- Back to Home »
- 11 Dialog! »
- Kencan
Posted by : Harry Ramdhani
November 04, 2014
Beberapa hari yang lalu, 11 atau 12 hari barangkali, saya
berkencan dengan Ingatan. Malam itu adalah malam yang tak akan saya lupakan.
Sama halnya seperti ingatan dan kenangan yang saling bergandengan tangan.
Ingatan menghubungi saya selepas makan siang. Lewat khayalan
tentunya. Dari telepon genggam saya yang biasanya sepi itu, pada layarnya
berkedip cahaya yang berganti-ganti warna seperti pelangi. Ingatan mengirim
pesan singkat, “malam ini kencan, yuk?” Tanpa pikir panjang dan menghiraukan
kesempatan yang barangkali akan datang untuk yang kesekian, langsung saja saya
iya-kan. Karena, kesempatan, seperti yang kalian tahu, hanya untuk orang-orang
yang senang menunda-nunda kebahagiaan. Saya tidak ingin membiarkannya.
Hari itu malam terasa begitu lama datang. Matahari bergerak
lebih lambat dari siput di pelopah pisang. Jika pada langit itu awannya bisa
saya bentukkan, pasti seperti ada yang menahan lajunya. Atau, barangkali para
penghuni langit tahu kalau malam iini saya akan kencan dengan Ingatan.
Selama menunggu malam datang, saya menyibukkan diri dengan
memilih dan memilah sekiranya baju mana yang pantas saya pakai untuk kencan.
Saya ambil beberapa sebagai pilihan: kemeja kotak-kotak biru, kaos bola Jepang
yang juga berwarna biru, dan batik Jogja yang sudah luntur motifnya; asal
kalian tahu, Ingatan sangat suka batik itu dulu. Di atas ranjang saya jajarkan
baju-baju itu. Satu persatu saya kenakan gantian sambil bercermin. Tapi dari
pantulan cermin itu yang terlihat ialah laki-laki yag sama sekali tidak saya
kenali.
Apakah ini kencan yang tabu? Kata saya pada bayangan di
cermin itu. Tersenyum pun seperti bunga yang telah layu, wajahnya tampak sangat
kusam, dan yang terpenting tidak ada kebahagiaan yang mencuat dari dalam
dirinya. Siapa sebenarnya kamu?
Entah, nampaknya ada yang dengan sendirinya mengendalikan
tangan saya waktu itu. Sebuah parfum saya lempar ke cermin itu hingga cermin
pecah. Di sekitaran itu pecahan cermin berserakan. Samakin banyak pecahan,
semakin banyak pantulan bayangan saya –yang sama sekali tidak mirip itu. Karena
merasa terganggu dengan bayangan-bayangan itu, saya tendang saja secara asal
pecahannya. Lalu ada beberapa potongan cermin yang menusuk kaki saya. Sakit
sekali. Darah yang keluar cukup banyak.
Saya tekan luka itu dengan kuat supaya darah kotornya
keluar. Pelan-pelan saya coba ambil potongan pecahan cermin itu dari kaki.
“Aaakkkkkkkk!!!” saya bantingkan tubuh ke ranjang sambil menjerit kesakitan.
Menunggu tidaklah seindah kisah-kisah roman, dibuatnya saya pada titik ketidaksadaran.
Dan waktu, adalah senjata tajam paling kejam.
Saya longok jam dinding, jarum pendeknya baru menyentuh
angka tiga. Barangkali dengan tidur bisa mempercepat waktu berlalu begitu saja.
Layar telepon genggam kembali berkedip. Ada pesan masuk dari
Ingatan. Mata saya tidak jadi terpejam.
“Nanti jadi kencan, kan? Di tempat biasa, ya. Aku sudah
tidak sabar ingin bertemu. See you!”
Ah, karena pesan itu, rasa-rasanya ingin sekali saya tarik
omongan saya tentang menunggu tadi. Menunggu memang selalu bisa memberi sensasi
yang tiada henti. Baru ingin saya balas pesannya, tapi telepon genggam saya
keburu mati. Saya biarkan saja pesan itu, toh,
tanpa mesti membalas pesannya, saya pasti datang menemuinya. Kencan dengan
Ingatan adalah satu mimpi saya yang jadi kenyataan. Apa lagi, nanti, tempat
kita kencan merupakan tempat yang dulu pernah menyimpan banyak kenangan.
Cepatlah datang malam!!
Dalam bayangan saya, kencan dengan Ingatan akan meninggalkan
kesan yang dalam. Pertama, dulu, dengan Ingatan, saya sama sekali tindak pernah
kencan malam-malam. Kita selalu bertemu setiap pagi atau siang, dan berpisah
sebelum maghrib tiba. Kedua, Ingatan datang pada waktu yang tepat untuk
mengajak saya kencan, karena satu hari sebelumnya saya memimpikannya. Di mimpi
itu Ingatan cantik sekali dengan rambut yang kini telah jauh lebih panjang. Ia
tahu kalau saya suka perempuan yang rambutnya panjang dan dikuncir satu. Dan,
di dalam mimpi, Inagatan melakukan itu.
Hhhuuu…
Apa kalian pernah dengar cerita tentang seorang nenek-nenek
yang setiap harinya dihabisi dengan memberi makan anakn anjing kampung yang
liar? Sewaktu saya kecil, sebelum tidur, saya selalu didonggengkan itu oleh
Ibu. Entah benar atau tidak cerita itu, tapi dulu saya suka-suka saja
mendengarkannya. Ibu adalah pendongeng kelas wahid! Jempolan!
Secara tiba-tiba cerita itu melintas begitu saja.
Di sebuah kampung yang tidak begitu padat penduduknya itu, ada
seorang nenek yang satu-satunya di kampung itu telah menyandang gelar Hajah
(sebutan untuk wanita yang sudah menunaikan ibadah Haji). Di sana, nenek itu
juga seorang Ulama dan sering mengisi ceramah di setiap pengajian dan hari-hari
besar Islam. Namun, pada satu kejadian yang nampaknya lumrah-lumrah saja itu,
ia tidak lagi dipercaya oleh warga. Sehingga ia tidak lagi berceramah; buat apa
ceramah kalau tidak ada yang percaya?
Musababnya, ada salah satu penduduk kampung yang melihat
nenek itu memberi makan anak anjing kampung yang liar. Tidak hanya sekali, tapi
berkali-kali. Berhari-hari.
Memberi makan yang lapar, baginya, adalah sebuah kewajiban
setiap muslim. Kepada siapa dan apapun bentuknya itu. Seiman atau bukan. Kepada
yang dianggap halal atau haram. Nenek itu selalu memberi anak anjing kampung
liar itu makan.
“Saya berjanji di hadapan Tuhan, nenek itu memberi makan anjing,” kata salah
seorang warga yang melihatnya, “ia memberi makan pada anjing itu siang dan
malam. Bayangkan, hanya untuk seekor binatang yang haram!!!”
“Nenek itu sudah menyimpang dari Syari’at!” kata yang lain.
“Ya, jadi selama ini kita telah ditipu oleh semua yang telah
ia ajarkan. Nenek itu sesat!” dan yang lainpun jadi ikut-ikutan.
“Bunuh saja!!!”
“Bakar ia hidup-hidup!!!”
Kebencian mudah sekali menjalar, seperti kayu yang mudah
terbakar. Rumah nenek itu dilempari batu. Gentengnya hancur, kaca-kaca di
jendela pun berlubang oleh lemparan-lemparan batu yang semakin banyak. Rumah
nenek itu hampir di bakar.
“Tolooooong…, toloooooooong saya…,” teriak nenek itu dari
dalam rumahnya, “ya, Allah, Zat Yang Maha Kekal, jika benar hambaMu telah
berbuat salah, maka dengan segala kerendahan diri hamba di hadapanMu, hamba
memohon ampun,”
Sedang di luar sana warga semakin marah. Akhinya terjadi
juga, batu-batu itu lama-lama diganti dengan bom Molotov (semacam bom rakitan
yang dibuat dari botol minuman energi yang di dalamnya diisi minyak tanah dan
di bagian atasnya dibaut seperti sumbu obor. Bila botol itu pecah, maka akan
mengeluarkan efek seperti bom sungguhan).
“Hamba percaya mukjizat ita ada, ya, Allah,” pinta nenek itu
yang semakin lemas karena kekurangan oksigen.
Dari kejauhan anak anjing kampung yang liar itu menyelinap
masuk ke dalam rumah nenek, melewari warga yang sedang dibakar benci di luar
sana. Rumah nenek sudah hampir runtuh. Sebagian telah terbakar. Sambil
menggong-gongi nenek itu supaya tetap sadar, anak anjing kampung yang liar itu
berusaha melindungi nenek dari rerentuan kayu dan atap rumahnya yang terbakar.
Tapi di antara setengah kesadaran nenek itu, dilihatnya anak anjing kampung
yang liar itu menjelma sesosok binatang raksasa. Kemudian nenek itupun pingsan
juga.
Anak anjing kampung yang liar itu keluar sambil menggendong
nenek. Dibopongnya dengan satu tangan. Binatang raksasa itu akhirnya mengauang
sangat keras. Semua kemarahan itu sepertinya keluar dari dalam perutnya yang
besar. Karena ketakutan melihat makhluk seperti itu, akhirnya warga berlarian.
Ada yang terinjak-injak, ada yang badannya terbakar oleh bom Molotov yang
dibawanya sendiri; meledak di badannya. Semua warga yang ada di sana
kalang-kabut menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Berbahan air liurnya, anjing itu memadamkan rumah nenek yang
sudah terbakar. Lalu, masih di tangan raksasa itu, nenek di bawa ke dalam hutan
yang sangat dalam. Tempat di mana orang-orang sama sekali belum berani
menginjakan kaki di sana.
Lama tidak terdengar kabar tentang nenek dan anak anjing
kampung liar yang suka diberinya makan. Ada yang bilang ia menetap di hutan.
Dan kini hutan itu menjadi rimbun. Tumbuh subur pepohonan di sana. Dan yang
lebih penting, tidak ada sama sekali orang-orang yang berniat jahat menebang
pohon di hutan itu.
Pada tanggal di mana kejadian itu pernah terjadi, sepanjang
malam selalu ada gong-gongan anjing dan suara tangis nenek-nenek. Suara itu
seperti menghantui warga kampung. Maka setiap hari itu tiba, warga secara
bersama-sama seakan memberi sajen; menaruh makanan yang dimakannya hari itu di
teras rumah. Di saat itulah nenek dan anak anjing kampung yang liar itu
berkencan.
Hhhuuu…
Apa yang dilakukan nenek itu pada anak anjing kampung yang
liar, seperti halnya saya memberi makan ingatan. Setiap kenangan dan kejadian
selalu saya rawat baik-baik dengan memuat puisi atau memanjatkan doa padaNya.
Kini semua terbayar, malam itu saya bisa kencan dengan Ingatan.
“Aku sudah siap. Malam ini aku telah cantik, tentu hanya
untukmu. Sampai bertemu!”
Ingatan kembali mengirimi saya pesan singkat.
Sial! Saat itu saya masih terkapar di ranjang. Cerita
tentang nenek dan anjingnya itu membuat saya lupa mesti bersiap untuk kencan
dengan Ingatan.
Dengan asal saya pilih kemenja kotak-kotak biru. Saya
langsung ganti baju tanpa mandi terlebih dulu. Memang untuk apa manusia membuat
cologne? Tentu untuk orang-orang seperti saya yang suka terburu-buru dan lupa
waktu untuk sekedar mandi. Hampir setengah botol cologne saya tumpahkan di
badan. Wanginya bisa menembus masa lalu.
Malam itu, selama perjalanan, saya kembali membayangkan
kencan ini dengan Ingatan. Barangkali nanti akan dimulai dengan makan malam
yang biasa-biasa saja: dengan satu cahaya lilin yang menyinari. Setelah itu
dilanjut dengan meminum wine sebagai
penutup makan malam dan teman ngobrol kita sepanjang malam itu. Dan diakhir
pembayangan saya itu, ketika kita sudah mulai setengah sadar, akan berlanjut
pada ciuman-ciuman yang agak berlebihan. Perjalanan malam itu terasa amat
panjang… meski sebatas khayalan.
Perpustakaan Teras Baca, September – November 2014