- Back to Home »
- #NovL »
- Kebaya Abu
Posted by : Harry Ramdhani
November 04, 2013
Setiap orang memiliki arsip sendiri-sendiri. Kadang, saking terlalu terbukanya manusia, arsip itu mudah keluar begitu saja. Tapi aku lebih suka cara manusia mengeluarkan arsipnya lewat tulisan, bukan ucapan-ucapan yang terkadang dilebih-lebihkan.
TERLIHAT murung di antara para pengunjung yang sibuk mencari makanan yang jelas-jelas sudah cukup dihidangkan. Itulah manusia di setiap pesta pernikahan. Dan, yang murung itu kamu. Kamu dengan kebaya abu-abu yang terlihat seperti awan mendung di tengah kebringasan orang-orang melahap makanan.
Aku yang sedari tadi memperhatikanmu jadi lupa kalau es krim di tangan sudah mencair dan bercecer di lantai. Tadinya aku malu sendiri, tapi untuk apa malu? Toh, aku sudah selipkan amplopku di depan tadi. Sama seperti lainnya, aku bayar di sini.
Perlahan aku bulatkan tekadku untuk menghampirimu. Tepat di sampingmu, aku diam sejenak untuk mencari momen yang tepat melemparkan kalimat pertama yang keluar dari mulutku.
"Biasanya, di dalam sebuah pesta, semua yang hadir senang dan ikut berbaur dengan yang lainnya," kataku kaku.
"Kenapa masih ada satu orang yang mengasingkan diri di pojokan?"
"Aku pikir ada dua hal yang tidak benar dari pernyataanmu," jawabmu dengan terus memandang orang-orang di sekitar,"
"Hah?"
"Pertama, di sini aku tidak mengasingkan diri. Di sini aku senang melihat orang-orang di pesta ini senang," tanpa sedikit pun kamu menoleh ke arahku, "kedua, bukan satu orang yang mungkin katamu 'mengasingkan diri', tapi dua orang; aku dan kamu."
Dingin. Jawaban yang dingin. Atau, mungkin lebih dingin dari sirup yang ada di genggamanmu itu.
Setelah itu tidak ada lagi perbincangan. Kita berdua diam di antara orang-orang yang sibuk mencari-cari makanan di pesta pernikahan. Memang, diam adalah emas. Tapi, aku harap diam ini tidak seperti emas yang lupa digarap sampai orang asing yang dapat. Aku hanya berdiri dan mengelap tangan yang tadi terkena es krim. Dan, kamu juga hanya berdiri dan membiarkan es yang ada di gelas mencair menjadi air.
***
Kalau ada yang berani memulai (lagi) perbincangan, pasti ia yang menaruh harapan lebih. Sayangnya aku tidak berani dan kamu pun tidak memperdulikan itu. Sesaat ketika aku ingin melangkah pergi. Satu langkahku tertahan oleh tangan yang tiba-tiba merangkul satu tanganku.
"Bawa aku juga pergi dari sini," katamu
Tangannya halus. Aku tidak lagi melangkah karena jaringan sel di dalam otakku seketika bekerja cepat. Dan selewat ada akal bulus yang mungkin bisa buatku peluang untuk dapatkan yang lain dari dirimu yang halus. Jangtung berdebar tak karuan. Rasanya seperti buah mangga yang sedang disodok dari bawah dengan galah.
***
Di cafe tidak jauh dari gedung pesta pernikahan, kamu mulai mendominasi perbincaraan. Menceritakan ini-itu sampai lupa kalau itu sudah melebihi batas. Batas yang mungkin tidak boleh oranglain tahu selain dirimu dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk luapkan semua, tapi perlahan semua itu keluar dari mulutmu, dari bibir merah muda itu.
Kamu mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tas dan memberikannya padaku. Bukunya seperti buku tagihan.
Aku baca secara perlahan supaya tidak ada yang terlewatkan. Isinya adalah sebuah konsep pernikahan yang sama seperti pesta pernikahan tadi. Rupaya, temanku, Ryan, yang menikah adalah mantanmu. Dulu, mereka sempat berjanji untuk lanjutkan hubungan ke tingkat yang serius. Pernikahan.
Di buku itu tertulis jelas dari daftar makanan yang akan dihidangkan nanti hingga gaun pengantin yang akan dikenakan. Sebuah konsep pernikahan yang sempurna. Tapi, lagi-lagi Tuhan bekerja secara misterius. Tanpa ada keributan, lalu hubunganmu putus. Di hadapanku, kamu menangis. Menangisi yang sudah pergi. Dan air mata itu mewakili semua kesedihamu yang terlanjur ditinggal pergi. Sekali lagi, kepergian kerap datangkan kesedihan.
***
"Tidak perlu kamu iba ketika melihat air mata. Ini wajar ketika kesedihan datang," katamu.
Kali ini aku yang ingin keluarkan air mata setelah kamu keluarkan satu buku lagi dari dalam tasmu. Sebuah cerita cintamu dulu dengan Ryan. Sedih memang ketika menulis sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan. Kata demi kata disusun dengan air mata yang menetes ke pipi dan tidak sekali pun dibiarkan jatuh di atas kertas. Di bulan November ini, aku bertemu denganmu, yang merenung seperti awan mendung di pesta pernikahan.
Perpustakaan Teras Baca, 3 November 2013
gambar: dari sini