampainya didepan rumah, sama sekali tidak nampak motor tua yang sering ditunggangi Ayahnya. Sepi sekali. Ive masuk dan langsung melihat ke dapur, tidak seperti biasanya ini terjadi. Biasanya setiap sore Ayahnya sedang asik duduk di ruang tamu sambil membaca koran dan ditemani secangkir teh lalu beberapa makanan kecil yang sekedar melengkapi. Makanan yang dibuat oleh tangan Ibunya tidak hanya lezat, melainkan cantik-cantik bentuknya. Sejak kecil Ive kerap kali diajarkan memasak oleh Ibunya, tapi apa boleh buat, Ia tidak bisa menuruni keahlian Ibunya dalam memasak. Tapi Ive ingat betul perkataannya ketika didapur, “Penelitian dan percobaan tidak harus selalu berbau ilmiah saja”, katanya dengan bangga. “Lihatlah hasilnya. Apakah kamu pernah merasakan kue yang serenyah ini ?”. Ayahnya selalu melakukan itu sembari menunggu waktu maghrib tiba. Dan Ibunya, sedang menyiapkan makan malam. Bau harumnya bisa sampai tercium ke ruangan depan. Seluruh rumah diselimuti masakan yang dapat menggugah nafsu makan.