The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani December 21, 2014




1/
Pada peron menuju Tanah Abang di suatu malam, saya menunggu kereta pulang. Dari kejauhan yang terlihat hanya satu lampu merah menyala. Seperti mata iblis yang mengintip. Sama sekali tak mengedip. Begitu juga pada ujung lainnya. Entah sekarang sudah pukul berapa, sebab telepon genggam tidak saya atur jam dan tanggalnya; dari situlah saya tahu, waktu tidak mengelilingi dirinya sendiri, ia diam, sampai akhirnya tidak akan ada masa lalu dan yang akan datang.

Saat itu stasiun tidak sepi. Banyak pekerja bangunan yang sedang menyelesaikan pembangunan stasiun, tiga petugas keamanan, dan penumpang lainnya yang menunggu kereta di peron seberang. Tapi di peron ke Tanah Abang, hanya saya, sendirian. 

Tak lama terdengar pemberitahuan kereta barang sebentar lagi akan melintas dari arah selatan. Lalu suara klakson kereta barang itu, dari kejauhan, sudah dibunyikan. Sangat keras. Kereta itu membawa gulungan plat dalam ukuran-ukuran yang besar. Sebesar beton untuk membuat gorong-gorong jalan. Entah berapa banyak, 11 lebih barangkali. Dengan kecepatan tinggi, kereta barang itu melintas. Debu-debu berterbangan. Menyesakkan dada dan memerahkan mata.

Koran yang terlipat dua bangku dari tempat saya duduk terajatuh. Pada halaman pertama terpampang foto Presiden yang menyalami menterinya di bandara Soekarno-Hatta. Mereka berbaris menunggu giliran bersalaman. Kepulangan Presiden dari luar negeri dijadikan sajian utama, seakan itu adalah kejadian langka. Bukankah itu yang selalu dilakukan Presiden? Kunjungan ke luar negeri untuk membanding-bandingkan negerinya dengan negeri lainnya.

Sepertinya sekarang pukul sembilan lewat. Saya tahu itu dari bapak-bapak yang baru saja datang sambil menonton acara talk show dari televisi di telepon pintarnya itu. Semestinya kereta akan tiba sebentar lagi. Tapi, sampai sekarang, belum ada pemberitahuan kereta itu sudah di stasiun mana atau berangkat dari stasiun mana.

Di peron seberang orang-orang semakin banyak saja yang menunggu kereta dari Tanah Abang. Satu persatu berdatangan. Pegawai-pegawai kantoran, mahasiswa yang baru selesai kuliah –atau, mungkin habis senang-senang. Namun, di antara mereka, yang digunakan hampir semua sama: memasang head-set di telinga. Barangkali dengan mendengarkan lagu, adalah cara terbaik menunggu. 

Stasiun ini jauh dari kata layak. Mungkin karena ada pembangunan, sehingga menggunakan masker merupakan pilihan tepat. Seperti saat ini, misalnya, debu dan oksigen yang dihirup jumlahnya seimbang. Bapak-bapak yang tadi sedang menonton mulai memasang masker. Suatu hal yang wajar untuk siapapun bila ingin menjaga kesehatannya. Tapi saya tidak suka menggunakan masker, karena sering tercampur air liur yang tiba-tiba keluar begitu saja. Air liur itu menempel dan kering di bagian dalam masker. Bau. Bagi saya, lebih baik mati terkena asma daripada mencium bau liur sendiri.

2/
Desember. Tapi hujan tidak juga kunjung datang. Malah, sesekali kesedihan yang mengurung setiap malam. Kesedihan tanpa hujan, seperti puisi tanpa kopi. Atau sebaliknya barangkali. Seperti malam ini, rasa-rasanya sedih suka sekali menghampiri. Kesedihan memang seperti kamu, juga waktu; yang kadang tidak pernah tepat. 

3/
Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Dibuatnya tiga lingkaran dari asap rokok itu. Melayang-layang hingga asap itu hilang. Malam itu tak ada yang lebih nikmat dari merokok satu batang rokok kretek setelah hujan. Ia tidak mempedulikan dagangannya yang baru laku beberapa, karena kenikmatan tidak bisa dibandingkan –sekalipun itu– dengan uang. 

Kopi itu tidak diaduk. Ampasnya mengapung di permukaan dan mengendap di dasar gelas. Dibiarkan sampai kopi itu benar-benar larut dengan air panas. Dari hitam pekat kopi itu, tercium aroma robusta yang khas dan laten di hidung. Dengan sabar ia menunggu kopi itu larut sampai nantinya bisa diaduk. Itulah ritual-ritual yang ia selaulu lakukan untuk meminum kopi: menunggu.

4/
Siapa tahu langit malam ialah selimut paling hangat?

Angin yang sepoy menggiring kereta menuju Tanah Abang. Dari arah selatan stasiun Palmerah, kereta itu seperti kuda yang ditunggangi pangeran. Muncul dari kegelapan dengan pelan hingga datang. Saya ajak bapak-bapak tadi untuk ikut, tapi ia menggelengkan kepala. Di peron ini ia hanya numpang duduk, di peron seberang sudah tidak ada tempat duduk yang kosong. 

Satu langkah kaki saya berarti satu langkah untuk meninggalkan. Tak apa, mungkin saya akan lanjutkan menuggu di stasiun Tanah Abang saja. Kereta itu pun sepi. Satu gerbong barangkali masih bisa dihitung dengan jari. Saya memilih di tempat duduk prioritas. Dengan memeluk tas. Orang-orang yang satu gerbong dengan saya sama saja seperti orang-orang yang ada di stasiun tadi: memakai head-set semua. Barangkali dengan mendengar lagu, adalah cara terbaik menamani kantuk mereka yang menggebu.

Sialnya hari itu saya lupa membawa buku. Setidaknya dengan membaca saya bisa sesibuk mereka itu; yang mendengarkan lagu. Sambil memeluk tas, saya longok keluar jendela. Sungguh, seperti penggalau saja. Mencari bulan dan bintang di langit yang benderang. Meski tidak terlihat jelas, yang pasti, bulan akan selalu mengikuti ke manapun saya pergi. 

Langit malam itu seperti segalas kopi, membuat saya merasa hangat ketika di sisi. 

5/
Sepuluh menit sebelum pukul sepuluh tepat. Saya sudah sampai di stasiun Tanah Abang tepat di bawah jam besar yang digantungkan. Kereta barang yang tadi membawa gulungan besi itu terparkir di jalur lima dam saya di jalur tiga. Peron untuk ke Bogor, yang selalu saya naiki sampai Depok saja.

Dari arah utara kereta lokomotif datang di jalur satu. Suaranya bising. Nampaknya suara itu bukan berasal dari mesin, melainkan para pemain Marching Band. Saat melintas di belakang saya, peron pun berasa bergetar. 

Di sini tidaklah sepi.  Banyak karyawan kantoran yang mau pulang, dan beberapa bencong yang berangkat entah ke mana demi mencari sesuap nasi. Tapi, tetap saja saya merasa sendiri. Andai salah satu dari bencong itu yang ada menghampiri, entah dengan tujuan apa, meski ingin menemani, saya akan lari. Bukan karena jijik atau apa, tapi karena saya laki-laki dan melihat laki-laki bertingkah seperti perempuan bikin bulu kuduk saya berdiri. Ibarat melihat setan.

Kini kereta lokomotif datang dari arah selatan di jalur dua. Kereta itu membawa banyak sekali air galon yang baru diisi. Berjalan dengan pelan, seperti sedang merangkak. Mungkin karena galon-galon itu berat. Namun saya jadi tahu, artinya akan datang kereta yang hanya sampai stasiun Manggarai dan berikutnya ke Depok.
Waktu adalah tanda. Kita bisa tahu itu masa lalu karena tanda-tanda. Tanda-tanda itu kita artikan sendiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Dan kita biasanya menyebut itu kenangan. Setiap waktu akan meninggalkan tanda. Tandai tanda itu sebagai pengingat waktu, setidaknya akan membantu di masa yang akan datang.

Waktu adalah ingatan. Ingatan itu abadi. Saya percaya itu. Ketika saya percaya, saya tidak akan pernah berhenti bermain dengan waktu. Saya tidak akan takut menjumpai ingatan, walau kadang menyakitkan.
Waktu adalah cinta. Tak ada habisnya. Tak akan berhenti. Berputar mengikuti ke mana cinta itu pergi. Memaknai setiap putarannya, meski cinta kadang meninggalkan noda serupa luka. 

Sepuluh lewat sepuluh. Dari arah utara kereta dengan tujuan akhir Depok datang. Saya berdiri satu langkah di depan garis aman yang berwarna kuning itu. Biarlah, karena yang ditunggu tidak jadi datang. Barangkali kereta itu kereta jenazah yang akan membawa jasad saya. Kalaupun saya tidak bisa bertemu denganmu, paling tidak kedatangan kereta ini akan mempertemukan saya dengan maut.




2010 – 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -