- Back to Home »
- OBSET »
- Supersemar
Posted by : Harry Ramdhani
March 14, 2013
Malam itu, mencekam.
Angin ribut di luar luluh-lantah dan memporak-porandakan bangunan
sekitar gedung. Suasana pada tanggal 11
Maret tidak akan pernah dilupakan oleh banyak rakyat Indonesia. Surat Perintah Sebelas Maret atau yang sering
dibilang Supersemar menjadi sedikit cacatan gelap Bangsa Indosesia. Bahkan, sampai detik ini, tidak pernah ada
kejelasan akan hilangnya (atau sengaja dihilangkan) Supersemar. Salah satu lembaga, Arsip Nasional-pun tidak
dapat mencari keaslian surat tersebut.
Banyak cerita muncul dari beberapa media setiap tanggal 11
Maret. Semuanya berbeda. Entah, sumber mana yang dituju guna
mendapatkan data dalam menulis suatu berita.
Namun, secara garis besar, ini ada kaitannya dengan Mayor Jend. Soeharto
(yang kemudian menggantikan Sukarno menjadi Presiden) yang pada saat itu selaku
Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jend. Ahmad Yani yang gugur akibat
peristia G-30-S/PKI itu.
Kondisi Indonesia memang saat itu dalam kondisi tidak
kondusif, bahwa banyak ‘pasukan liar’ atau ‘pasukan tak dikenal’ (yang
belakangan baru diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jend.
Kemal Idris) yang bertugas menahan orang-orang yang terindikasi G-30-S di
antaranya ‘Kabinet 100’ dan salah satunya adalah Perdana Menteri I Soebandrio.
Pada malam hari, di Istana Bogor, datanglah tiga orang
perwira tinggi (AD) untuk menemui Presiden Sukarno yakni Brigadir Jend. M.
Jusuf, Brigadir Jend. Amirmacmudin dan Brigadir Jend. Basuki Rahmat. Terjadi perbincangan sengit antara ketiga
perwira tersebut dengan Presiden Sukarno mengenai situasi yang terjadi dan
ketiga perwira tersebut mengatakan behwa Mayjend Soeharto mampu mengatasinya
dan mengendalikan situasi guna memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas
atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil
tindakan. Perbincangan tersebut berakhir
pada pukul 20:30 malam. Presiden Sukarno
setuju dan dibuatlah surat perintah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret
atau Supersemar yang ditujukan untuk Mayjend Soeharto.
Ironis memang, Indonesia musti memperingati (walau bukan
menjadi libur nasional) setiap tahunnya sebuah catatan gelap. Melalui Supersemar itulah asal-muasal tongkat
kekuasan Soeharto ditegakkan. Melalui
Supersemar itulah Soeharto dapat mengendalikan Negara ini sampai takluk di
kedua tangannya. Melalui Supersemar
itulah Negara ini terjajah 32 tahun lamanya.
Banyak yang memberi kesaksian bahwa Sukarno sempat ditodongan senjata
tajam untuk menandatangani (dengan paksa) Supersemar. Ada juga yang mengatakan bahwa, sebenarnya
tidak terjadi pertentangan sengit antara Sukarno dengan perwira tinggi (AD),
namun diluar Istana memang sedang terjadi pergolakan yang sengit di mana
demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar Istana. Mengingat situasi sedemikian
rupa, rupanya Sukarno menandatangani (juga) surat itu.
Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi secara
persis kejadian tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Semua saksi yang
dianggap berkompeten menguak peristiwa Supersemar sudah tidak ada. Tapi, kejadian ini-pun sedikit mengingatkanku
soal kelulusan sidang yodisium pada tanggal 11 Maret 2013 di ruang Sidang.
Sedikit mengutip tulisan Kritikus Sastra Nurhady Sirimorok
(2008) tentang Laskar Pelangi; Andrea Hirata Pembacanya dan Modernisasi
Indonesia, bahwa novel Laskar Pelangi adalah korban dari Orde Baru, di mana
bisa mendapatkan Harta dan Kekuasaan melalui gelar sarjana pendidikan formal.
Memang, Aku sedikit tidak setuju tentang kritikan Nurhady Sirimorok (2008)
tapi, memang itulah kenyataannya saat ini.
Gelar sarjana dijadikan magnet penarik dan kutub utara maupun selatan
adalah Ijazah. Aku tidak peduli.
Menjadi seorang sarjana adalah impian setidaknya 90%
mahasiswa. untuk meraihnya, tidaklah
semudah meludah di sembarang tempat, butuh tahap-tahap yang musti dilalui
seperti seminar ini-itu, penelitian, dan sidang. Sidang Yodisium adalah siding di mana
mahasiwa diberikan secarik kertas dan memberi tahu bahwa mahasiswa tersebut
lulus atau tidak. Dekan langsung menandatangani surat tersebut dan jadilah
Sarjana. Tapi, sebelum itu, mahasiswa
musti melewati sidang Skripsi di mana mahasiswa akan berhadapan langsung dengan
penguji untuk ‘menelanjangi’ isi Skripsi. Hanya berdua penulis dan penguji.
Inilah yang Aku anggap sebagai mirip seperti
Supersemar. Kita tidak pernah tahu
kejadian yang sebenarnya terjadi saat sidang, kita tidak pernah tahu apa saja
yang dilakukan saat sidang. Ketika semua
itu selesai, maka penulis Skripsi akan diberikan surat tanda lulus saat sidang
Yodisium dan tiba-tiba, “Hey, Aku lulus.” Kemungkinan terburuk yang terjadi
adalah akan lahirnya ‘Soeharto-Soeharto baru’ bila caranya seperti ini. Tapi , kemungkinan teraiknya adalah sudah
saatnya pembuktian di lapangan. Maaf,
bukannya ingin merendahkan penguji maupun penulis Skripsi, sedikitpun tidak.
Bukannya Aku tidak ingin mengucapkan ‘Selamat’ bagi
mahasiswa yang telah lulus tapi, apanya yang musti diselamati dari permulaan ?
Aku hanya memberikan ‘Selamat’ kepada penulis Skripsi saat selesai melakukan
penelitian. Bagiku, kelulusan adalah sebuah simbolisasi semata atas usaha atau
jerih payah mahasiswa yang telah melakukan penelitian. Lulus atau tidak lulus, adalah hasil. Karena ‘0’ adalah (juga) hasil.
Selamat atas penelitiannya, karena penelitiannya sangat
berguna bagi masyarakat luas. Aku
berhutang satu bungkus coklat padamu.