- Back to Home »
- cosmic g-spot »
- Tulisan yang Diacuhkan
Sudah seminggu aku tidak mencari berita, berpetualang seperti pemburu liar babi hutan. Kini sudah akhir pekan, masihkah aku akan tetap keluyuran?
Ah… bukan bosan atau lelah karena terus ke sana-ke mari mencari sebuah peristiwa tapi, sudah saatnya mencari hal baru yang lebih menantang dari sekedar mencari berita. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat di dunia jurnalistik, namun kini dunia kewartawanan sudah mulai (lagi) diusik. Banyak wartawan yang dianiaya dan sibuat tak berdaya. Ada juga beberapa majalah yang hilang tak tentu arah. Inilah efek Soehartonisasi.
Di stasiun kereta banyak orang lalu-lalang. Ada yang datang lalu mengarah pulang, ada juga yang pergi lalu berharap Ia dianggap hilang.
Aku duduk di pojok tembok yang di atasnya ada spanduk besar bertuliskan jadwal keberangkatan. Tidak jauh dari sana, ada pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam koran. Pasti di sana tulisanku berada dulu. Anehnya, hanya pedagang koran yang masih berjualan di sini (baca: Stansiun) dan tanpa ada pedagang lain. Semua yang sudah berjualan lama telah digusur entah ke mana. Padahal, apa bedanya menjual koran dengan lontong sayur? Toh, sama-sama mengenyangkan. Apa bedanya menjual rokok dengan koran? Toh, sama-sama membuang uang. Harga koran di stasiun mendapat subsidi silang dari penerbitnya, sehingga harganya bisa lebih murah dibanding yang ada di pinggir jalan atau yang ada di lampu lalu lintas. Karena harga koran di stasiun relatif lebih murah, akhirnya banyak orang beli koran hanya untuk duduk di kereta dengan lesehan.
***
Hatiku bertanya, apakah semua aktifitas junalistik yang pernah aku buat benar dinikmati pembaca? Raditya Dika bilang, "Harta yang paling berharga dari penulis adalah pembaca." Aku setuju untuk itu. Sangat setuju. Lantas, untuk apa kita menulis kalau tidak dibaca? Itu sama saja seperti sering ibadah tapi ogah masuk surga.
Perlahan ajakan otak membuat stimulus pada kaki untuk beranjak mendekat penjual koran. Sekedar memastikan apakah media tempat aku sempat singgahi juga menjadi pilihan orang yang sengaja datang ke mari.
Duduk bersebelahan dengan rak yang sudah ditumpuk beragam koran ternama dan majalah-majalah mahal yang harganya sama dengan celana jeans bekas di Pasar Raya. Memang tampak orang yang menjual majalah, bagiku, bukan masalah. Jika ada yang ingin membeli-pun aku bisa melayani. Bahkan lebih baik.
Penjual koran malah asyik ngobrol dengan para penumpang yang menunggu keretanya belum juga datang. Ada juga sesekali orang menanyakan jadwal keberangkatan kereta. Bodoh, padahal di sana juga ada spanduk besar terpampang. Tapi, di sini aku pikir hal terpenting dari para penjual koran di stasiun, mereka mesti hafal jadwal keberangkatan kereta. Tidak semua orang yang datang ke stasiun hanya sekedar membeli koran yang bersubsidi, tapi semua orang yang datang ke stasiun sudah pasti ingin pergi menggunakan moda trasportasi termurah ini. Nah, bila semua para penjual koran bisa menghafal semua jadwal keberangkatan kereta, ada kemungkinan korannya akan dibeli orang yang tadinya cuma ingin pergi tapi karena sudah 'kepalang' nanya ke penjual koran.
Aku masih duduk tanpa ada niatan beranjak, karena ex-mediaku dulu belum juga laku, barang satu. Padahal sudah dua kereta yang aku tinggalkan demi melihat orang yang membeli koranku. Sama sekali tidak dilirik, apa lagi disentuh.
Walau aku sadar, aku memang bekerja di sebuah perusahaan media lokal. Mestinya, banyak orang yang ingin tahu keadaannya sekitar dibanding mengetahui info-info besar. Sedih memang. Kenapa? Kenapa orang-orang di perusahaanku tidak pernah memberitahu bahwa korannya tidak laku begini? Media bukan sekedar tempat meraup untung dari iklan. Tapi, ada kami, para wartawan yang ingin sekali hasil kerjanya dinikmati dan berguna untuk khalayak ramai. Kalau media hanya ingin meraup keuntungan dari situ, kenapa ketika kita di tes mesti melampirkan contoh tulisan? apa itu sekedar formalitas belaka?
"Mau kemana, mas?" Kata penjual koran yang dilengkapi seragam berwarna kuning.
Hebat, bahkan penjual koran menggunakan seragam. Sama sekali, selama meliput, aku tidak pernah menggunakan seragam media sendiri.
"Mau ke Jakarta, pak." Jawabku dengan ramah. "Koran yang paling banyak dibeli di sini biasanya koran apa, yah, pak?"
Aku berharap mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang ditanya hati.
"Biasa." Sambil senyum dan meletakan beberapa koran di rak. "Koran-koran nasional sama koran olahraga, khususnya sepakbola."
"Terus koran ini?" Aku menunjuk ke arah koran yang tak kunjung laku barang satu itu. "Laku juga, pak."
"Ouw, ini, laku juga. Tapi, biasanya nanti sore." Jawabnya, "Kalo sore, harganya dipaketin."
"Sore? Untuk apa? Bungkus gorengan?" Tanyaku semakin penasaran.
Penjual koran itu masih menunjukan raut senang.
"Yaa, itu salah satunya."
***
Kalau saja ada yang tega membiarkan tugas mulia para wartawan, sudah pasti manajemen media itu sendiri. Mana mungkin mereka membiarkan karya jurnalistik karyawannya hanya dibiarkan begitu saja. Mengedepankan keuntungan daripada keahlian.
Persetan untuk orang-orang yang bilang "Setelah lulus nanti, mesti punya keahlian. Paling tidak satu."
Aku putuskan untuk pulang. Belajar lagi menulis dengan baik, lalu mendatangi perusahaan-perusaahan media untuk kembali melamar pekerjaan di sana. Aku akan datang dengan segepok keahlianyang membuat sebuah karya dapat ditonjolkan. Bukan lagi membuat tulisan yang hanya diacuhkan.