Archive for October 2014
Kakek dan Kutukan Kopi Hitamnya
By : Harry Ramdhani
Kopi hitam itu sudah dingin. Kakek membiarkannya tanpa menyentuhnya. 11 hari semenjak kematian Nenek,
ia lebih banyak menyendiri. Kopi itu tampak lebih kental dari biasanya, dan
sore sebentari lagi pergi. Kesedihan telah larut di dalamnya.
“Ingin kubuatkan kopi yang baru, Kek?” tanyaku, “sepertinya
kopi itu sudah dingin,”
Kepergian Nenek membuat Kakek terperangkap pada kesunyian
yang dalam. Tidak ada yang mampu menyelami itu selain Kakek sendiri. Dan,
kesedihannya.
“Tidak perlu. Sebenarnya, dulu, setiap kali Nenek membuatkan
kopi, aku tidak pernah meminumnya. Aku membuangnya sedikit demi sedikit. Kini
aku tahu, dalam secangkir kopi hitam Nenek mengutukku dalam kesunyian dan
kesedihan yang dalam.”
Perpustakaan Teras Baca, 30 Oktober 2014
Tag :
11 Dialog!,
Laki-laki yang Hampiri Kenangan di Batang Jalan yang Panjang yang Sepi dan Sunyi
By : Harry Ramdhaniaku melihatmu tertidur pulas
di lantai atas. kau, dengan mimpi begitu dekat
; seperti tak berbatas.
namun pada batang jalan panjang yang sepi
dan sunyi
aku coba hampirimu, juga mimpi
semakin jauh aku jalan
semakin jauh pula kau dan mimpi meninggalkan.
barangkali aku berjalan
pada batang panjang kenangan
dalam ingatan.
Perpustakaan Teras Baca, 30 Okt 2014
Tag :
Prosa,
Hikayat Pohon Duka
By : Harry RamdhaniDulu, pada batang tubuh pohon itu terukir nama kita. Seperti itulah perlahan rindu tumbuh.
Aku mengajakmu ke sebuah taman yang sudah gersang. Waktu itu aku sedang lari dari rumah, Ayah nampak marah dan ingin sekali memukulku. Barangkali hari itu aku tengah berbuat ulah. Dan, di bawah pohon itu kita sembunyi. Tanpa ada yang tahu, karena ini tempat rahasia yang kita temukan saat mengejar kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya.
Senja hampir tanggal, tapi aku masih ingin tinggal.
Tiba-tiba kau mengambil sebuah batu kerikil yang tajam. Lalu ditulisnya inisial nama kita di batang tubuh pohon yang mungkin terkena kutukan kemarau berkepanjangan.
Kez
dan
Gil
Di lingkari pula inisial nama kita dengan bentuk hati.
"Nama ini tidak akan hilang, sebelum di antara kita ada yang menikah duluan," katamu
"Bagaimana kalau kita menikah bersamaan, Kez?"
"Tulisan ini akan abadi,"
Lamat-lamat matahari hilang. Bulan muncul dengan bulat yang sempurna. Kemudian di bawah pohon yang terkena kutukan itu, kita untuk pertama kalinya ciuman.
***
"Apa kabarmu, Kez?"
"Jauh lebih buruk dari masa-masa kecil kita, Gil,"
"Mengapa?"
"Ada yang tak sanggup aku ceritakan padamu. Ada bagian dariku yang tak perlu kau tahu."
Kini Kez tampak lebih pucat. Kulitnya memang putih, tapi hari ini ia lebih mirip mayat hidup. Sudah 11 tahun terhitung sejak pelarianku ke taman kita tidak bertemu. Selama itu pula kita tanpa pernah menghubungi satu sama lainnya. Waktu memang mampu mengubah segala.
"Apa kau masih suka dipukuli Ayahmu?" tanya Kez sambil memaksakan tersenyum.
"Terkadang," jawabku, "tapi aku tidak lagi lari, karena aku tidak menemukan teman untuk sembunyi,"
Kez bersandar di bahuku. Rasa-rasanya ini ketenangan yang baru ia dapatkan.
"Boleh aku mengajakmu, Gil, kalau-kalau aku ingin sembunyi?"
"Tentu, Kez!!"
Lalu sebelum senja datang, kita lebih dulu berciuman. Kesenangan masa lalu tidak akan hilang, karena terawat baik dalam rumah ingatan.
Tanpa sengaja kita tertidur di bawah pohon yang memang ternyata benar dikutuk itu. Sampai sekarang pohon itu masih kering kerontang.
Laki-laki dengan dada telanjang datang. Ia membawa sesuatu di tangannya. Seperti balok kayu, atau sejenisnya. Ia meneriaki nama Kez.
"Kez…, Kez…, di mana kau? Kez…."
Sontak Kez terbangun dengan kagetnya.
"Kez…, Kez…."
"Gil, temani aku sembunyi. Aku mohon,"
Kez tampak ketakutan sekali.
"Ya, aku akan menemanimu sembunyi," kataku sambil mengusap punggungnya, "tenanglah!"
Lama-lama suara itu hilang. Kez tampak senang. Tapi, ketika kita ingin beranjak pergi dari pohon itu, salah satu inisial nama kita tak ada. Tertinggal namaku.
…
dan
Gil
Perpustakaan Teras Baca, 28 Okt 2014
Tag :
Prosa,
Segumpal Awan Hitam
By : Harry RamdhaniPada jalan panjang yang sepi dan sunyi di sore itu, baru saja aku melihatmu turun dari awan putih yang lembut menuju pelukan Ibumu. Dan, seperti yang sudah-sudah, setiap kepulanganmu selalu ditandai dengan hujan yang rintik, lampu-lampu jalan yang menyala ranum, lalu beberapa bunga di dekat rumahmu bermekaran. Tapi beberapa lainnya berguguran.
Bahagia memang bisa datang dari apa saja. Semisal pertemuan kembali seorang Ibu dengan kepulangan putri satu-satunya itu. Sungguh sederhana.
Ibumu yang sudah lama menunggu kepulanganmu, barangkali menjadi orang pertama yang bahagia sore itu. Yang kedua, aku. Tapi tidak untuk adikmu. Yang aku tahu sedari dulu kamu memang tidak pernah akur dengannya. Biarlah! Mungkin nanti, di suatu waktu, ketika aku datang dengan segenggam bunga mawar yang di dalamnya aku selipkan puisi untuk melamarmu, kelak adikmu akan senang. Semoga.
Namun ada kabar buruk untuk adikmu, aku belum berani melakukan itu.
Pada sore hari yang rintik, rambutku sudah setengah basah. Hujan lama-lama turun cukup deras juga. Tapi aku selalu suka hujan-hujanan, seperti katamu, pupuk yang paling bagus untuk menyuburkan harapan dan kenangan di kepala, ialah air hujan. Maka aku diam dulu sebentar. Hujan-hujanan; untuk sekedar memberi pupuk harapan dan kenanganku itu.
Asal kamu tahu, di sebuah rumah yang hampir rubuh, di sanalah akhirnya aku berteduh. Karena hujan semakin deras dan memberi pupuk secara berlebihan itu tidak baik, bukan? Ketika hujan semakin deras itu, aku sama sekali tidak berani datang ke rumahmu, sebab ada yang lebih menakutkan dari anjing galak. Bapakmu. Lebih baik aku tertimpa genteng dan kaso daripada selalu dicemberuti jika bertemu. Tapi biar bagaimana pun juga, ia tetap orang yang punya andil besar dalam kehadiranmu. Ada yang mesti kamu ingat, hormatku selalu untuk Bapakmu. Tanpanya mungkin aku lebih memilih suka terhadap sesama.
Entah kenapa, tiba-tiba hujan berhenti. Begitu saja, tanpa ada satu atau dua titik hujan yang tertinggal. Kemudian senja menampakan wujudnya. Malaikat datang dengan kuda putih bersayap. Ia menculikmu diam-diam.
Tidak ada yang melihat, hanya aku. Ibumu barangkali di dapur menyiapkan makanan kesukaanmu, dan Bapak serta Adikmu sedang asyik main catur di teras.
Hujan kembali turun. Amat deras. Ibumu menangis. Air mata Ibumu itu berasal dari gumpalan-gumpalan awan hitam yang mungkin tiada habisnya menguapkan kesedihan.
Perpustakaan Teras Baca, Okt 2014
Tag :
Prosa,
Fiksi atau Tidak, Itu Bukan Persoalan
By : Harry RamdhaniTerkait buku, entah hanya saya, atau banyak pembaca di Indonesia yang lebih dulu suka menduga sebelum membaca. Apa lagi buku digital? Dugaan-dugaan barangkali lebih banyak daripada isi bukunya.
Saya sendiri lupa, bagaimana runutan ceritanya bisa tiba-tiba mengunduh EBook nap11:11 anggitan SatrioSV. Yang jelas EBook itu telah selesai saya baca. Dua hal yang saya suka dari nap11:11, pertama cover-nya. Dan, yang kedua, pemilihan jenis font-nya.
Saya pikir kedua hal ini penting. Kembali ke kalimat pembuka saya tadi, pembaca lebih suka menduga-duga. SatrioSV membuatnya sedemikian rupa hingga mengingatkan saya pada beberapa kitab-kitab sastra kuno para sastrwan Yunani. Dengan satu warna dasar dan judul saja.
Lalu pemilihan font dalam EBook nap11:11 juga amat tepat. Sebagai pembaca EBook, font yang digunakan memang lebih baik seperti itu (entah calibri atau bukan). Tidaklah menggunakan font yang lancip atau tajam seperti Times New Roman. Alasannya sederhana, karena EBook biasanya dibaca lewat gadget dan dari sana sudah memancarkan cahaya yang tajam. Jadi kalau digunakan font yang tajam pula akan membuat sakit pada mata.
Namun, yang membuat saya kecewa saat masuk halaman pengantar adalah sikap defensif dari si penulis. "Tulisan ini cuma untuk mengisi waktu kosong gw". Kalimat tersebut seakan membuat pembaca disuguhkan sebuah karya yang hanya dibuat ketika waktu yang senggang. Seperti tidak ada keseriusan. Juga, kalimat bertele-tele dari penulis untuk menjelaskan bahwa nap11:11, ialah karya fiksi, "Semua cerita yang tertulis nanti penuh dengan imajinasi. Jadi bukan sesuatu yang nyata."
Dalam hal kepenulisan, di Ebook ini lebih didominasi oleh bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Gaya bahasa demikian memang paling banyak ditemui di blog atau buku-buku diary; yang biasanya hanya dinikmati hanya untuk konsumsi sendiri. Kalimat bahasa lisan bertebaran di setiap halaman dengan ditandai bagaimana cara penulis menarasikan suatu kejadian seperti sedang menceritakan pada teman di warung kopi. Atau, akrab disebut bahasa Prokem.
"Aku akuin itu terdengar aneh untuk mengawali suatu pembicaraan. Kalo kamu cuma menjawab 'IYA', berarti tamatlah sudah. Pembicaraan ini tentu enggak akan bisa berlanjut.…" (Yang Terlewati; Hal, 4)
Sebenarnya tidak jadi masalah bila bahasa-bahasa demikian ada di dalam sebuah percakapan, tapi bukan ada di bagian narasi. Dan, hal semacam ini pula yang akan mengarahkan pada penulisan tanda baca. Titik, koma, titik-koma, dll., dst., dsb.
Halaman EBook ini pun terlampau banyak. Sangat. Untuk ukuran enam cerita, paling tidak hanya ada 24-30 halaman. Sedangkan ini, 142 halaman. Saya pernah diingatkan oleh penulis novel 'Sepatu Dahlan', Daeng Khrisna Pabhicara, bahwa karakter pembaca di Indonesia itu tidak bisa kuat bertahan lama membaca satu judul. Paling tidak, untuk satu judul cukup empat - enam halaman saja.
Terakhir, ada beberapa pengandaian di dalam cerita ini yang mengingatkan saya pada Vicky. Vicky Prasetyo. Hermeneutika Vicky, begitu yang disebut Zen RS dalam esainya.
"Mission berhasil sang gebetan kaget dengan kedatangan gw dan odon ngebawa kue ultah yang lilinnya buat ngepet dan jangan lupa boneka beruang pink gede itu." (Dear Ndut; hal. 30).
Penggabungan beberapa bahasa dan istilah dalam satu kalimat bila tepat, akan terlihat keren. Tapi, bila itu bisa disampaikan dengan kalimat yang lebih sedehana bukankah jauh lebih baik?
Untunglah ini baru sekedar EBook, bukan kitab sastra sungguhan bangsa Yunani. Karena saya sendiri tidak bisa membayangkan, bagaimana orang-orang Yunani yang sering kita tahu dalam mitologi-mitologi menjalani kisah cinta seperti ini? Barangkali patung Thinker-man akan berganti jadi Joker-man. Sebab jenaka sekali. Barangkali.
Perpustakaan Teras Baca, 08 Okt 2014
Tag :
Buku,
Harta Karun dan Hantu yang Menghantui
By : Harry RamdhaniAda pertanyaan yang selalu menghantui saya ketika menulis: kapan tulisan-tulisanmu dijadikan buku?
Bagi saya, membuat buku (fisik) bukanlah perkara mudah. Membuat buku tidak hanya sekedar mengumpulkan semua tulisan, lalu mengkurasi dan menyuntingnya satu per satu. Namun, ada banyak faktor yang mesti saya pertimbangkan, di antaranya: apa ada yang ingin baca?
Saya ingat betul, sekitar tahun 2009, ketika saya mulai menjajakan kaki ke dunia tulis-menulis, Raditya Dika pernah bilang, "harta karun yang paling berharga bagi penulis, adalah pembaca."
Dan, itu yang selalu saya cari selama menulis sampai sekarang. Mencari harta karun itu.
***
Sekarang, entah ada angin yang datang darimana dan seperti apa? Hantu-hantu yang selalu menggangu saya ketika saya menulis itu terlihat. Hantu itu memperlihatkan wujudnya di pikiran saya yang seadng kosong. Lalu saya pun tahbiskan diri untuk membuat buku.
Membuat buku....
Saya tidak lagi ingin pura-pura menjadi pemburu hantu. Kini saya ingin bersahabat dengan hantu-hantu itu. Barangkali, ini juga yang akan saya mulai: berperang melawan segalanya ketika merampungkan buku.
Buku yang sedang saya rampungkan adalah buku kumpulan cerita. Bukan novel. Alasannya sederhana, nafas saya tidaklah sekuat dan sepanjang novelis-novelis ulung di luar sana. Selain itu juga, pengalaman ikut angkat bicara, sekitar tahun 2011 lalu, saya pernah mencoba membuat novel tapi, mesti kandas ditengah jalan karena satu dan lain hal.
Dan, bagi saya, kumpulan cerpen, sekiranya adalah pilihan yang tepat. Saya lebih suka membaca cerpen ketimbang novel. Salah satu buku kumpulan cerpen kesukaan saya adalah buku anggitan Putu Wijaya. KLOP-- meski buku itu kini telah hilang. Membaca cerpen, seperti melihat reruntuhan puing-puing kota yang dibangun kembali.
Buku kumpulan cerpen yang sedang saya rampungkan ini sudah masuk bagian pemetaan. Sebagian telah rampung dan sisanya belum sama sekali. Di buku kumpulan cerpen ini, saya beri judul: 11 Dialog.
Lebih atau kurang, buku kumpulan cerpen ini akan berisi beberapa cerita tentang kerinduan, kebencian, dan didominasi cerita cinta. Juga lain-lain, dan sebagainya.
Dengan membuat buku ini, saya ingin merawat segalanya, tak terkecuali kenangan dan ingatan. Saya ingin memeras keduanya sampai hanya tersisa ektraknya. Sampai tak ada lagi sisa yang menempel di dalamnya. Daeng Khrisna Pabichara pernah bilang, "rawatlah masa lalu, karana suatu saat akan menafkahimu." Dan, barangkali, ini adalah cara saya untuk mendapat penghasilan dari apa yang saya sukai dan cintai.
O ya, ada yang terlupakan. Buku ini saya akan coba kirim ke beberapa penerbit. Kalau pun tidak ada tanggapan, saya akan mencetaknya sendiri.
Semoga buku '11 Dialog' bisa rampung dalam waktu dekat ini. Semoga. Doakan saja.
Demikian sedikit curahan hati saya terkait buku kumpulan cerpen yang sedang saya rampungkan. Barangkali bisa memberi sedikit manfaat. Karena, bagi saya, mentahbiskan diri menjadi penulis sama saja seperti menambang di perut bumi. Penuh ketidakpastian yang tinggi.
NB: Buku kumpulan cerpen '11 Dialog' saya dedikasikan untuk seorang laki-laki yang oleh Tuhan titipkan mukjizat berupa cinta; Galuh Qoary Aurista.
Perpustakaan Teras Baca, 07 Okt 2014
gambar: dari sini
Tag :
Buku,
Sepotong Sajak, Puisi yang Abadi
By : Harry Ramdhanibuat: Arin Octavianne
/1/
Pada pagi di hari ulang tahunmu, aku sembunyi
di arloji kesayangamu. Di dalam sana
aku hanya ingin melihat seberapa lama
dan kuat
aku mampu membahagiakanmu.
Ayin kecil yang dulu aku kenal, yang suka sekali berlarian tanpa baju itu,
kini tengah menjelma kupu-kupu dengan sayap yang indah
seperti bidadari. Padahal dulu, Ayin kecil ingin sekali
menjadi peri, bukan bidadari.
Bagi Ayin kecil, peri suka menolong, namun bidadari suka menyolong.
Rindu dan cinta suka diambilnya diam-diam.
Tapi, bagiku,
sampai kapan pun ia akan tetap jadi Ayin kecilku.
Ayin kecil mencariku kesana-kemari. Keringatnya keluar banyak,
besar-besar, sebesar biji-biji jambu.
Hampir Ayin kecil menangis, tapi tiba-tiba
arloji itu berbunyi. Setiap pukul 11:11,
dengan pelan menyenandungkan nada-nada riang. Ayin kecil senang
mendengarkan senandung itu berulang.
Di dalam arloji itu kupingku pengang,
serasa ingin mematahkan tiap bagian arloji agar diam.
Ayin kecil akhirnya tertidur. Pada siang di hari ulang tahunnya
matahari tampak bersahaja: tidak terik seperti biasanya,
dan sinar yang memancar seperti keriangan Ayin kecil yang tak pernah pudar.
/2/
Jauh sekali senja tiba di timur kesunyian. Ayin kecil baru terbangun
rasa-rasanya tadi ia mimpi indah. Mimpi diberi hadiah
sebuah puisi oleh seorang yang ia kenal sedari dulu. Tapi mengingat mimpi itu
Ayin kecil merasa sedih karena belum juga ia menemukannya.
Aku masih sembunyi di dalam arloji.
Ayin kecil duduk di depan cermin. Melihat matanya
yang bengkak, melihat dunia halusinasi pada cermin
yang belum juga terkuak.
Tak tega melihat Ayin kecil, aku beranikan keluar
dari dalam arloji untuk berjihad melawan masa lalu.
/3/
"Buatkan aku sepotong sajak saja, sebuah puisi
yang lebih abadi dari luka dan duka,
lebih syahdu dari syair penyair terdahulu,"
Aku tulis puisi ini dilembar daun jati yang kering:
"I miss you. Everlasting you do."
Ayin kecil tersipu. Lalu senja lamat-lamat turun perlahan.
Dan aku, serta-merta dibawanya menjadi siluet kemerahan
sampai senja dan aku pun selamanya menghilang.
Bogor, Oktober 2014
/1/
Pada pagi di hari ulang tahunmu, aku sembunyi
di arloji kesayangamu. Di dalam sana
aku hanya ingin melihat seberapa lama
dan kuat
aku mampu membahagiakanmu.
Ayin kecil yang dulu aku kenal, yang suka sekali berlarian tanpa baju itu,
kini tengah menjelma kupu-kupu dengan sayap yang indah
seperti bidadari. Padahal dulu, Ayin kecil ingin sekali
menjadi peri, bukan bidadari.
Bagi Ayin kecil, peri suka menolong, namun bidadari suka menyolong.
Rindu dan cinta suka diambilnya diam-diam.
Tapi, bagiku,
sampai kapan pun ia akan tetap jadi Ayin kecilku.
Ayin kecil mencariku kesana-kemari. Keringatnya keluar banyak,
besar-besar, sebesar biji-biji jambu.
Hampir Ayin kecil menangis, tapi tiba-tiba
arloji itu berbunyi. Setiap pukul 11:11,
dengan pelan menyenandungkan nada-nada riang. Ayin kecil senang
mendengarkan senandung itu berulang.
Di dalam arloji itu kupingku pengang,
serasa ingin mematahkan tiap bagian arloji agar diam.
Ayin kecil akhirnya tertidur. Pada siang di hari ulang tahunnya
matahari tampak bersahaja: tidak terik seperti biasanya,
dan sinar yang memancar seperti keriangan Ayin kecil yang tak pernah pudar.
/2/
Jauh sekali senja tiba di timur kesunyian. Ayin kecil baru terbangun
rasa-rasanya tadi ia mimpi indah. Mimpi diberi hadiah
sebuah puisi oleh seorang yang ia kenal sedari dulu. Tapi mengingat mimpi itu
Ayin kecil merasa sedih karena belum juga ia menemukannya.
Aku masih sembunyi di dalam arloji.
Ayin kecil duduk di depan cermin. Melihat matanya
yang bengkak, melihat dunia halusinasi pada cermin
yang belum juga terkuak.
Tak tega melihat Ayin kecil, aku beranikan keluar
dari dalam arloji untuk berjihad melawan masa lalu.
/3/
"Buatkan aku sepotong sajak saja, sebuah puisi
yang lebih abadi dari luka dan duka,
lebih syahdu dari syair penyair terdahulu,"
Aku tulis puisi ini dilembar daun jati yang kering:
"I miss you. Everlasting you do."
Ayin kecil tersipu. Lalu senja lamat-lamat turun perlahan.
Dan aku, serta-merta dibawanya menjadi siluet kemerahan
sampai senja dan aku pun selamanya menghilang.
Bogor, Oktober 2014
Tag :
Prosa,
Hikayat Karnaval dan Indahnya Perbedaan
By : Harry RamdhaniAda yang paling berkesan ketika kegiatan Karnaval ‘Bhineka Tunggal Warga’ 17 Agustus 2014 lalu: perbedaan yang mampu berdampingan. Saya katakan ‘mampu’ karena Karnaval yang diselenggarakan Panitia Karang Taruna RW 14 Perumahan Bambu Kuning itu mengusung tema masing-masing daerah di Indonesia yang berbeda. Berbeda-beda tapi warga tetap bersatu; Bhineka Tunggal Warga.
Suatu konsep karnaval yang menurut saya biasa saja ini, dapat diimplementasikan dengan baik oleh peserta dari setiap RT dengan menunjukan kelebihan daerah tersebut. Ada yang mendapat tema Bali, Jawa Barat, DkI Jakarta, dan lain-lain tentunya. Tanpa saling mengejek atau merendahkan suatu daerah, para peserta Karnaval tampak bersuka ria dalam perbedaan-perbedaan itu. Berjalan beriringan dari depan Perumahan sampai lokasi tujuan. Duduk berdampingan sambil menikmati acara. Menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama dengan lantang di Lapangan.
Bukankah kita dengan yang lain sama-sama berbeda? Jadi untuk apa melihat perbedaan itu sebagai suatu ancaman atau kecaman?
Ada yang hitam, dan ada yang putih. Ada yang di atas, dan ada yang di bawah. Ada yang Hindu, Budha, Islam, Kristen. Semua berbeda. Untuk apa kita mesti sama dengan yang lainnya? Tidak ada keharusan, bukan? Perbedaanlah yang membuat semua terlihat indah. Seperti Gereja Katedaral yang berseberangan dengan Masjid Istiqlal. Keduanya saling berhadapan, layaknya sepasang kekasih yang hendak ciuman.
***
Saya ingat betul, ketika baru berumur sekitar delapan tahun, dulu pernah dibangun sebuah Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Saya tidak pernah melihat berntuk rupanya, yang saya tahu, Gereja itu hancur. Seperti habis terkena sebuah ledakan yang cukup besar. Bangunannya berwarna hitam, kacanya pecah berserkan, dan atapnya hilang sebagian. Atau, lebih mirip sebuah pabrik yang sengaja dibakar agar mendapat ganti-rugi dari pihak asuransi. Seperti itu.
Dulu sekali saya tanyakan penyebab kenapa Gereja itu bisa hancur sedemikian rupa. Dan jawabannya beragam, tapi intinya sama: karena gejala alam.
Ketika saya berumur delapan tahun, yang saya bayangkan adalah sebuah kejadian alam yang cukup besar, seperti tersambar petir dan bangunannya hangus terbakar. Setidaknya petir mampu menghancurkan; begitu yang saya tahu dari film-film Power Ranger,Ultraman, dan sebagainya.
Namun, lambat laun saya tumbuh besar, dan rasa keingintahuan saya yang semakin besar juga tentang Gereja itu, akhirnya ada juga yang mengatakan kalau dulu Gereja itu sengaja dirusak. Sengaja dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak suka adanya Gereja di sana.
Sengaja itu berarti adanya suatu tindakan yang dilakukan dengan keadaan sadar, tanpa paksaan, dan bisa dipertanggung-jawabkan. Dan bila tindakan itu menyentuh ranah hukum pidana, artinya juga itu bisa dipidanakan, bukan? Baik itu pihak provokator maupun otak dibalik suatu tindakan tersebut.
Ketika saya tahu itu, seperti ada rasa sakit yang dalam. Pertama, karena ketika kecil saya dibohongi. Dan yang kedua, bukannya saya ingin sok Nasionalis atau Prularlis, tapi menghancurkan suatu tempat ibadah bagi saya hanya dilakukan oleh para Bedebah!!
Seorang Sufi, Gus Candra Malik, pernah bilang saat bedah bukunya Makrifat Cinta, “Tuhan itu ada di mana-mana. Tidak hanya di Masjid. Tuhan bisa saja ada di Gereja, Vihara, ada di mana-mana pokoknya. Ketika kita percayai itu, pasti tidak akan kagok ingin kemana pun. Karena Tuhan selalu ada bersama kita.”
***
Menurut Keith A Robert, seorang Sosiolog Agama, sesungguhnya dalam sebuah konflik agama yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma atau moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang atau kelompok. Yang hendak dicarai dari sebuah fenomena agama adalah dimensi sosialnya. Sampai sejauh mana nilai-nalai keagamaan memainkan peranan dan pengaruh atas eksistensi.
Bayangkan saja bila suatu konflik antar agama itu mengedepankan agama sebagai kedok yang diada-adakan saja? Maka, kedaulatan berkehidupan sosial tidak akan pernah ada. Tidak akan pernah selesai.
Ingatkah kalau beberapa bulan lalu Jawa Pos pernah mencatumkan cerpen buah anggitan Agus Noor yang berjudul ‘Kalung’? sebuah kisah sepasang kekasih yang berbeda agama mesti hangus terbakar di sebuah gedung yang terbakar, tapi di antara reruntuhan itu kalung yang terbuat dari kayu dari keduanya tetap utuh.
Masih dari cerpen Agus Noor tadi, di sana juga dikisahkan Rasullah yang sedang sembahyang berjamaah lalu seperti ada yang menahan gerak matahari hingga subuh terasa lebih lama dari biasa. Jadi, ketika Rasullah ruku’ dan hendak mengangkat kepala, tiba-tiba Malaikat Jibril datang dan merentangkan kedua sayapnya di atas punggungnya lama sekali. Sampai sayap itu diangkat barulah Rasullah bisa mengangkat badan.
Lalu datanglah kembali Malaikat Jibril menghapiri Rasullah dan menceritakan apa yang terjadi ketika itu:
Ali bin Abi Thalib tergesa-gesa menuju masjid agar bisa sembahyang berjamaah, tapi di jalan yang tak begitu lebar itu,ada seorang tua yang berjualan begitu pelan. Ali tidak mengenalnya. Dengan sabar Ali berja;an di belakangnya, tak berani menyalip, karena ia menghormatinya. Pada saat yang sama pula, Allha memerintahkan malaikat Mikail untuk mengekang laju matahari dengan sayapnya agar waktu subuh menjadi panjang. Ketika akhirnya Ali bisa sampai ke masjid dan ikut sembahyang berjamaah.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib tahu, seorang tua laki-laki itu adalah seorang Nasrani.
Tidak hanya itu, ada juga kisah seorang perempuan tua yang dianggap gila oleh seluruh penduduk kampunggnya. Ia hidup sederhana di gubuknya. Setiap sebelum matahari terbit, permpuan itu selalu bangun terlebih dulu. Mengumpulkan embun-embu yang di daun ditampungnya di sebuah cawan. Setiap hari perempuan itu melakukannya, padahal saat itu air sedang melimpah-llimpahnya.
Namun cuaca memang tidak pernah diduga. Malapetaka yang tidak disangka tiba: kemarau panjang yang meranggaskan apa saja. Kekeringan terjadi di mana-mana. Dan, yang tersisa hanya embun yang disimpan perempuan yang dianggap gila oleh penduduk sekampung. Akhirnya penduduk kampung antri demi mendapat air embun itu.
Ditengah antrian penduduk, ada salah seorang teman perempuan itu lalu menasihatinya “Kau mesti menghemat! Kau tak perlu member embun itu untuk mereka yang tidak seiman! Untuk mereka yang tidak mempercayai Kristus…,”
Tapi perempuan yang dianggap gila itu tidak menghiraukan nasihat temannya. Ia terus memberikan setetes demi setetes air embun itu untuk penduduk sekampung. Seiman atau tidak. Dan embun dalam cawan itu tak pernah habisnya.
Kebaikan memang tak pernah habis bila terus dibagikan. Baik seiman atau bukan.
***
Terakhir saya dengar adalah, ada sebuah petisi untuk menolak adanya pembuatan gedung Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Bila rencana itu berjalan sebagaimana mestinya, pasti ini kali kedua saya akan kembali diperlakukan yang sama seperti penghancuran Gereja ketika saya berumur delapan tahun itu.
Dan mungkin, petisi itu sudah disahkan oleh para petinggi tempat ini. Sebuah petisi yang berkeliaran, menjumpai setiap rumah warga dengan bergiliran. Seperti halnya Orde Baru. Pula, yang selalu terjadi di Indonesia adalah mayoritas selalu merasa perkasa dihadapan minoritas, sedangkan minoritas selalu merasa kerdil di hadapan mayoritas. Begitu yang diucapkan Pandji Pragiwaksono dalam stand-up comedy special-nya, Messake Bangsaku.
Padahal dalam kehidupan sosial, tidak ada mayoritas dan minnoritas. Dalam kehidupan sosial, yang ada hanya ketentraman antar penduduknya. Atau, bila boleh meminjam ucapan Mbah Sujiwo Tejo dalam seminar umumnya di TedEx, Bandung, “tidak ada perbedaan dalam Matematika. Yang ada hanyalah persamaan. Jadi untuk apa membeda-bedakan?”
Perpustakaan Teras Baca, 28 September 2014
Tag :
cosmic g-spot,