- Back to Home »
- cosmic g-spot »
- Hikayat Karnaval dan Indahnya Perbedaan
Posted by : Harry Ramdhani
October 01, 2014
Ada yang paling berkesan ketika kegiatan Karnaval ‘Bhineka Tunggal Warga’ 17 Agustus 2014 lalu: perbedaan yang mampu berdampingan. Saya katakan ‘mampu’ karena Karnaval yang diselenggarakan Panitia Karang Taruna RW 14 Perumahan Bambu Kuning itu mengusung tema masing-masing daerah di Indonesia yang berbeda. Berbeda-beda tapi warga tetap bersatu; Bhineka Tunggal Warga.
Suatu konsep karnaval yang menurut saya biasa saja ini, dapat diimplementasikan dengan baik oleh peserta dari setiap RT dengan menunjukan kelebihan daerah tersebut. Ada yang mendapat tema Bali, Jawa Barat, DkI Jakarta, dan lain-lain tentunya. Tanpa saling mengejek atau merendahkan suatu daerah, para peserta Karnaval tampak bersuka ria dalam perbedaan-perbedaan itu. Berjalan beriringan dari depan Perumahan sampai lokasi tujuan. Duduk berdampingan sambil menikmati acara. Menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama dengan lantang di Lapangan.
Bukankah kita dengan yang lain sama-sama berbeda? Jadi untuk apa melihat perbedaan itu sebagai suatu ancaman atau kecaman?
Ada yang hitam, dan ada yang putih. Ada yang di atas, dan ada yang di bawah. Ada yang Hindu, Budha, Islam, Kristen. Semua berbeda. Untuk apa kita mesti sama dengan yang lainnya? Tidak ada keharusan, bukan? Perbedaanlah yang membuat semua terlihat indah. Seperti Gereja Katedaral yang berseberangan dengan Masjid Istiqlal. Keduanya saling berhadapan, layaknya sepasang kekasih yang hendak ciuman.
***
Saya ingat betul, ketika baru berumur sekitar delapan tahun, dulu pernah dibangun sebuah Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Saya tidak pernah melihat berntuk rupanya, yang saya tahu, Gereja itu hancur. Seperti habis terkena sebuah ledakan yang cukup besar. Bangunannya berwarna hitam, kacanya pecah berserkan, dan atapnya hilang sebagian. Atau, lebih mirip sebuah pabrik yang sengaja dibakar agar mendapat ganti-rugi dari pihak asuransi. Seperti itu.
Dulu sekali saya tanyakan penyebab kenapa Gereja itu bisa hancur sedemikian rupa. Dan jawabannya beragam, tapi intinya sama: karena gejala alam.
Ketika saya berumur delapan tahun, yang saya bayangkan adalah sebuah kejadian alam yang cukup besar, seperti tersambar petir dan bangunannya hangus terbakar. Setidaknya petir mampu menghancurkan; begitu yang saya tahu dari film-film Power Ranger,Ultraman, dan sebagainya.
Namun, lambat laun saya tumbuh besar, dan rasa keingintahuan saya yang semakin besar juga tentang Gereja itu, akhirnya ada juga yang mengatakan kalau dulu Gereja itu sengaja dirusak. Sengaja dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak suka adanya Gereja di sana.
Sengaja itu berarti adanya suatu tindakan yang dilakukan dengan keadaan sadar, tanpa paksaan, dan bisa dipertanggung-jawabkan. Dan bila tindakan itu menyentuh ranah hukum pidana, artinya juga itu bisa dipidanakan, bukan? Baik itu pihak provokator maupun otak dibalik suatu tindakan tersebut.
Ketika saya tahu itu, seperti ada rasa sakit yang dalam. Pertama, karena ketika kecil saya dibohongi. Dan yang kedua, bukannya saya ingin sok Nasionalis atau Prularlis, tapi menghancurkan suatu tempat ibadah bagi saya hanya dilakukan oleh para Bedebah!!
Seorang Sufi, Gus Candra Malik, pernah bilang saat bedah bukunya Makrifat Cinta, “Tuhan itu ada di mana-mana. Tidak hanya di Masjid. Tuhan bisa saja ada di Gereja, Vihara, ada di mana-mana pokoknya. Ketika kita percayai itu, pasti tidak akan kagok ingin kemana pun. Karena Tuhan selalu ada bersama kita.”
***
Menurut Keith A Robert, seorang Sosiolog Agama, sesungguhnya dalam sebuah konflik agama yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma atau moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang atau kelompok. Yang hendak dicarai dari sebuah fenomena agama adalah dimensi sosialnya. Sampai sejauh mana nilai-nalai keagamaan memainkan peranan dan pengaruh atas eksistensi.
Bayangkan saja bila suatu konflik antar agama itu mengedepankan agama sebagai kedok yang diada-adakan saja? Maka, kedaulatan berkehidupan sosial tidak akan pernah ada. Tidak akan pernah selesai.
Ingatkah kalau beberapa bulan lalu Jawa Pos pernah mencatumkan cerpen buah anggitan Agus Noor yang berjudul ‘Kalung’? sebuah kisah sepasang kekasih yang berbeda agama mesti hangus terbakar di sebuah gedung yang terbakar, tapi di antara reruntuhan itu kalung yang terbuat dari kayu dari keduanya tetap utuh.
Masih dari cerpen Agus Noor tadi, di sana juga dikisahkan Rasullah yang sedang sembahyang berjamaah lalu seperti ada yang menahan gerak matahari hingga subuh terasa lebih lama dari biasa. Jadi, ketika Rasullah ruku’ dan hendak mengangkat kepala, tiba-tiba Malaikat Jibril datang dan merentangkan kedua sayapnya di atas punggungnya lama sekali. Sampai sayap itu diangkat barulah Rasullah bisa mengangkat badan.
Lalu datanglah kembali Malaikat Jibril menghapiri Rasullah dan menceritakan apa yang terjadi ketika itu:
Ali bin Abi Thalib tergesa-gesa menuju masjid agar bisa sembahyang berjamaah, tapi di jalan yang tak begitu lebar itu,ada seorang tua yang berjualan begitu pelan. Ali tidak mengenalnya. Dengan sabar Ali berja;an di belakangnya, tak berani menyalip, karena ia menghormatinya. Pada saat yang sama pula, Allha memerintahkan malaikat Mikail untuk mengekang laju matahari dengan sayapnya agar waktu subuh menjadi panjang. Ketika akhirnya Ali bisa sampai ke masjid dan ikut sembahyang berjamaah.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib tahu, seorang tua laki-laki itu adalah seorang Nasrani.
Tidak hanya itu, ada juga kisah seorang perempuan tua yang dianggap gila oleh seluruh penduduk kampunggnya. Ia hidup sederhana di gubuknya. Setiap sebelum matahari terbit, permpuan itu selalu bangun terlebih dulu. Mengumpulkan embun-embu yang di daun ditampungnya di sebuah cawan. Setiap hari perempuan itu melakukannya, padahal saat itu air sedang melimpah-llimpahnya.
Namun cuaca memang tidak pernah diduga. Malapetaka yang tidak disangka tiba: kemarau panjang yang meranggaskan apa saja. Kekeringan terjadi di mana-mana. Dan, yang tersisa hanya embun yang disimpan perempuan yang dianggap gila oleh penduduk sekampung. Akhirnya penduduk kampung antri demi mendapat air embun itu.
Ditengah antrian penduduk, ada salah seorang teman perempuan itu lalu menasihatinya “Kau mesti menghemat! Kau tak perlu member embun itu untuk mereka yang tidak seiman! Untuk mereka yang tidak mempercayai Kristus…,”
Tapi perempuan yang dianggap gila itu tidak menghiraukan nasihat temannya. Ia terus memberikan setetes demi setetes air embun itu untuk penduduk sekampung. Seiman atau tidak. Dan embun dalam cawan itu tak pernah habisnya.
Kebaikan memang tak pernah habis bila terus dibagikan. Baik seiman atau bukan.
***
Terakhir saya dengar adalah, ada sebuah petisi untuk menolak adanya pembuatan gedung Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Bila rencana itu berjalan sebagaimana mestinya, pasti ini kali kedua saya akan kembali diperlakukan yang sama seperti penghancuran Gereja ketika saya berumur delapan tahun itu.
Dan mungkin, petisi itu sudah disahkan oleh para petinggi tempat ini. Sebuah petisi yang berkeliaran, menjumpai setiap rumah warga dengan bergiliran. Seperti halnya Orde Baru. Pula, yang selalu terjadi di Indonesia adalah mayoritas selalu merasa perkasa dihadapan minoritas, sedangkan minoritas selalu merasa kerdil di hadapan mayoritas. Begitu yang diucapkan Pandji Pragiwaksono dalam stand-up comedy special-nya, Messake Bangsaku.
Padahal dalam kehidupan sosial, tidak ada mayoritas dan minnoritas. Dalam kehidupan sosial, yang ada hanya ketentraman antar penduduknya. Atau, bila boleh meminjam ucapan Mbah Sujiwo Tejo dalam seminar umumnya di TedEx, Bandung, “tidak ada perbedaan dalam Matematika. Yang ada hanyalah persamaan. Jadi untuk apa membeda-bedakan?”
Perpustakaan Teras Baca, 28 September 2014