- Back to Home »
- #NovL »
- Kue Kering
Posted by : Harry Ramdhani
November 08, 2013
Katamu, "cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga,"
TIGA hari yang lalu, di rumahku sibuk dengan persiapan pengajian. Pengajian di sini tidak hanya soal membaca Quran, tapi mesti banyak juga makanan yang dihidangkan. Aku sendiri tidak tahu kenapa mesti ada makanan, yang jelas kalau itu dilupakan bisa jadi bahan omongan. Maklum…, ibu-ibu pengajian.
Biasanya hal terpenting yang disiapkan untuk pengajian adalah makanan. Makanan apa yang sekiranya cocok dihidangkan dan tidak jadi bahan omongan. Dari cemilan sampai makanan yang dibawa pulang (orang-orang pada umumnya menyebut: besek). Sebagai anak yang mesti berbakti pada orangtua, jadi nurut saja bila disuruh ini-itu mencari makanan yang sudah ditentukan.
Pagi itu aku berangkat mencari makanan kering. Makanan yang tetap bagus jika dibeli H-seminggu sekali pun. Tempatnya cukup jauh, tapi katanya makanan di sana tidak ada didekat rumah dan harganya murah. Tanpa basa-basi, kakiku melangkah.
Toko kue kering yang cukup besar. Banyak makanan kering yang di pajang sampai masih terikat rapih di kantong plastik. Sialnya, aku baru tahu kalau makanan kering mengandung (cukup) banyak MsG. Baru satu menit di dalam, aku sudah pusing dan mencari sandaran.
"Mau cari kue apa, mas?" Kata salah seorang penjaga.
"Aaaa…, mau cari kue kering. Ada?" Aku bingung ingin bicara apa. Penjaganya cantik.
Ia mengenakan hijab yang enak untuk dipandang dan nampaknya cocok jika dijadikan pasangan. Tapi aku pikir wajar, laki-laki ketika disapa perempuan cantik pasti bingung ingin jawab apa. Sama sepertiku waktu itu.
"Di sini memang ingin tempat jual kue kering, mas." jawabnya ramah dan penuh senyum yang sama sekali tidak sanggup aku jamah, "maksudnya saya, jenis kue kering yang seperti apa yang dicari."
Kalau boleh jujur, aku mencari yang sepertimu, yang cantik dan pastinya baik. Jawabku dalam hati
"Ouw, iyah. Aku tahu, kok, mau liat-liat dulu boleh 'kan?"
"Silakan, mas."
Senyumnya itu, seakan aku kering dan bisa dengan mudah menjadi abu. Kamu cantik.
Sepanjang jalan pulang, aku terus memikirkannya. Andai aku punya kesempatan untuk ke sana lagi pasti tidak akan aku sia-siakan. Sayangnya aku tidak bisa basa-basi. Ketika di rumah pun aku baru sadar, entah kue kering apa yang tadi dibeli. Aku hanya sibuk curi-curi pandang dengannya dan sesekali menatapnya penuh harapan. Harapan kalau Ia pun sadar kalau aku terkesan pada pendangan pertama.
***
Tuhan selalu punya cara yang misterius untuk makhluknya dan tidak bisa duga sebelumnya. Aku bertemu dengannya, penjaga toko kue kering yang cantik itu, di tempat makan. Saat itu penuh dan hanya ada satu bangku yang tersisa. Bangku itu ada dimejaku. Ia duduk dengan senyum yang sama ketika di toko kue. Ternyata senyum itu perihal kejujuran. Di mana pun bisa dilakukan kepada siapa pun, bukan? Hari itu Tuhan sedang iseng. Teh manis yang Ia pesan habis dan teh manisku yang telah kupesan sama sekali belum diminum.
"Ini minum saja teh manisnya. Belum diminum, kok," kataku yang sama sekali tidak sadar kalau tadi sudah menuangkan empat sendok sambal. Dan, itu pedas. Laki-laki setiap bertemu perempuan cantik memang bisa hilang kesadaran seketika. Seketika perhatianku hanya padanya.
"Terimakasih," Ia menerima tawaranku.
Kita mulai bicara banyak setelah itu. Sama-sama membuka diri untuk memperislakan masuk hati tanpa perlu diketuk.
"Cinta itu seperti kue kering. Yang bisa tahan hingga lama walau pun nanti akan basi juga," katamu
"Semoga cinta tidak perlu MsG untuk menyedapkan rasa," timpalku, "cinta terlalu sedap untuk ditambah ini-itu."
***
Semoga malam ini tidak sedingin bulan November pada biasanya. Aku ingin bertemu untuk ungkapkan rasa yang suatu saat nanti mungkin bisa basi. Tapi tidak masalah, setidaknya hari ini aku bisa nikmati sebelum semuanya basi.
Di awal bulan November hujan bak bayangan. Mengikuti setiap langkah ke mana pun kaki ingin pergi. Seperti malam ini, hujan turun terlalu riang dari siang hingga malam. Dan, tidak memberikanku sedikit ruang untuk pergi dari rumah menemuimu, Aisyah. Di rumah, aku duduk di teras menunggu hujan reda. Perasaanku ini sudah tak kenal arah.
Entah mengapa malam itu juga kamu tidak bisa dihubungi. Mungkin sibuk. Atau, mungkin juga merasakan hal yang sama denganku: merasakan hati yang berkecamuk. Aku tidak tahu.
Kue-kue kering yang dulu pernah kubeli di tokomu itu masih tergeletak di meja. Tidak habis setelah pengajian. Aku hidangkan dengan kopi hitam, seperti sepasang kekasing yang tidak ingin diganggu oleh cahaya terang. Hanya gelap dan birahi yang bertindak.
Malam hampir usai, tapi tidak dengan hujan. Dan, aku, sibuk berselancar di sosial media karena diusir kopi dan kue-kue kering tadi. Beberapa kali aku perhatian timeline yang bergerak cepat. Orang-orang sedang mengalami seperti yang aku alami. Tidak bisa pergi ketika hujan tidak berhenti.
Sepintas aku temukan salah seorang pria yang gunakan avatar dengan seorang perempuan cantik. Itu kamu, Aisyah. Terlihat mesra bak pasangan muda-mudi. Aku baca-baca semua statusnya. Ternyaka benar itu kamu, Aisyah, istrinya. Kenapa dari dulu tidak pernah beritahu itu?
Cinta memang itu seperti kue kering. Yang remah-remahnya dibiarkan berserakan di lantai ketika sedang dimakan.
Perpustakaan Teras Baca, 7 November 2013
gambar: dikasih @fajarnugraa