- Back to Home »
- Prosa »
- Almari
Posted by : Harry Ramdhani
January 25, 2015
Saya sudah seperti almari bagi Monic. Segala hal
tentangnya saya tahu, sebab ia sendiri yang menceritakannya. Dengan atau
tanpa saya minta. Dari ceritanya saya tahu siapa-siapa saja laki-laki
yang mendekatinya. Modus dan gombalan seperti apa yang dilakukan mereka.
Saya tahu kapan Monic memberikan ciuman pertamanya, dengan siapa dan di
mana. Sungguh menggelikan jika membayangkannya. Saya juga tahu semua
kesedihan Monic hari ini, kemarin, minggu lalu, dan beberapa bulan lalu. Bagi Monic, saya adalah almari; tempat ia menyimpan dengan rapih semua semua cerita-ceritanya.
Monic cantik. Sangat. Kalau kalian pernah lihat
Nadia Hutagalung, maka Monic dua senti di bawahnya. Dulu saya pernah
membaca buku yang menceritakan tentang hidup perempuan yang terlanjur
dilahirkan cantik, katanya Tuhan sengaja memberi kecantikan itu pada
perempuan supaya mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mind your own bussines,
mungkin begitu maksud Tuhan. Namun, berkat Monic akhirnya saya tahu,
menjalani hidup sebagai perempuan cantik tidaklah seindah dan semudah
yang semula saya pikirkan sebelumnya.
“Malam ini bisa ketemu?” kata Monic.
Selalu seperti itu yang ia tanyakan pada saya. Dan,
pasti ada yang ingin Monic ceritakan. Tapi waktu itu hampir tengah
malam, jadi pesan itu saya biarkan. Tak sampai lima menit dari pesan
itu, Monic menelepon. Dari suaranya ia seperti habis menangis. Entah
masalah seperti apa yang bisa buatnya mengeluarkan airmata?
“Di tempat biasa?”
“Di mana saja,” jawabnya,”asal kita bisa ketemu. Aku mau cerita,”
“Hmm..., sekitar tigapuluh menit sampai sana, ya,”
“lebih cepat,” mohonnya.
Selama perjalanan saya berpikir, akhir-akhir ini
yang membuat Monic begitu gundah itu dua: pekerjaan dan percintaan.
Semestinya masalah semacam itu, pekerjaan khususnya, tidak terjadi pada
perempuan sepertinya. Saya pernah mengingatkan untuk keluar saja dari
pekerjaannya yang sekarang sebagai teller bank
swasta terbesar itu. Tapi ia tidak mau. Padahal di luar sana, menurut
saya, masih banyak sekali perusahaan antri mengantiri jasanya. Bahkan
untuk sekedar duduk dan diam di kantor saja –tanpa melakukan apa-apa.
Namun saya malah dapat cacian darinya. Saya dimaki selama-lamanya.
“Bagaimana kalau mengabdi di rumah Tuhan?”
“Tuhan gue nggak pacaran bego! Kalau dia suka gimana?”
“Lho, bukannya bos yang sekarang malah pernah menawarkan buat jadi istri keduanya?”
“Iya, sih, tapi…,”
Almari tetaplah almari. Fungsinya hanya untuk
menyimpan, bukan memberi saran. Monic sudah tiba terlebih dulu dari saya
di kedai kopi itu. Ini satu-satunya kedai kopi yang buka 24jam dan
suasananya selalu tenang. Kami suka ke sini untuk sekedar membunuh
waktu, meminum-minum kopi, dan mendengar cerita-cerita Monic yang kadang
sampai pagi. Kopinya telah dingin tapi, tetap utuh. Monic sedang
membaca buku yang baru dua bulan lalu saya pinjamkan. Perempuan akan
terlihat lebih cantik ketika
sedang membaca buku.
Malam itu kami baru bertemu kembali setelah saya
diterima kerja. Saya suka syal merah yang melingkar di lehernya. Atau
memang karena kami lama tak bertemu. Lucunya rindu itu, ia bisa
melebih-lebihkan segala yang sebenarnya biasa.
“Jadi kapan putus? Udah ada yang nunggu, nih,”
tanya saya dengan maksud menggodanya. Saya suka kalau ia tersenyum. Lalu
Monic melempar saya dengan sendok kecil.
“Barusan!”
Saya kaget! Awalnya cuma ingin bercanda tapi, malah
terjadi kejadian yang serupa. Monic mendekat ke kursi saya dan menangis
di pundak saya. Kemudian yang terlebih dulu diselamatkan adalah buku
yang digenggamnya. Itu buku langka, saya tidak mau buku itu rusak karena
kejatuhan air mata.
Dan kaget saya yang lain adalah karena dua bulan
lagi Monic menikah. Semuanya sudah ia siapkan, bahkan undangan pun
tinggal dicetak. Tapi saya pikir untuk apa Monic menangis, kalau saya
teriak siapa yang berkenan menikahi perempuan yang satu meja dengan saya
ini, barangkali aka nada banyak laki-laki yang rela bunuh-bunuhan untuk
berebut. Ah, pernikahan memang seperti politik, tidak ada yang terlebih
dulu bisa menduganya.
Monic sudah menjalani hubungan hampir tiga tahun,
sampai di antara mereka berdua sepakat melanjutkan pernikahan. Asal
kalian tahu, waktu itu saya yang mengkonsep prosesi lamaran mereka.
Dian, pasangan Monic --yang kini telah jadi mantannya, yang meminta. Saya pun ingin melihat Monic
bahagia. Setidaknya, sebagai almari saya terlihat sedikit berguna.
Hampir setiap bulan saya dan Monic suka ke toko
buku bekas di pojokan Taman Ismail Marzuki. Saya buatkan lamaran mereka
di sana. Om Gito sudah mengenal kami. Hari itu ia rela toko bukunya
dijadikan tempat lamaran. Setibanya di sana mata Monic ditutup dengan
kain hitam. Saat dibuka, satu per-satu anak-anak kecil dari taman baca
saya –yang Monic juga kenal, karena mereka adalah pembaca setia Monic
ketika berdongeng– keluar sambil
membawa satu buku yang masing-masing sampulnya itu bertuliskan satu
kata, dan bila disatukan menjadi “W-O-U-L-D Y-O-U M-E-R-R-Y M-E?”
Saya keluar membawa bunga mawar yang juga disuka
Monic dan memberikannya pada Dian. Ia berlutut di hadapan Monic dengan
tangan kanan kotak cincin dan tangan kirinya sebatang bunga mawar. Saya
lihat tangan Monic bergetar ketika ingin mengambil salah satu dari
tangan Dian. Monic menangis saat mengambil kotak cincin itu. lalu
dimintanya Dian berdiri dan dengan tubuh bergetar Monic memeluk. Om Gito keluar dengan
gitar usangnya dan memanikan lagu Leaving On The Jet Plane
dari Chantal Kreviazuk. Itu hari paling bahagia buat saya. Kemudian
Monic memberi bunga mawar itu pada saya, “aku juga sayang kamu.”
Barangkali hanya malam itu saya tidak ingin
mendengar cerita Monic tentang putusnya hubungan mereka dan menjadi
almari yang tidak berguna. Saya tidak suka melihat perempuan menangis.
Dan saya benci orang yang tega membuat perempuan menangis.
“Undangannya belum dicetak, kan?” tanya saya, “besok kita ke tempat percetakan.”
Saya buatkan origami mawar dari tisu yang
tergeletak tak berguna di meja, “anggaplah ini mawar yang dulu pernah
kau berikan. Would you marry me, Monic?”
Kedai Alania, 24 Januari 2015