- Back to Home »
- Prosa »
- Malam-malam Dijenguk Rindu
Posted by : Harry Ramdhani
January 19, 2015
Di luar ruang kantor seperti ada yang mengetuk pintu. Ketika
saya buka, itu rindu. Nafasnya terengah. Ia terlihat lelah. Saya persilakan
rindu masuk dan duduk. “Maaf meja kerja saya berantakan,” kata saya, “mau minum
apa? tapi di sini cuma ada kopi, teh, dan air mineral saja. Tak apa?.”
Rindu masih mengatur nafasnya. Lalu saya suguhkan ia air
mineral, satu gelas penuh dalam ukuran besar. Dan, hanya satu kali tegukan, pada
gelas itu sama sekali tak ada air yang tersisakan. Rindu menceritakan banyak
tentang ibu. Tentang apa-apa saja yang selama ini saya tidak tahu.
Kata rindu, kini ibu sedang belajar menyulam, ia ingin
memberimu baju hangat karena akhir-akhir ini kamu suka kerja malam. Saya jadi
terharu mendengar cerita itu. Untuk saat ini pekerjaan saya sisihkan terlebih
dulu, nampaknya rindu masih bawa banyak cerita-cerita tentang ibu.
Rindu melepaskan kacamatanya. Ah, mata rindu mirip mata ibu.
Teduh sekali. Seperti tak pernah ada air mata yang singgah di sana.
“Ibu baik-baik saja?” tanya saya.
“Ya, ia akan selalu baik-baik saja.”
Bukan. Bukan itu maksud saya. Saya tahu bagaimana ibu, di
depan semua orang ia selalu perlihatkan kalau dirinya tampak baik-baik saja.
Ibu penyimpan sedih yang luar biasa.
Dan saya jadi ingat ucapan ibu dulu, “air mata itu mahal harganya.
Tak ada alat tukar yang mampu membelinya. Jadi tak perlu kamu buang dengan
percuma.” Tapi malamnya, ketika satu rumah sedang tidur, saat masuk waktu
seper-tiga malam, saya dapati ibu menangis di kamarnya yang gelap.
“Sudah lama bukan kamu tidak makan sayur asem, tempe goreng,
dan sambel terasi?” ujar rindu, “sebelum ke sini, ibu sedang masak itu,”
“buat saya?”
“Ya, bukanlah, buat ibu makan sendiri. Lagi pula sejak kamu
kerja, kamu lebih suka jajan, makan di luar. Entah dengan teman, entah dengan
pacar. Ibu sedih saat itu. Tapi tidak tahu juga, sebab kata ibu tadi, ini
sambel terasi kesukaanmu. Tidak terlalu pedas.”
Supaya rindu tidak terlalu menyudutkan, saya buatkan dia teh
manis hangat.
Andai ibu tahu, dulu itu sepulang kerja saya suka diam-diam
makan masakannya yang tertata rapih di meja. Dan paginya, tikus saya jadikan
kambing hitam. Ibu suka gerutu pagi-pagi saat melihat meja makan makan sedikit
berantakan. Saya malu. Saya sengaja melakukan itu untuk mengelabui ibu, karena
malamnya saya makan kelewat banyak. Mana mungkin saya bisa tak suka makan
masakan ibu, sedangkan oranglain mesti mengeluarkan biaya yang sedikit lumayan
hanya untuk mendapat jasa ibu tiap ada acara nikahan dan lain-lain?
Rindu memasukkan jamu penolak angin ke dalam tehnya. “Kadang
ibu ingin membuatkan minuman seperti ini untukmu.”
“Kalau nanti kau pulang, rindu, boleh titip salam kangen
saya buat ibu?”
“Tentu… dengan senang hati,”
Kemudian saya lanjutkan beberapa pekerjaan yang tadi sempat
saya terlantarkan. Rindu tertidur di sebelah meja kerja saya.
“Tolong nanti pukul dua bangunkan dan antarkan pulang, ya?”
pesan rindu sebelum tidur.
Ruang kantor saya makin sunyi. Segala tentang ibu tadi, seperti
membuat sesak dalam hati. Kangen ibu, kangen yang tak bertepi. Sebab ibu,
adalah muasal kangen itu.
Jam dinding menunjukan pukul dua. Saya bangunkan rindu dan
mengantarnya pulang. Tepat di depan makam itu, makan ibu, rindu berhenti dan
membalikan badan. Rindu menjelma ibu. Rindu itu ibu. Ibu itu rindu.
Keduanya
seperti sepasang merpati di ujung pohon natal; yang tak bisa terpisahkan.
Perpustakaan Teras Baca, 17 Januari 2015