- Back to Home »
- [Review] »
- Opa Poe, Bercerita dari Kisah Nyata sampai Derita
Posted by : Harry Ramdhani
November 29, 2013
Nama bukunya: Kisah-Kisah Tengah Malam. Dari judulnya, saya sendiri bisa menerka akan seperti apa isinya. Jujur, saya bukan pembaca cerita-cerita horor atau kawan sepermainannya itu, yang jelas selepas salah satu buku karya RL. Stine, saya tidak bisa tidur. Saya pun jadi ingat semasa kecil membaca buku-buku Petruk - mem-visual-kan sesuatu yang seram - adalah pilihan terburuk saya membaca kisah-kisah menakutkan diumur 7-8 tahun.
Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe, merupakan buku pertamanya yang saya baca. Tidak menarik. Karena saya terpaksa membaca yang bukan jadi pilihan saya sendiri. Tapi, apa boleh buat, semua buku dibuat untuk dibaca.
Ada dua kesialan ketika saya membaca bukunya ini. Pertama, cover bukunya yang menakutkan dengan gambar empat jenis makhluk menyerupai hantu. Menyeramkan. Kedua, ketika buku ini direkomendasikan, saya pun menyimpulkan bahwa buku ini pasti buku yang bagus. Dan membuat nyali kisut.
Opa Poe (baca: Edgar Allan Poe), adalah pendongeng yang baik. Ia mampu menceritakan sedetil mungkin tentang hal-hal apa saja yang terjadi dalam setiap cer-pennya. Tidak ada yang terlewat dan semua berfungsi sebagai mana mestinya, seperti:
"Setelah lama menunggu, kuperhatikan dia tetap di beranda dalam posisi duduk di atas ranjang, maka kuputuskan untuk menyalakan lentera pelan-pelan, menghadirkan cahaya yang sangat minim." - dalam cerpennya yang berjudul: Gema Jantung yang Tersisa
Padanya, saya belajar bahwa menceritakan situasi seperti apapun, dalam kondisi apapun, jika memang perlu untuk ditulis, tulislah.
O ya, saya sampai lupa, gaya bertuturnya dalam setiap dialog mengingatkan saya pada dialog-dialog khas Agatha Christie (menurut saya secara pribadi, sih). Opa Poe membuat dialog-dialog yang singkat tanpa keterangan siapa yang sedang bicara dan siapa yang mendengarkan. Namun, itulah kehebatan penulis nomor wahid: semua dialog hidup, semua bisa dibedakan antara komunikator dan komunikan. Saya pikir tidak ada penulis yang mampu menandingi dialog-dialog singkat - setidaknya yang saya tahu - seperti Agatha Christie, ternyata itu memang wawasan saya yang sekenanya. Masih ada penulis lain, yaitu Opa Poe.
Sungguh, setelah saya membaca buku Ope Poe, saya pun belajar menyiksa orang secara perlahan. Tidak terburu-buru.
Walau saya sendiri terkadang suka bingung ketika membaca adalah adanya judul-judul buku (atau esai yang saya tidak temukan) orang lain yang dijadikan penguat logika berpikir manusia.
Saya tidak tahu lagi ingin menulis apa di sini, Opa Poe memang pendongeng yang mampu menuangkan semua dongeng-dongengnya menjadi sebuah cerita lengkap pembalasan dendam, kegelisahan sang pembunuh, hingga terombang-ambing dalam badai lautan.
Saya rekomendasikan untuk membaca: Kisah-Kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe. Karena jika memang semua yang ada di dalam buku ini nyata, maka berhati-hatilah pada orang-orang disekitar kalian; membawa luka yang telah disimpan lama.
Perpustakaan Teras Baca, 28 November 2013