- Back to Home »
- Tulisan Nyomot »
- KOIN
Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Mendengar
kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil
melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara
tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita
itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah
ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja
mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang
mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah
gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya
perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya,
apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa
dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang
yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita
itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat
arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu
tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan
wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan
tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan
jawaban yang kurang berkenan.
“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya
bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.
Para
pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi
‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan
menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya,
melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“Sudah setengah jam.”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu
ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen
padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita
itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih
akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih
juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling
dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang
datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama
melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu
lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah
yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu
memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang
sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan
aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah
yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon
dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti
yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel
telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia.
Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang
melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata
kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini
agak melegakan para pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa
memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu
menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di
telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi
miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu,
sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur
satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi.
Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam
menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre
yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja
memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil
mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang
diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian,
ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik,
maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang
yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada
lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang
berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu tega sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang
lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan
ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena
cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia
seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan
sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang
membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi
indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu
cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di
mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang
yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di
seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah
menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia
banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre
yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa.
Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang
punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang
setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok,
segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita
indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu,
sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan
sebuah pertanyaan untuk cinta.
NB: saya lupa tulisan ini di mana. Kalau ada yg tau, boleh 'lho link-nya dicantumkan di kolom comment. Judulnya pun saya lupa, makanya saya ganti judulnya dengan 'KOIN'.