- Back to Home »
- Prosa »
- Batang Rokok ke-11
Posted by : Harry Ramdhani
August 07, 2014
Satu batang rokok yang ia putar antara jari telunjuk, jari
tengah, dan ibu jarinya itu sudah hampir sampai ujung; hampir pada hisapan yang
terakhir. Abu rokok pun berserakan di atas sepatu dan lantai. Ini rokok ke-11
yang ia hisap selama duduk-duduk di peron sore itu. Ada orang yang ia tunggu.
Entah siapa, yang jelas, ini sudah batang rokok ke-11.
Sebuah poster ”KAWASAN TANPA ROKOK” yang menempel di sela
tiang-tiang untuk larangan agar merokok tidak sembarang tempat sudah robek tidak
karuan. Ada pula yang dicoret dengan spidol hitam dan tulisannya pun berubah
menjadi, “KAWASAN ANDA ME-ROKOK”. Ada-ada saja memang ulah manusia, semakin dilarang,
semakin dilanggar. Oleh karena itu, dulu, kita sempat mendengar ada istilah,
“aturan dibuat untuk dilanggar”.
Matanya memerah terkena asap rokoknya sendiri. Angin membuat
asap rokoknya berputar-balik ke arahnya. Nafasnya tampak sesak. Nampaknya ia
merokok terburu-buru, seperti dikejar waktu atau sesuatu.
***
“Kalau aku pulang nanti, tolong jemput aku di stasiun,”
ingatnya.
“Kapan?”
“Pasti aku kabari,”
“Hari ini?”
“Tidak juga,”
“Lusa?”
“Tunggu saja kabar dariku,”
“Atau minggu depannya?”
“Mungkin,”
“Sampai kapan pun itu akan aku tunggu,”
“Ngng… mungkin setelah habis batang rokokmu yang ke-11 itu,”
jawabnya.
Semenjak saat itu, Ia ingin sekali menghabiskan rokoknya
yang ke-11 di stasiun. Menunggu pulang, meski entah kapan yang ditunggu itu
datang.
***
Bisa dilihat dari ketiga jarinya yang ada bekas luka seperti
luka bakar. Jemari itu selalu digunakan untuk memutar rokoknya yang ke-11. Sampai
habis. Sampai bara di puntung rokok itu tidak menyala lagi; mati di ketiga
jarinya tadi.
Dari kejauhan, lampu merah itu menyala, akan ada kereta yang
datang. Ia selalu menaruh harapnya ditiap kedipan itu. Setiap kedipnya adalah
debar jantungnya. Setiap lampu merah itu menyala penuh, jatungnya seakan
berhenti bekerja. Nafas sudah di ujung hidung dan terasa sangat sulit untuk
dihempaskan. Orang yang ditunggu datang, selalu dan selalu begitu harapnya.
Kini rokoknya yang ke-11 sudah hampir habis. Baranya hanya
tersisa satu titik di ujung punting rokok itu. Tinggal menunggu rokok itu mati
– dan pada saat yang bersamaan pula – harapnya dikubur seperti kucing yang mati
karena tabrak lari. Perih siksa di penghujung maut memang siksa yang paling
menyakitkan. Orang yang ditunggu tidak (lagi) datang.
Ia menyisakan satu batang rokoknya itu untuk besok,
dikumpulkannya setiap kali menunggu. Jadi ia cukup membeli rokok selama 11
hari, dihari ke-12, ia merokok dengan sisa rokok yang dikumpulkan dari hari
pertama sampai hari ke-11. Terus begitu. Terus ia lakukan itu selama menunggu.
***
“Hari ini kamu jadi pulang? Biar aku jemput di stasiun Tanah
Abang.” pesan singkat itu ia kirim setiap hari sesaat sebelum berangkat. Meski
tidak pernah sekali pun mendapat balasan, toh, tekadnya untuk menjemput sudah terlampau
bulat. Dan ia selalu percaya, selama pesan itu terkirim, pasti akan dibaca. Atau,
paling tidak, tahu ada pesan darinya.
Baru saja ia mengenakan sepatu di teras kontrakannya, tiba-tiba
hujan turun, padahal langit siang itu cukup bersahabat. Tidak terlalu deras,
seperti pertanda hujan kalau ada orang yang meninggal. Ia hiraukan. Dengan
mengenakan jaket pemberiannya dulu, ia angkat kaki.
Angkutan yang sudah terlihat itu sudah memberi tanda ingin
menepi, tapi ketika ia meraba kantung celana bagian kiri, rokoknya tertinggal
di teras ketika sedang mengenakan sepatu tadi. Ia menggelengkan kepala pada
supir itu dan pulang mengambil rokok yang tertinggal dengan sedikit bergegas
sambil melakukan lari-lari kecil. Entah, hari ini ia seperti orang kebingungan.
Nafas perokok memang bisa ditebak, baru beberapa langkah, geraknya semakin
melambat, dan lama-kelamaan jalan juga.
“Aku ingin sekali kamu berhenti merokok?”
“Lho, memang kenapa?”
“Tidak baik…”
“Untuk kesehatan? Aku tidak percaya itu,”
“Sudah jelas itu ada peringatan dan gambar di bungkusnya.”
“Tapi aku belum pernah sekali pun melihat pasien di rumah
sakit yang terkena penyakit seperti ini karena terlalu banyak merokok. Rokok
hanya memperburuk,”
“Kamu ingin setiap hari diperburuk oleh rokok?”
“Ngng…,”
“Berhentilah!”
“Pasti”
“Matikan!”
Rokok sudah tidak ada (lagi) di tangan dan celananya. Walau
selepas makan, ia kadang masih suka duduk-duduk di samping orang yang merokok
untuk sekedar menghirup asapnya. Penderitaan bagi perokok yang berhenti adalah
setelah makan, bak dipukulin tentara Belanda, katamya.
***
Bukankah rokok yang ke-12 itu mestinya ia simpan untuk
besok? Tiga laki-laki dengan rambut yang acak-acakan itu menghampirinya. Matanya
merah, jalannya sempoyongan, mulutnya bau minuman. Preman stasiun Tanah Abang.
Pintanya sederhana, hanya sebatang rokok saja. Ia tidak ingin memberi rokok
terakhirnya, baginya, satu batang rokok adalah nafasnya untuk menunggu besok. Ibarat pelawak, setiap tawa penonton adalah satu nafasnya saat tampil.
Digenggamnya bungkus rokok itu. Sedikit ada pembelaan, tapi
yang sudah kita tahu sendiri: preman selalu menang.
“Rokok atau nyawa, goblok?”
“Rokok!”
“Rakak-rokok-rakak-rokok!” ditempelnya ujung pisau dari
balik jaket kulit itu.
“Tapi rokok saya tinggal sebatang, Bang.”
“Berikan!”
“Enggak!”
“Masih berani menolak?”
“Bagaimana kalau uang saja, Bang?”
“ROKOK!!” karena bentakan itu orang-orang memusatkan
perhatiannya pada mereka.
“WOOOYY!!!”
“Lari…!!!!!” preman-preman itu langsung berlarian entah ke
mana. Berpencar, layaknya segerombolan orang tawuran.
Nyawa laki-laki itu tak lagi terselamatkan. Rokok terakhir
di bungkusnya ada di antara sela jari telunjuk dan jari manisnya. Pisau yang
tadi hanya ditempelkan di badannya tertinggal di dadanya. Darah sudah terlanjur
terbuang. Rokok itu bukan hanya tidak lagi bisa menunggu dengan menghabiskannya
sampai batang ke-11, tapi rokok itu juga membunuhnya.
Perpustakaan Teras Baca, 04 Agustus 2014
gambar: Lingga's Tweetpict