Archive for 2014
Tahun Baru, Tuhan Lama, Dua Cerita Lainnya
By : Harry RamdhaniTAHUN BARU DAN TUHAN LAMA
MENJELANG malam tahun baru, Dini lebih memilih mengurung diri di kamar ketimbang pergi keluar dengan teman-temannya. Gadis berusia 11 itu baru saja mengalami menstruasi pertama. Ia tidak berani cerita ke orang tua. Takut disangka habis kehilangan keperawanannya, sebab darah itu tidak berhenti keluar dari lubang kencingnya.
Kau tahu cara Tuhan bersenang-senang? Ia membuat manusia takut pada apa pun dengan berlebihan. Ketakutan selalu menggiring manusia untuk berdoa. Dan itu yang dilakukan Dini di kamarnya.
“Tuhan, bila tahun yang baru ini aku telah resmi dewasa, tolong jangan pisahkan aku dengan Tuhan yang lama, yang selalu mengabulkan doa-doa kecilku setiap malam, sebelum aku tidur. Amin.”
PATUNG PEREMPUAN
DI depan toilet umum stasiun itu dibangun sebuah patung seorang perempuan. Menurut cerita, itu perempuan gila yang mati di depan toilet umum. Setelah kematiannya, toilet umum itu menjadi sangat angker. Selalu ada kejadian yang aneh-aneh. Pernah satu waktu pengguna toilet mati dengan tubuh berlumur tahi. Kejadian itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan ada juga yang mati tanpa pelir, kemaluannya tidak ditemukan di sekitar toilet. Hilang begitu saja. Setelah Perusahaan kereta itu dikelola swasta dan tidak ingin kejadian-kejadian aneh itu terulang, maka dibuatkan patung di depan toilet umum itu.
Namun ada juga cerita lainnya: ini tentang kisah cinta penjaga loket dengan petugas pemeriksa tiket. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan. Mereka dipertemuakan oleh duka yang sama: masing-masing di antara mereka telah lebih dulu ditinggal mati kekasih yang dicinta. Persis saat-saat ketika ingin melangsungkan pernikahan.
Hubungan mereka sangat bahagia. Ke mana-mana selalu berdua. Di mana ada penjaga loket, di situ ada petugas pemeriksa tiket. Sangat lengket. Barangkali hanya saat ke toilet mereka berpisah.
Dan benar saja, setelah rapih-rapih ingin pulang shift malam, mereka pergi ke toilet. Penjaga loket itu sudah selesai lalu menunggu pacarnya di depan toilet. Lama sekali. Teman-temannya sudah pulang , tapi perempuan penjaga loket itu tetap menunggu. Dia berdiri di depan toilet laki-laki sampai pagi. Baru saat itulah pasangannya ditemukan tewas dengan luka tusuk di jantungnya. Semalam ia dibunuh di dalam kamar mandi. Mungkin karena telah lelah, perempuan penjaga loket itu mati terserang penyakit jantung di depan toilet laki-laki.
Untuk mengabadikan kisah cinta mereka, akhirnya dibuatkan patung perempuan di depan toilet umum itu. Sesaat setelah keluar dari toilet umum, tepat di depan patung, seperti ada yang tangan yang menarik baju saya.
PEMBUKA BOTOL
BANYAK yang menanyakan tentang pembuka botol itu, yang selalu ada di tas saya. Kata mereka, untuk apa setiap hari dibawa-bawa? Saya hanya menjawab seperti yang Seruni pernah katakan dulu, “kau tidak akan pernah tahu, kapan, di mana, dan dengan siapa nanti meminum bir. Setidaknya, ketika kau bawa pembuka botol itu setiap hari, kau akan paham dua hal: tidak lagi kesulitan ketika ingin minum bir dan melihat Tuhan bekerja dengan segudang rencana-Nya.”
Saya ingat betul itu, karena apa yang pernah Seruni katakan tentang pembuka botol itu terjadi pada pertemuan kita yang ketiga. Pertamuan pertama, kita saling tukar kartu nama. Pertemua kedua, kita bertukar cerita. Lalu dipertemuan ketiga, di apartemenmu, kita sama-sama bertukar cerita perihal nama-nama pakaian dalam yang kita punya. Barulah saya sadari kalau Seruni suka membawa pembuka botol ketika ingin membuka bir yang telah lebih dulu sudah dibeli sebelum kita ke apartemenmu.
“Memang hanya itu isi tas aku, Sya: make-up, charger, dan pembuka botol,” katamu. “Tapi yang tidak pernah ketinggalan, ya, pembuka botol itu.”
“Kalau sewaktu-waktu ketinggalan?”
“Lebih baik aku tidak pakai BeHa tiap ke mana-mana daripada pergi tanpa bawa pembuka botol,” guyonnya, sambil menuangkan bir ke gelas saya.
Malam itu hujan baru saja turun. Kebetulan AC apartemenmu masih rusak. Kelembaban suhu setelah hujan membuat kita sama-sama kegerahan. Maka, malam itu, masing-masing di antara kita sama sekali tidak mengenakan pakaian.
Ini botol ketiga. Wajahmu makin memerah. Berdiri saja tak sanggup. Seruni sudah mabuk. Memang malam itu Seruni yang mengajak saya ke apartemennya. Ada yang ingin ia ceritakan tentang kesiapannya menjelang pernikahan. Bayangkan, satu minggu sebelum menikah tapi, ia belum mempersiapkan apa-apa. Seruni merasa seperti masih ada yang mengganjal di hatinya.
“Aku tidak takut, atau apa, tapi…”
“Pernikahan bukanlah pelabuhan terakhir, karena cinta akan membawamu berlayar semakin jauh ke samudera yang lebih luas lagi,” kata saya.
Seruni menundukkan kepalanya. Ia sadar, pernikahannya ini semata hanya urusan politik antara orang tuanya dan orang tua pacar dadakannya itu. Padahal kalau dipikir-pikir, calon suami Seruni orang yang baik. Memegang beberapa perusahan Keluarga. Dan yang lebih penting, calon suami Seruni akan diusung menjadi Presiden dari kedua partainya untuk periode berikutnya.
Namun, dalam diam Seruni itu, perlahan saya paham kegelisahhnya. Politik, seperti juga permainan dadu, kita tak pernah bisa menduganya.
“Pernikahan, tak lain, semudah membuka bir dengan pembuka botol, tapi cinta, akan memintamu membuka bir itu tanpa pembuka botol, kau mesti berusaha dengan apa saja agal bir itu terbuka,” ujar saya.
Lalu ketika botol keempat itu habis, Seruni menarik tangan saya ke ranjang. Kita seperti makhluk purba berjalan tanpa mengenakan pakaian. Ia mematikan lampu utama dan menggantinya dengan menyalakan lampu tidur. Sialnya ketika itu kita tidak tidur. Di balik selimut itu, Seruni malah lanjut bercerita. Saat mabuk Seruni tidak pernah kehabisan bahan cerita. Kini ia menceritakan tentang Kama Sutra dan langsung ingin mempraktikannya.
Setelah hari itu saya tidak pernah bertemu Seruni sampai hari pernikahannya. Saling menanyakan kabar pun tidak. Di kafe yang biasa saya kunjungi setiap akhir pekan, suami Seruni tiba-tiba menghampiri saya. Lalu setelah memesan satu kaleng bir ia pun cerita: tiga hari sebelum pernikahan, Seruni ditemukan tewas di apartemennya tanpa pakaian, dengan selangkangan tertancap botol bir. Anehnya, di apartemen itu banyak sekali botol-botol bir yang sudah dibuka tapi tetap utuh isinya. Mayatnya kaku sambil di tangannya memegang erat pembuka botol bir.
Perpustakaan Teras Baca, 31 Desember 2014
Tag :
11 Dialog!,
Penyair, Bir, dan Pembuka Botolnya
By : Harry Ramdhani
Puisi dan bir adalah kawan.
Puisi dibuat untuk ditangisi,
sedangkan bir, yang menemani.
Puisi dibuat untuk ditangisi,
sedangkan bir, yang menemani.
“Kau tahu, kenapa aku suka membawa pembuka botol?” katamu.
“Kenapa?”
“karena kita tidak pernah tahu,
kapan dan dengan siapa kau akan meminum bir,
dari sana kita jadi tahu dua hal dengan fungsi yang berbeda:
pembuka botol yang selalu dibawa dan cara Tuhan bekerja.”
kapan dan dengan siapa kau akan meminum bir,
dari sana kita jadi tahu dua hal dengan fungsi yang berbeda:
pembuka botol yang selalu dibawa dan cara Tuhan bekerja.”
Lalu, katamu, puisi paling sedih itu dibuat saat penyairnya mabuk
bukan dari kadar alkoholnya, tapi kenangan di dalamnya.*
bukan dari kadar alkoholnya, tapi kenangan di dalamnya.*
Gd. Kompas, Lt. 06, 30 Desember 2014
Tag :
11 Dialog!,
Ojek Payung
By : Harry Ramdhanihujan paling bisa membuat kesedihan
seperti tak ada akhirnya
dan kopi hitam itu, akan
membuatnya semakin awet saja.
jari-jari lentikmu itu menganyam
hujan yang menetes dari genting
menjadi kain
lalu, kau hadiahi untuk perpisahan kita ini.
ketika hujan, ciuman dan pelukan
barangakali obat paling mujarab;
yang tak seorang dokter pun sanggup resepkan.
bodohnya, kita tak melakukan.
mungkin kita mesti belajar menerima kenyataan
dari pejaja ojek payung
yang rela hujan-hujanan
saat payungnya digunakan kekasihnya dengan selingkuhannya.
Perpustakaan Teras Baca, 26 Desember 2014
Tag :
#PoetryGraphyTaylorSwift,
Kisah buat L
By : Harry Ramdhani
1/
Pada peron menuju Tanah Abang di suatu
malam, saya menunggu kereta pulang. Dari kejauhan yang terlihat hanya satu lampu
merah menyala. Seperti mata iblis yang mengintip. Sama sekali tak mengedip.
Begitu juga pada ujung lainnya. Entah sekarang sudah pukul berapa, sebab telepon
genggam tidak saya atur jam dan tanggalnya; dari situlah saya tahu, waktu tidak
mengelilingi dirinya sendiri, ia diam, sampai akhirnya tidak akan ada masa lalu
dan yang akan datang.
Saat itu stasiun tidak sepi. Banyak pekerja
bangunan yang sedang menyelesaikan pembangunan stasiun, tiga petugas keamanan,
dan penumpang lainnya yang menunggu kereta di peron seberang. Tapi di peron ke
Tanah Abang, hanya saya, sendirian.
Tak lama terdengar pemberitahuan kereta barang
sebentar lagi akan melintas dari arah selatan. Lalu suara klakson kereta barang
itu, dari kejauhan, sudah dibunyikan. Sangat keras. Kereta itu membawa gulungan
plat dalam ukuran-ukuran yang besar. Sebesar beton untuk membuat gorong-gorong
jalan. Entah berapa banyak, 11 lebih barangkali. Dengan kecepatan tinggi,
kereta barang itu melintas. Debu-debu berterbangan. Menyesakkan dada dan
memerahkan mata.
Koran yang terlipat dua bangku dari tempat
saya duduk terajatuh. Pada halaman pertama terpampang foto Presiden yang
menyalami menterinya di bandara Soekarno-Hatta. Mereka berbaris menunggu
giliran bersalaman. Kepulangan Presiden dari luar negeri dijadikan sajian
utama, seakan itu adalah kejadian langka. Bukankah itu yang selalu dilakukan
Presiden? Kunjungan ke luar negeri untuk membanding-bandingkan negerinya dengan
negeri lainnya.
Sepertinya sekarang pukul sembilan lewat.
Saya tahu itu dari bapak-bapak yang baru saja datang sambil menonton acara talk
show dari televisi di telepon pintarnya itu. Semestinya kereta akan tiba
sebentar lagi. Tapi, sampai sekarang, belum ada pemberitahuan kereta itu sudah
di stasiun mana atau berangkat dari stasiun mana.
Di peron seberang orang-orang semakin
banyak saja yang menunggu kereta dari Tanah Abang. Satu persatu berdatangan.
Pegawai-pegawai kantoran, mahasiswa yang baru selesai kuliah –atau, mungkin habis
senang-senang. Namun, di antara mereka, yang digunakan hampir semua sama:
memasang head-set di telinga.
Barangkali dengan mendengarkan lagu, adalah cara terbaik menunggu.
Stasiun ini jauh dari kata layak. Mungkin
karena ada pembangunan, sehingga menggunakan masker merupakan pilihan tepat.
Seperti saat ini, misalnya, debu dan oksigen yang dihirup jumlahnya seimbang.
Bapak-bapak yang tadi sedang menonton mulai memasang masker. Suatu hal yang
wajar untuk siapapun bila ingin menjaga kesehatannya. Tapi saya tidak suka
menggunakan masker, karena sering tercampur air liur yang tiba-tiba keluar
begitu saja. Air liur itu menempel dan kering di bagian dalam masker. Bau. Bagi
saya, lebih baik mati terkena asma daripada mencium bau liur sendiri.
2/
Desember. Tapi hujan tidak juga kunjung
datang. Malah, sesekali kesedihan yang mengurung setiap malam. Kesedihan tanpa
hujan, seperti puisi tanpa kopi. Atau sebaliknya barangkali. Seperti malam ini,
rasa-rasanya sedih suka sekali menghampiri. Kesedihan memang seperti kamu, juga
waktu; yang kadang tidak pernah tepat.
3/
Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Dibuatnya
tiga lingkaran dari asap rokok itu. Melayang-layang hingga asap itu hilang. Malam
itu tak ada yang lebih nikmat dari merokok satu batang rokok kretek setelah
hujan. Ia tidak mempedulikan dagangannya yang baru laku beberapa, karena
kenikmatan tidak bisa dibandingkan –sekalipun itu– dengan uang.
Kopi itu tidak diaduk. Ampasnya mengapung
di permukaan dan mengendap di dasar gelas. Dibiarkan sampai kopi itu
benar-benar larut dengan air panas. Dari hitam pekat kopi itu, tercium aroma robusta
yang khas dan laten di hidung. Dengan sabar ia menunggu kopi itu larut sampai
nantinya bisa diaduk. Itulah ritual-ritual yang ia selaulu lakukan untuk
meminum kopi: menunggu.
4/
Siapa tahu langit malam ialah selimut
paling hangat?
Angin yang sepoy menggiring kereta menuju
Tanah Abang. Dari arah selatan stasiun Palmerah, kereta itu seperti kuda yang ditunggangi
pangeran. Muncul dari kegelapan dengan pelan hingga datang. Saya ajak
bapak-bapak tadi untuk ikut, tapi ia menggelengkan kepala. Di peron ini ia
hanya numpang duduk, di peron seberang sudah tidak ada tempat duduk yang
kosong.
Satu langkah kaki saya berarti satu langkah
untuk meninggalkan. Tak apa, mungkin saya akan lanjutkan menuggu di stasiun
Tanah Abang saja. Kereta itu pun sepi. Satu gerbong barangkali masih bisa
dihitung dengan jari. Saya memilih di tempat duduk prioritas. Dengan memeluk
tas. Orang-orang yang satu gerbong dengan saya sama saja seperti orang-orang
yang ada di stasiun tadi: memakai head-set semua. Barangkali dengan mendengar
lagu, adalah cara terbaik menamani kantuk mereka yang menggebu.
Sialnya hari itu saya lupa membawa buku.
Setidaknya dengan membaca saya bisa sesibuk mereka itu; yang mendengarkan lagu.
Sambil memeluk tas, saya longok keluar jendela. Sungguh, seperti penggalau
saja. Mencari bulan dan bintang di langit yang benderang. Meski tidak terlihat
jelas, yang pasti, bulan akan selalu mengikuti ke manapun saya pergi.
Langit malam itu seperti segalas kopi,
membuat saya merasa hangat ketika di sisi.
5/
Sepuluh menit sebelum pukul sepuluh tepat.
Saya sudah sampai di stasiun Tanah Abang tepat di bawah jam besar yang digantungkan.
Kereta barang yang tadi membawa gulungan besi itu terparkir di jalur lima dam
saya di jalur tiga. Peron untuk ke Bogor, yang selalu saya naiki sampai Depok
saja.
Dari arah utara kereta lokomotif datang di
jalur satu. Suaranya bising. Nampaknya suara itu bukan berasal dari mesin,
melainkan para pemain Marching Band. Saat melintas di belakang saya, peron pun
berasa bergetar.
Di sini tidaklah sepi. Banyak karyawan kantoran yang mau pulang, dan
beberapa bencong yang berangkat entah ke mana demi mencari sesuap nasi. Tapi,
tetap saja saya merasa sendiri. Andai salah satu dari bencong itu yang ada
menghampiri, entah dengan tujuan apa, meski ingin menemani, saya akan lari.
Bukan karena jijik atau apa, tapi karena saya laki-laki dan melihat laki-laki
bertingkah seperti perempuan bikin bulu kuduk saya berdiri. Ibarat melihat
setan.
Kini kereta lokomotif datang dari arah
selatan di jalur dua. Kereta itu membawa banyak sekali air galon yang baru
diisi. Berjalan dengan pelan, seperti sedang merangkak. Mungkin karena
galon-galon itu berat. Namun saya jadi tahu, artinya akan datang kereta yang
hanya sampai stasiun Manggarai dan berikutnya ke Depok.
Waktu adalah tanda. Kita bisa tahu itu masa
lalu karena tanda-tanda. Tanda-tanda itu kita artikan sendiri berdasarkan pengalaman
dan pengetahuan. Dan kita biasanya menyebut itu kenangan. Setiap waktu akan
meninggalkan tanda. Tandai tanda itu sebagai pengingat waktu, setidaknya akan
membantu di masa yang akan datang.
Waktu adalah ingatan. Ingatan itu abadi.
Saya percaya itu. Ketika saya percaya, saya tidak akan pernah berhenti bermain
dengan waktu. Saya tidak akan takut menjumpai ingatan, walau kadang
menyakitkan.
Waktu adalah cinta. Tak ada habisnya. Tak
akan berhenti. Berputar mengikuti ke mana cinta itu pergi. Memaknai setiap
putarannya, meski cinta kadang meninggalkan noda serupa luka.
Sepuluh lewat sepuluh. Dari arah utara
kereta dengan tujuan akhir Depok datang. Saya berdiri satu langkah di depan
garis aman yang berwarna kuning itu. Biarlah, karena yang ditunggu tidak jadi
datang. Barangkali kereta itu kereta jenazah yang akan membawa jasad saya.
Kalaupun saya tidak bisa bertemu denganmu, paling tidak kedatangan kereta ini
akan mempertemukan saya dengan maut.
2010
– 2014
Tag :
11 Dialog!,
#TerimakasihHilbram - Motion Radio
By : Harry Ramdhani
Malam itu yang sedang siaran
adalah Vickie Lontoh. Sebelum on air – akhirnya saya tahu proses
orang-orang sebelum itu – kita terlebih dulu janjian. Katanya, “nanti
gue bakal tanya-tanya soal yang Liga Champions, dan lu jawab aja yang
tadi di Twitter. Oke?”
Lagu Song For Mama mengudara.
Lalu jeda iklan beberapa. Selama menunggu saatnya on air, saya berbincang sedikit
dengan Viclon (nama panggilan Vickie Lontoh).
“Jadi udah berapa lama dengerin Motion?” tanya Vicklon.
“Duh, berapa lama, ya, yang pasti dari awal-awal masuk kuliah, lha.”
“Emang kapan lu masuk kuliah?”
“Taun 2009-an atau ya, gak jauh
dari itulah. Dan belum lulus.” jawab saya sambil ingin tertawa atau
bersedih setelah mengucapkan itu.
“Wuah lama juga, dong,”
“apanya?”
“Dengerin Motion-nya, kok. Tenang.” Vicklon ketawa dari ujung telepon, “berarti udah berapa kali menang kuis?”
“Boro-boro menang, gue cuma ikut-ikut doang,”
“Aduh, sabar, deh, kalo gitu. Jangan bosen tapi ikutan kuis, siapa tahu nanti lu menang,”
“ho’oh, lagi pula gue dengerin Motion Radio gak melulu pengen menang kuis juga, sih,”
“oke, abis iklan ini kita langsung on air, ya, sekaligus closing,”
“okley! Tapi nanti akun twitter
gue gak usah di tweet, yak, pas on air, lu tau sendiri, fanatiknya orang
sini sama tim bola. Takutnya gue di-bully sama Motioners yang lagi
dengerin,”
“Sip!”
***
DI RUMAH saya, radio, adalah
satu-satunya barang elektronik paling berharga. Radio bukan semata
barang elektronik biasa, tapi sudah seperti anggota keluarga. Ketika
kami sekeluarga pergi, pasti radio tetap dinyalakan. Ketika saya susah
dibangunkan, pasti Ibu saya menyalakan radio, dan dengan seketika saya
bangun. Ketika dulu televisi di rumah saya rusak dan kondisi ekonomi
keluarga kami sedang tidak baik (atau, sampai sekarang mungkin) untuk
sekedar membetulkan, radio yang menemani setiap hari. Ketika malam hari
Ibu saya sedang membuat kue untuk paginya dijual di warung sayur dekat
rumah, radio seperti teman bicaranya. Dan, ketika saya tidak bisa tidur,
lalu tidak ada yang mendongengkan, saya menyalakan radio – sialnya itu
terbawa sampai sekarang, saya baru bisa tidur kalau sekeliling banyak
yang bicara, seperti penyiar radio.
Pertemuan saya dengan Motion
Radio hampir sama dengan pertemuan kekasih yang jatuh cinta pada
pandangan pertama. Ketidak-sengajaan. Saat saya sedang memutar-mutar
tuning, mencari frekuensi radio yang tidak kresek-kresek, tiba-tiba
terdengar suara Dagienkz. Suaranya sangat khas, karena dulu saya selalu
mendengarnya siaran paginya ketika SMA dengan Desta. Aha! Akhirnya bisa dengerin dia siaran lagi. Dia itu penyiar terlucu yang pernah ada.
Dari sanalah saya kenal
penyiar-penyiar kondang seperti Miund – yang menjadi partner siaran
Dagienkz – pada pagi hari. Dia pun tak kalah lucu. Pokoknya setiap pagi,
sebelum berangkat kuliah, saya dibuat ketawa terus oleh mereka.
Sorenya, ada Artasya Sudirman dan Hilbram Dunar. Dan, dari mereka berdua saya belajar tentang cinta dan dengan lepas menertawakannya.
Mendengarkan radio, bagi saya,
seperti sebuh kebutuhan. Entah di ruang tunggu kampus, di ruang
sekretariat fakultas, di Perpusrtakaan Teras Baca (perpustakaan umum
yang saya buat bersama teman-teman saya) pasti saya menyalakan radio.
Setidaknya dengan radio, kita bisa meredam ego masing-masing terhadap
lagu atau jenis musik yang satu dengan yang lainnya berbeda. Bahkan,
yang paling ekstrim, kalau Motion Radio topiknya sedang asyik beraaaat!!
(Dagienkz suka sekali mengucapkan itu, “asyik beraaaaat!!”), saya tidak
masuk kuliah. Dan pada saat yang bersamaan saya juga belum mengerjakan
tugas. Cucok sudah!
***
Ah, siaran radio tanpa membahas cinta-cintaan serasa ada yang kurang, bukan?
Di Motion Radio, Hilbram Dunar
rajanya. Barangkali dia terlalu banyak bertemu Om Mario Teguh sehingga
begitu. Entahlah. Hilbram paling bisa membuat ‘cinta’ sebagai subyek,
bukan obyek. Cinta tidak hanya dimainkan, tapi memainkan. Di mana ada
Hilbram, entah siapa partner siarannya, selalu cinta yang menjadi
suguhan utama. Yang membuat saya salut, Hilbram tidak cuma membicarakan
‘cinta’, namun juga menuliskannya menjadi dua buku kumcer. Sejak di
Motion Radio, ia telah membuat dua buku: Plastic Heaven dan Main Hati.
Saya punya keduanya dan saya hibahkan untuk Perpustakaan Teras Baca.
Kedua buku itu yang paling suka dibaca.
Puncaknya, setiap hari rabu,
bersama Miund membuat program #GuRih (Lagu Perih – lagu nyaman yang
membuat hati tidak aman). Lagunya perih, topiknya pun tak kalah perih.
Pernah satu waktu, Hilbram dan Miund menanyakan pada Motioners alasan
menikah selain karena cinta. What a question?
Setiap rabu saya tidak pernah
menjawab apa yang ditanyakan mereka. Pertama. Saya sibuk tertawa
mendengar atau membaca jawaban Motioners yang pada nyeleneh. Kedua. Saya
tidak terlalu expert dibidang percintaan; pacaran saja belum pernah.
Tapi, saya bahagia bisa menertawakan dan merenung soal cinta dari
Hilbram dan Miund.
***
Akhir tahun 2011 atau awal tahun
2012, saya lupa tepatnya, Dagienkz tidak lagi siaran di Motion Radio.
Tapi, setiap mendengar #Wayang975FM, semua akan tahu kalau masih ada
keberadaannya di sana. Tak lama, sebelum Artasya Sudirman melahirkan, ia
pun mengikuti jejak Dagienkz. Dari kepergian mereka, seperti yang
Hilbram ibaratkan di buku Main Hati, “Walau aku tahu bahwa segala
sesuatu yang enak sekali pada hakikatnya hanya terjadi sekali-kali atau
bahkan satu kali. (Check-Out)”. Tidak ada yang abadi, karena hanya
ketidak-abadian itulah satu-satunya yang abadi. Barangkali. Saat itulah
selama Hilbam dan Miund siaran, yang saya cemaskan dari dulu adalah
siapa selanjutnya?
And than… Hilbram.
Entah, seketika saya tidak tahu
ingin nge-tweet apa saat tahu kabar itu melintas di timeline. Sedih?
Sudah pasti. Kadang kesedihan memang sulit dituliskan, tapi suatu ucapan
terimakasih layak disematkan buat Hilbram; atas segalanya yang telah ia
lakukan di Motion Radio. Sampai dua buku Kumcernya seakan yang
membimbing saya dalam hal menulis apapun tentang cinta.
Motion Radio seakan menjadi
saluran untuk Hilbram menguji kisah-kisah cintanya yang kelak akan
ditulis di bukunya. Dari semua tulisan saya tentang cinta – baik yang
sudah saya tayangkan di blog atau e-book – itu seiring perjalanan saya
menjelajahi buku-buku Hilbram itu sendiri.
aku belum mau kehilangannya
biarkan tetap gelap…
supaya bisa kudekap erat tubuhnya
sambil kunikmati wajah yang tenang terlelap
jangan dulu terbit matahari…
aku belum mau ditinggal pergi
jangan dulu terbit matahari…
supaya bisa kukecup keningnya lalu hadir di hatinya
walau hanya dalam mimpi – (Plastik Heaven, Gelap, hal 5)
#TerimakasihHilbram #HilbramMiundLastDay
Palmerah Barat, Gd. Kompas Gramedia Lt. 06, 18 Desember 2014
Tag :
Who's I'm Follow,
Tentang Hujan dan Air Mata yang Tak Sia-sia
By : Harry Ramdhaniseperti yang saya dan kau tahu, Kekasih,
di dunia ini
tak ada yang sia-sia;
termasuk air mata.
dan biasanya, hujan mengajarkan,
tangis ini,
ialah luka
yang belum terobati.
Gd. Kompas Gramedia Lt 6, 03 Desember 2014
ilustrasi: http://www.stylebistro.com/Stylish+in+the+Rain/articles/AT2Tod5FrVx/Taylor+Swift
Tag :
#PoetryGraphyTaylorSwift,
Kencan
By : Harry Ramdhani
Beberapa hari yang lalu, 11 atau 12 hari barangkali, saya
berkencan dengan Ingatan. Malam itu adalah malam yang tak akan saya lupakan.
Sama halnya seperti ingatan dan kenangan yang saling bergandengan tangan.
Ingatan menghubungi saya selepas makan siang. Lewat khayalan
tentunya. Dari telepon genggam saya yang biasanya sepi itu, pada layarnya
berkedip cahaya yang berganti-ganti warna seperti pelangi. Ingatan mengirim
pesan singkat, “malam ini kencan, yuk?” Tanpa pikir panjang dan menghiraukan
kesempatan yang barangkali akan datang untuk yang kesekian, langsung saja saya
iya-kan. Karena, kesempatan, seperti yang kalian tahu, hanya untuk orang-orang
yang senang menunda-nunda kebahagiaan. Saya tidak ingin membiarkannya.
Hari itu malam terasa begitu lama datang. Matahari bergerak
lebih lambat dari siput di pelopah pisang. Jika pada langit itu awannya bisa
saya bentukkan, pasti seperti ada yang menahan lajunya. Atau, barangkali para
penghuni langit tahu kalau malam iini saya akan kencan dengan Ingatan.
Selama menunggu malam datang, saya menyibukkan diri dengan
memilih dan memilah sekiranya baju mana yang pantas saya pakai untuk kencan.
Saya ambil beberapa sebagai pilihan: kemeja kotak-kotak biru, kaos bola Jepang
yang juga berwarna biru, dan batik Jogja yang sudah luntur motifnya; asal
kalian tahu, Ingatan sangat suka batik itu dulu. Di atas ranjang saya jajarkan
baju-baju itu. Satu persatu saya kenakan gantian sambil bercermin. Tapi dari
pantulan cermin itu yang terlihat ialah laki-laki yag sama sekali tidak saya
kenali.
Apakah ini kencan yang tabu? Kata saya pada bayangan di
cermin itu. Tersenyum pun seperti bunga yang telah layu, wajahnya tampak sangat
kusam, dan yang terpenting tidak ada kebahagiaan yang mencuat dari dalam
dirinya. Siapa sebenarnya kamu?
Entah, nampaknya ada yang dengan sendirinya mengendalikan
tangan saya waktu itu. Sebuah parfum saya lempar ke cermin itu hingga cermin
pecah. Di sekitaran itu pecahan cermin berserakan. Samakin banyak pecahan,
semakin banyak pantulan bayangan saya –yang sama sekali tidak mirip itu. Karena
merasa terganggu dengan bayangan-bayangan itu, saya tendang saja secara asal
pecahannya. Lalu ada beberapa potongan cermin yang menusuk kaki saya. Sakit
sekali. Darah yang keluar cukup banyak.
Saya tekan luka itu dengan kuat supaya darah kotornya
keluar. Pelan-pelan saya coba ambil potongan pecahan cermin itu dari kaki.
“Aaakkkkkkkk!!!” saya bantingkan tubuh ke ranjang sambil menjerit kesakitan.
Menunggu tidaklah seindah kisah-kisah roman, dibuatnya saya pada titik ketidaksadaran.
Dan waktu, adalah senjata tajam paling kejam.
Saya longok jam dinding, jarum pendeknya baru menyentuh
angka tiga. Barangkali dengan tidur bisa mempercepat waktu berlalu begitu saja.
Layar telepon genggam kembali berkedip. Ada pesan masuk dari
Ingatan. Mata saya tidak jadi terpejam.
“Nanti jadi kencan, kan? Di tempat biasa, ya. Aku sudah
tidak sabar ingin bertemu. See you!”
Ah, karena pesan itu, rasa-rasanya ingin sekali saya tarik
omongan saya tentang menunggu tadi. Menunggu memang selalu bisa memberi sensasi
yang tiada henti. Baru ingin saya balas pesannya, tapi telepon genggam saya
keburu mati. Saya biarkan saja pesan itu, toh,
tanpa mesti membalas pesannya, saya pasti datang menemuinya. Kencan dengan
Ingatan adalah satu mimpi saya yang jadi kenyataan. Apa lagi, nanti, tempat
kita kencan merupakan tempat yang dulu pernah menyimpan banyak kenangan.
Cepatlah datang malam!!
Dalam bayangan saya, kencan dengan Ingatan akan meninggalkan
kesan yang dalam. Pertama, dulu, dengan Ingatan, saya sama sekali tindak pernah
kencan malam-malam. Kita selalu bertemu setiap pagi atau siang, dan berpisah
sebelum maghrib tiba. Kedua, Ingatan datang pada waktu yang tepat untuk
mengajak saya kencan, karena satu hari sebelumnya saya memimpikannya. Di mimpi
itu Ingatan cantik sekali dengan rambut yang kini telah jauh lebih panjang. Ia
tahu kalau saya suka perempuan yang rambutnya panjang dan dikuncir satu. Dan,
di dalam mimpi, Inagatan melakukan itu.
Hhhuuu…
Apa kalian pernah dengar cerita tentang seorang nenek-nenek
yang setiap harinya dihabisi dengan memberi makan anakn anjing kampung yang
liar? Sewaktu saya kecil, sebelum tidur, saya selalu didonggengkan itu oleh
Ibu. Entah benar atau tidak cerita itu, tapi dulu saya suka-suka saja
mendengarkannya. Ibu adalah pendongeng kelas wahid! Jempolan!
Secara tiba-tiba cerita itu melintas begitu saja.
Di sebuah kampung yang tidak begitu padat penduduknya itu, ada
seorang nenek yang satu-satunya di kampung itu telah menyandang gelar Hajah
(sebutan untuk wanita yang sudah menunaikan ibadah Haji). Di sana, nenek itu
juga seorang Ulama dan sering mengisi ceramah di setiap pengajian dan hari-hari
besar Islam. Namun, pada satu kejadian yang nampaknya lumrah-lumrah saja itu,
ia tidak lagi dipercaya oleh warga. Sehingga ia tidak lagi berceramah; buat apa
ceramah kalau tidak ada yang percaya?
Musababnya, ada salah satu penduduk kampung yang melihat
nenek itu memberi makan anak anjing kampung yang liar. Tidak hanya sekali, tapi
berkali-kali. Berhari-hari.
Memberi makan yang lapar, baginya, adalah sebuah kewajiban
setiap muslim. Kepada siapa dan apapun bentuknya itu. Seiman atau bukan. Kepada
yang dianggap halal atau haram. Nenek itu selalu memberi anak anjing kampung
liar itu makan.
“Saya berjanji di hadapan Tuhan, nenek itu memberi makan anjing,” kata salah
seorang warga yang melihatnya, “ia memberi makan pada anjing itu siang dan
malam. Bayangkan, hanya untuk seekor binatang yang haram!!!”
“Nenek itu sudah menyimpang dari Syari’at!” kata yang lain.
“Ya, jadi selama ini kita telah ditipu oleh semua yang telah
ia ajarkan. Nenek itu sesat!” dan yang lainpun jadi ikut-ikutan.
“Bunuh saja!!!”
“Bakar ia hidup-hidup!!!”
Kebencian mudah sekali menjalar, seperti kayu yang mudah
terbakar. Rumah nenek itu dilempari batu. Gentengnya hancur, kaca-kaca di
jendela pun berlubang oleh lemparan-lemparan batu yang semakin banyak. Rumah
nenek itu hampir di bakar.
“Tolooooong…, toloooooooong saya…,” teriak nenek itu dari
dalam rumahnya, “ya, Allah, Zat Yang Maha Kekal, jika benar hambaMu telah
berbuat salah, maka dengan segala kerendahan diri hamba di hadapanMu, hamba
memohon ampun,”
Sedang di luar sana warga semakin marah. Akhinya terjadi
juga, batu-batu itu lama-lama diganti dengan bom Molotov (semacam bom rakitan
yang dibuat dari botol minuman energi yang di dalamnya diisi minyak tanah dan
di bagian atasnya dibaut seperti sumbu obor. Bila botol itu pecah, maka akan
mengeluarkan efek seperti bom sungguhan).
“Hamba percaya mukjizat ita ada, ya, Allah,” pinta nenek itu
yang semakin lemas karena kekurangan oksigen.
Dari kejauhan anak anjing kampung yang liar itu menyelinap
masuk ke dalam rumah nenek, melewari warga yang sedang dibakar benci di luar
sana. Rumah nenek sudah hampir runtuh. Sebagian telah terbakar. Sambil
menggong-gongi nenek itu supaya tetap sadar, anak anjing kampung yang liar itu
berusaha melindungi nenek dari rerentuan kayu dan atap rumahnya yang terbakar.
Tapi di antara setengah kesadaran nenek itu, dilihatnya anak anjing kampung
yang liar itu menjelma sesosok binatang raksasa. Kemudian nenek itupun pingsan
juga.
Anak anjing kampung yang liar itu keluar sambil menggendong
nenek. Dibopongnya dengan satu tangan. Binatang raksasa itu akhirnya mengauang
sangat keras. Semua kemarahan itu sepertinya keluar dari dalam perutnya yang
besar. Karena ketakutan melihat makhluk seperti itu, akhirnya warga berlarian.
Ada yang terinjak-injak, ada yang badannya terbakar oleh bom Molotov yang
dibawanya sendiri; meledak di badannya. Semua warga yang ada di sana
kalang-kabut menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Berbahan air liurnya, anjing itu memadamkan rumah nenek yang
sudah terbakar. Lalu, masih di tangan raksasa itu, nenek di bawa ke dalam hutan
yang sangat dalam. Tempat di mana orang-orang sama sekali belum berani
menginjakan kaki di sana.
Lama tidak terdengar kabar tentang nenek dan anak anjing
kampung liar yang suka diberinya makan. Ada yang bilang ia menetap di hutan.
Dan kini hutan itu menjadi rimbun. Tumbuh subur pepohonan di sana. Dan yang
lebih penting, tidak ada sama sekali orang-orang yang berniat jahat menebang
pohon di hutan itu.
Pada tanggal di mana kejadian itu pernah terjadi, sepanjang
malam selalu ada gong-gongan anjing dan suara tangis nenek-nenek. Suara itu
seperti menghantui warga kampung. Maka setiap hari itu tiba, warga secara
bersama-sama seakan memberi sajen; menaruh makanan yang dimakannya hari itu di
teras rumah. Di saat itulah nenek dan anak anjing kampung yang liar itu
berkencan.
Hhhuuu…
Apa yang dilakukan nenek itu pada anak anjing kampung yang
liar, seperti halnya saya memberi makan ingatan. Setiap kenangan dan kejadian
selalu saya rawat baik-baik dengan memuat puisi atau memanjatkan doa padaNya.
Kini semua terbayar, malam itu saya bisa kencan dengan Ingatan.
“Aku sudah siap. Malam ini aku telah cantik, tentu hanya
untukmu. Sampai bertemu!”
Ingatan kembali mengirimi saya pesan singkat.
Sial! Saat itu saya masih terkapar di ranjang. Cerita
tentang nenek dan anjingnya itu membuat saya lupa mesti bersiap untuk kencan
dengan Ingatan.
Dengan asal saya pilih kemenja kotak-kotak biru. Saya
langsung ganti baju tanpa mandi terlebih dulu. Memang untuk apa manusia membuat
cologne? Tentu untuk orang-orang seperti saya yang suka terburu-buru dan lupa
waktu untuk sekedar mandi. Hampir setengah botol cologne saya tumpahkan di
badan. Wanginya bisa menembus masa lalu.
Malam itu, selama perjalanan, saya kembali membayangkan
kencan ini dengan Ingatan. Barangkali nanti akan dimulai dengan makan malam
yang biasa-biasa saja: dengan satu cahaya lilin yang menyinari. Setelah itu
dilanjut dengan meminum wine sebagai
penutup makan malam dan teman ngobrol kita sepanjang malam itu. Dan diakhir
pembayangan saya itu, ketika kita sudah mulai setengah sadar, akan berlanjut
pada ciuman-ciuman yang agak berlebihan. Perjalanan malam itu terasa amat
panjang… meski sebatas khayalan.
Perpustakaan Teras Baca, September – November 2014
Tag :
11 Dialog!,
Kakek dan Kutukan Kopi Hitamnya
By : Harry Ramdhani
Kopi hitam itu sudah dingin. Kakek membiarkannya tanpa menyentuhnya. 11 hari semenjak kematian Nenek,
ia lebih banyak menyendiri. Kopi itu tampak lebih kental dari biasanya, dan
sore sebentari lagi pergi. Kesedihan telah larut di dalamnya.
“Ingin kubuatkan kopi yang baru, Kek?” tanyaku, “sepertinya
kopi itu sudah dingin,”
Kepergian Nenek membuat Kakek terperangkap pada kesunyian
yang dalam. Tidak ada yang mampu menyelami itu selain Kakek sendiri. Dan,
kesedihannya.
“Tidak perlu. Sebenarnya, dulu, setiap kali Nenek membuatkan
kopi, aku tidak pernah meminumnya. Aku membuangnya sedikit demi sedikit. Kini
aku tahu, dalam secangkir kopi hitam Nenek mengutukku dalam kesunyian dan
kesedihan yang dalam.”
Perpustakaan Teras Baca, 30 Oktober 2014
Tag :
11 Dialog!,