- Back to Home »
- MELANKOLIA »
- anjutan - naskah (melankolia) 4
dikirim. Tapi seperti itulah, Ive. Selalu menanggapi dengan diam. Dalam diamnya selalu uncul berjuta pertanyaan yang dijawabnya sendiri didalam pikiran. Dengan diam namun melalui kepekaan pereasaan dan ketajaman pandangan matanya, tanpa banyak bicara Ive masuk ke kamar. Dari dalam kamar, lantas Ive membuka jendela, dengan raut wajah muram dan dengan jutaan rasa yang terpendam didada menghantui pikirannya. Napasnya bergerak turun naik dengan irama yang tetap. Matanya dipejamkan, berharap agar ia dapat tertidur. Malam semakin larut. Angin di luar bertiup resah, seresah hati dan pikirannya. Dedaunan dari pepohonan di luar sana bergesekan, menerbitkan suara yang menambah kegeliasahan Ive. Rasanya, ia ingin melompat jauh-jauh. Entah kemana, pokoknya ia bisa terlepas dari keresahannya ini. Dari kegelisahan ini. Seteets air mata lolos dari matanya ketika suara angin itu semakin mencabik-cabik keheningan. Dengan gerakan kasar, Ia menghapus pipinya yang basah itu dengan tangan kirinya. Sebenarnya Ia tidak ingin menangis. Tahu betul bahwa tak akan menyelesaikan masalah. Keriuhan kamar yang tepat bersebelahan dengan Ive semakin menjadi. Padahal Istirnya kemaris sempat pergi dari kamar. Apa yang membuat Istri itu bisa kembali lagi kesana ? Pikiran Ive semakin semerewut oleh tingkah tetangganya itu. Sudah dua hari ini Tyas tidak memberikan kabar. Masalah demi masalah terajut menjadi satu dalam satu gumpalan benang kusut. Semakin hari semakin besar saja gulungan tersebut. Tidak lama kemudian handphone Ive berbunyi, nampaknya ada SMS dari Tyas, “Aku tunggu dideket lapagan voli, sekarang”. Tampaknya ada yang ingin dibicarakan serius. Hari itu sedikit mendung, nampaknya akan turun hujan yang lebat. Awan hitam saling mendahului untuk segerea sampai ditempat dimana mereka akan menumpahkan semua isi perutnya. Ive keluar kamar dengan tergesa-gesa. Dari jauh terlihat Tyas yang sedang duduk menunggunya. Rambutnya yang panjang terurai kedepan sehingga ketika menundudukan kepala hanya rambut tebal yang berada diatas kepalanya. Mereka hanya duduk berdua, pandangan kosong kedepan. Tidak ada yang memulai perbincangan. P;astik bekas air mineral-pun suaranya sungguh terdengar ketika melintas didepan mereka berdua yang tertiup angain. “Ive . . “ terdengar suara Tyas yang mulai merontohkan tembok keheningan diantara mereka. “Maafin aku”. Ive yang sama sekali tidak mengetahui alasan Tyas meminta maaf secara spontan memotong ucapan, “maaf untuk apa ?” sambil menoleh kearah Tyas, tapi Ia masih saja meunuduk. “Untuk semaunya”. Jawab Tyas sambil menunduk. Ive semakin bingung, langsung Ia engalihkan pembicaraan. “Bagaimana dengan biaya kuliahmu ? apa sudah dapat ?”