- Back to Home »
- Prosa »
- Segumpal Awan Hitam
Posted by : Harry Ramdhani
October 10, 2014
Pada jalan panjang yang sepi dan sunyi di sore itu, baru saja aku melihatmu turun dari awan putih yang lembut menuju pelukan Ibumu. Dan, seperti yang sudah-sudah, setiap kepulanganmu selalu ditandai dengan hujan yang rintik, lampu-lampu jalan yang menyala ranum, lalu beberapa bunga di dekat rumahmu bermekaran. Tapi beberapa lainnya berguguran.
Bahagia memang bisa datang dari apa saja. Semisal pertemuan kembali seorang Ibu dengan kepulangan putri satu-satunya itu. Sungguh sederhana.
Ibumu yang sudah lama menunggu kepulanganmu, barangkali menjadi orang pertama yang bahagia sore itu. Yang kedua, aku. Tapi tidak untuk adikmu. Yang aku tahu sedari dulu kamu memang tidak pernah akur dengannya. Biarlah! Mungkin nanti, di suatu waktu, ketika aku datang dengan segenggam bunga mawar yang di dalamnya aku selipkan puisi untuk melamarmu, kelak adikmu akan senang. Semoga.
Namun ada kabar buruk untuk adikmu, aku belum berani melakukan itu.
Pada sore hari yang rintik, rambutku sudah setengah basah. Hujan lama-lama turun cukup deras juga. Tapi aku selalu suka hujan-hujanan, seperti katamu, pupuk yang paling bagus untuk menyuburkan harapan dan kenangan di kepala, ialah air hujan. Maka aku diam dulu sebentar. Hujan-hujanan; untuk sekedar memberi pupuk harapan dan kenanganku itu.
Asal kamu tahu, di sebuah rumah yang hampir rubuh, di sanalah akhirnya aku berteduh. Karena hujan semakin deras dan memberi pupuk secara berlebihan itu tidak baik, bukan? Ketika hujan semakin deras itu, aku sama sekali tidak berani datang ke rumahmu, sebab ada yang lebih menakutkan dari anjing galak. Bapakmu. Lebih baik aku tertimpa genteng dan kaso daripada selalu dicemberuti jika bertemu. Tapi biar bagaimana pun juga, ia tetap orang yang punya andil besar dalam kehadiranmu. Ada yang mesti kamu ingat, hormatku selalu untuk Bapakmu. Tanpanya mungkin aku lebih memilih suka terhadap sesama.
Entah kenapa, tiba-tiba hujan berhenti. Begitu saja, tanpa ada satu atau dua titik hujan yang tertinggal. Kemudian senja menampakan wujudnya. Malaikat datang dengan kuda putih bersayap. Ia menculikmu diam-diam.
Tidak ada yang melihat, hanya aku. Ibumu barangkali di dapur menyiapkan makanan kesukaanmu, dan Bapak serta Adikmu sedang asyik main catur di teras.
Hujan kembali turun. Amat deras. Ibumu menangis. Air mata Ibumu itu berasal dari gumpalan-gumpalan awan hitam yang mungkin tiada habisnya menguapkan kesedihan.
Perpustakaan Teras Baca, Okt 2014