- Back to Home »
- MELANKOLIA »
- lanjutan - naskah (melankolia) 1
Masalah itu muncul seketika karena minggu ini pula Ujian Tengah Semester. Tyas terancam tidak bisa mengikuti Ujian karena belum membayar. Sedemikian kuatnya keinginan Ive tergambar lewat sikapnya yang penuh semangat untuk membantu Tyas. Seperti biasa, Ive menghabiskan segelas air putih setiap pagi seperti yang sering diingatkan Tyas padanya dengan kepatuhan bahwa Tyas telah memperhatikan kessehatan Ive. Bahkan juga dengan kepatuhan yang sama ia melakukan nasehat-nasehat Tyas untuk tidak lagi memilih-milih makanan tertentu. Dan kepatuhan itu juga lebih berisi pemahaman dan penghargaan atas jerih-payah Tyas untuk terus mengingatkan Ive daripada demi hasilnya. Bahkan apa dan bagaimana hasilnya, Ive tidak memperdulikannya. Sesuatu yang pasti tidak dapat tersentuh oleh orang lain. Yaitu, martabatnya sebagai manusia. Memang kedengarannya agak lewat takaran perasaan yang terjadi pada Ive. Tetapi apabila orang dapaat mengikuti jalan pikirannya, mungkin itu tidaklah terlalu berlebihan. Dari usaha-usaha Tyas dalam memperhatikan kesehatan Ive, seluruhnya hampir berpusat pada satu tujuan. Yaitu, agar Ive dapat hidup sehat karena mampu mempersembahkan dirinya sebagai orang yang akan menjalani hubungan yang lebih serius nanti. Setibanya Ive di kampaus, ternyata dosenya tidak hadir. Duduklah Ive di kantin, sendirian. Entah Tyas berada dimana saat sekarang. Berkali-kali Ive mengabari lewat SMS tapi tak satu-pun dibalas oleh Tyas. Dari meja yang tepat bersebelahan dengan Ive, ia melihat banyak orang yang berpasangan sedang bercanda-tertawa seperti tidak ada masalah yang mereka pikirkan. Tawa lepas mereka membuat Ive yang sedang duduk sendirian nampak seperti sebuah anomali, menjadi seorang yang minoritas. Maka yang keluar dipikirannya ketika itu adalah apa yang akan mereka lakukan apabila mereka berada dalam posisi sepertinya kini ? mungkinkah mereka seperti ia saat ini ? Tempat Photocopy ramai, banyak mahasiswa yang sedang mempersiapkan bahan-bahan perkuliahan untuk UTS nanti. Tidak hentinya orang lewat bagaikan kendaraan di jalan raya. Sama sekali tidak ada hentinya. Ive kembali membuka bukunya untuk meneruskan beberapa potongan syair-syair yang sempat ia janjikan kepada Tyas untuk membuatkan satu buah pertunjukan nanti. Hanya didepan Tyas seorang. Ive memang seorang penyair amatir, belajar menulis sendiri, tetapi sama sekali ia tidak pernah dipertunjukan kepada orang lain. Dan pada suatu ketika Tyas mengetahui bahwa Ive sangat senang membuat syair, Tyas memintanya membuatkan satu karya hanya untuknya. Ive menjanjikan akan melakukan itu pada satu hari dimana hubungan mereka genap 2 bulan. Tapi, mungkinkah itu bisa terjadi apabila keadaannya seperti ini ? MENJELANG sore dihari yang sama, Ive masih saja mencorat-coret bukunya di kantin. Ia sama sekali tidak memperdulikan orang lain yang berlalu-lalang. Hanya dia, pulpen dan buku itu. Tidak ada yang lain. Tak terasa sudah dua gelas besar teh manis yang ia habiskan disana. Dalam keresahan, Ive ingin sekali membantu mencarikan uang pengganti terlebih dahulu untuk Tyas agar dapat mengikuti Ujian. Terbesit didalam pikiran Ive untuk pulang ke rumah dengan harapan ia