- Back to Home »
- Buku »
- Fiksi atau Tidak, Itu Bukan Persoalan
Posted by : Harry Ramdhani
October 08, 2014
Terkait buku, entah hanya saya, atau banyak pembaca di Indonesia yang lebih dulu suka menduga sebelum membaca. Apa lagi buku digital? Dugaan-dugaan barangkali lebih banyak daripada isi bukunya.
Saya sendiri lupa, bagaimana runutan ceritanya bisa tiba-tiba mengunduh EBook nap11:11 anggitan SatrioSV. Yang jelas EBook itu telah selesai saya baca. Dua hal yang saya suka dari nap11:11, pertama cover-nya. Dan, yang kedua, pemilihan jenis font-nya.
Saya pikir kedua hal ini penting. Kembali ke kalimat pembuka saya tadi, pembaca lebih suka menduga-duga. SatrioSV membuatnya sedemikian rupa hingga mengingatkan saya pada beberapa kitab-kitab sastra kuno para sastrwan Yunani. Dengan satu warna dasar dan judul saja.
Lalu pemilihan font dalam EBook nap11:11 juga amat tepat. Sebagai pembaca EBook, font yang digunakan memang lebih baik seperti itu (entah calibri atau bukan). Tidaklah menggunakan font yang lancip atau tajam seperti Times New Roman. Alasannya sederhana, karena EBook biasanya dibaca lewat gadget dan dari sana sudah memancarkan cahaya yang tajam. Jadi kalau digunakan font yang tajam pula akan membuat sakit pada mata.
Namun, yang membuat saya kecewa saat masuk halaman pengantar adalah sikap defensif dari si penulis. "Tulisan ini cuma untuk mengisi waktu kosong gw". Kalimat tersebut seakan membuat pembaca disuguhkan sebuah karya yang hanya dibuat ketika waktu yang senggang. Seperti tidak ada keseriusan. Juga, kalimat bertele-tele dari penulis untuk menjelaskan bahwa nap11:11, ialah karya fiksi, "Semua cerita yang tertulis nanti penuh dengan imajinasi. Jadi bukan sesuatu yang nyata."
Dalam hal kepenulisan, di Ebook ini lebih didominasi oleh bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Gaya bahasa demikian memang paling banyak ditemui di blog atau buku-buku diary; yang biasanya hanya dinikmati hanya untuk konsumsi sendiri. Kalimat bahasa lisan bertebaran di setiap halaman dengan ditandai bagaimana cara penulis menarasikan suatu kejadian seperti sedang menceritakan pada teman di warung kopi. Atau, akrab disebut bahasa Prokem.
"Aku akuin itu terdengar aneh untuk mengawali suatu pembicaraan. Kalo kamu cuma menjawab 'IYA', berarti tamatlah sudah. Pembicaraan ini tentu enggak akan bisa berlanjut.…" (Yang Terlewati; Hal, 4)
Sebenarnya tidak jadi masalah bila bahasa-bahasa demikian ada di dalam sebuah percakapan, tapi bukan ada di bagian narasi. Dan, hal semacam ini pula yang akan mengarahkan pada penulisan tanda baca. Titik, koma, titik-koma, dll., dst., dsb.
Halaman EBook ini pun terlampau banyak. Sangat. Untuk ukuran enam cerita, paling tidak hanya ada 24-30 halaman. Sedangkan ini, 142 halaman. Saya pernah diingatkan oleh penulis novel 'Sepatu Dahlan', Daeng Khrisna Pabhicara, bahwa karakter pembaca di Indonesia itu tidak bisa kuat bertahan lama membaca satu judul. Paling tidak, untuk satu judul cukup empat - enam halaman saja.
Terakhir, ada beberapa pengandaian di dalam cerita ini yang mengingatkan saya pada Vicky. Vicky Prasetyo. Hermeneutika Vicky, begitu yang disebut Zen RS dalam esainya.
"Mission berhasil sang gebetan kaget dengan kedatangan gw dan odon ngebawa kue ultah yang lilinnya buat ngepet dan jangan lupa boneka beruang pink gede itu." (Dear Ndut; hal. 30).
Penggabungan beberapa bahasa dan istilah dalam satu kalimat bila tepat, akan terlihat keren. Tapi, bila itu bisa disampaikan dengan kalimat yang lebih sedehana bukankah jauh lebih baik?
Untunglah ini baru sekedar EBook, bukan kitab sastra sungguhan bangsa Yunani. Karena saya sendiri tidak bisa membayangkan, bagaimana orang-orang Yunani yang sering kita tahu dalam mitologi-mitologi menjalani kisah cinta seperti ini? Barangkali patung Thinker-man akan berganti jadi Joker-man. Sebab jenaka sekali. Barangkali.
Perpustakaan Teras Baca, 08 Okt 2014