Archive for May 2013
KOIN
By : Harry RamdhaniPada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.
“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya
bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“Sudah setengah jam.”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu tega sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia
banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.
NB: saya lupa tulisan ini di mana. Kalau ada yg tau, boleh 'lho link-nya dicantumkan di kolom comment. Judulnya pun saya lupa, makanya saya ganti judulnya dengan 'KOIN'.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.
“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya
bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“Sudah setengah jam.”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu tega sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia
banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.
NB: saya lupa tulisan ini di mana. Kalau ada yg tau, boleh 'lho link-nya dicantumkan di kolom comment. Judulnya pun saya lupa, makanya saya ganti judulnya dengan 'KOIN'.
Tag :
Tulisan Nyomot,
Ruang Mesra Imajinasi
By : Harry Ramdhani
Di ruang mesra imajinasi
segalanya bisa terjadi,
termasuk kejar-mengejar kata
yang seraya
diam lalu melangkah pergi.
Melangkah ke sana-ke mari,
dari sudut hingga sisi
ruang mesra imajinasi
demi sebagian puisi.
Aku anggap penting
walau tak senikmat puting
dalam kutang
yang menutupi tulang.
Tanpa kata itu, semua
usahaku percuma.
Seperti Kartini berjuang guna
emansipasi wanita.
Satu persatu mulai lelah
hingga tak menentu arah..
ada juga yang pasrah,
bahkan menyerah.
Aku pungut sebagian
dan sisanya dibiarkan.
Kata-kata berjejeran, kemudian
disatukan.
Dua kata hilang
di antara barisan,
tak ada di belakang
juga di selipan.
Pasti ada yang melarikan
atau dibawa pulang.
Puisi ini akan pincang
diakhir klimaks yang panjang
tanpa dua kata itu,
lalu jadi tabu
bahwa: Aku Padamu.
segalanya bisa terjadi,
termasuk kejar-mengejar kata
yang seraya
diam lalu melangkah pergi.
Melangkah ke sana-ke mari,
dari sudut hingga sisi
ruang mesra imajinasi
demi sebagian puisi.
Aku anggap penting
walau tak senikmat puting
dalam kutang
yang menutupi tulang.
Tanpa kata itu, semua
usahaku percuma.
Seperti Kartini berjuang guna
emansipasi wanita.
Satu persatu mulai lelah
hingga tak menentu arah..
ada juga yang pasrah,
bahkan menyerah.
Aku pungut sebagian
dan sisanya dibiarkan.
Kata-kata berjejeran, kemudian
disatukan.
Dua kata hilang
di antara barisan,
tak ada di belakang
juga di selipan.
Pasti ada yang melarikan
atau dibawa pulang.
Puisi ini akan pincang
diakhir klimaks yang panjang
tanpa dua kata itu,
lalu jadi tabu
bahwa: Aku Padamu.
Tag :
Prosa,
Tingkatan Dalam Berhubungan
By : Harry Ramdhani
Saya menulis ini karena resah. Resah akan status saya sendiri,
jomblo. Bukan masalah, sih, masalahnya cuma satu: Saya pingin punya
pasangan seperti yang lain. Alah, canda, ketawa aja.
Yup, bagi saya, dalam berhubungan-pun tetap ada kasta --PDKT bukan termasuk di sana, PDKT itu proses--. Maka saya akan memberitahu empat tingkatan dalam berhubungan, tentunya akan saya analogikan ke arah yang lebih asyik biar gampang paham. Toh, intinya membaca adalah biar paham.
1. Gebetan
Gebetan adalah oranglain yang kita anggap dekat tapi, sudah suka. Gebetan itu sama aja kayak kalian jalan-jalan ke departemen store, terus di sana liat banyak barang-barang berdiskon gede. Pingin beli, tapi, banyak 'tapinya'.
2. Cewek/Cowok Gue
Ini adalah tingkat dimana oranglain sudah mengetahui 'rasa' kita, rasa saling suka tanpa ada sekalimat-pun terucap sekedar memastikan. Tingkat ini, sama aja kayak barang yang tadi kalian liat di departemen store bener-bener bisa menarik perhatian, contohnya: Baju, baju yang dijual plus diskon. Baju udah dicoba tinggal dibayar tapi, udah lumayan sedikit sih berkurang 'tapinya'.
3. Pasangan
Pasangan adalah oranglain yang saling suka dan sudah diikat dalam satu ikatan. Pasangan ini sama aja kayak baju yang tadi di diskon udah dicoba, cocok. Dan, yang paling penting udah dibayar. Artinya ada transaksi di sana, artinya ada kata 'deal' terucap juga. Keduanya sepakat.
4. Pacaran
Pacaran adalah hubungan antar oranglain yang penuh dengan keterikatan. Antara satu dan lain hal, orang sekitar mesti tau. Pacaran itu sama aja kayak baju yang udah dibeli dengan diskon gede dipake di acara-acara bagus, sesuai bagusnya oranglain yang kita gandeng.
Yup, bagi saya, dalam berhubungan-pun tetap ada kasta --PDKT bukan termasuk di sana, PDKT itu proses--. Maka saya akan memberitahu empat tingkatan dalam berhubungan, tentunya akan saya analogikan ke arah yang lebih asyik biar gampang paham. Toh, intinya membaca adalah biar paham.
1. Gebetan
Gebetan adalah oranglain yang kita anggap dekat tapi, sudah suka. Gebetan itu sama aja kayak kalian jalan-jalan ke departemen store, terus di sana liat banyak barang-barang berdiskon gede. Pingin beli, tapi, banyak 'tapinya'.
2. Cewek/Cowok Gue
Ini adalah tingkat dimana oranglain sudah mengetahui 'rasa' kita, rasa saling suka tanpa ada sekalimat-pun terucap sekedar memastikan. Tingkat ini, sama aja kayak barang yang tadi kalian liat di departemen store bener-bener bisa menarik perhatian, contohnya: Baju, baju yang dijual plus diskon. Baju udah dicoba tinggal dibayar tapi, udah lumayan sedikit sih berkurang 'tapinya'.
3. Pasangan
Pasangan adalah oranglain yang saling suka dan sudah diikat dalam satu ikatan. Pasangan ini sama aja kayak baju yang tadi di diskon udah dicoba, cocok. Dan, yang paling penting udah dibayar. Artinya ada transaksi di sana, artinya ada kata 'deal' terucap juga. Keduanya sepakat.
4. Pacaran
Pacaran adalah hubungan antar oranglain yang penuh dengan keterikatan. Antara satu dan lain hal, orang sekitar mesti tau. Pacaran itu sama aja kayak baju yang udah dibeli dengan diskon gede dipake di acara-acara bagus, sesuai bagusnya oranglain yang kita gandeng.
Tag :
cosmic g-spot,
Duplikat Kunci
By : Harry RamdhaniDi sisi jalan aku lihat
toko kecil tempat
kunci duplikat.
Tidak ramai,
malahan sepi.
Mungkin kunci
tak terpakai lagi.
Tulisannya singkat dan padat.
"Segalanya bisa dibuka."
Sedikit ambigu, juga
tabu.
Andai semua hati
yang terkunci
bisa dibawa ke mari,
terlintas namamu di sini.
Atau, aku bawa segenggam
rasa kecewa dengan
segala peristiwa
yang perih tapi nyata.
Sebuah jalan terbuka
untuk bisa membuka
hati yang terluka
karena kecewa.
Aku tahu,
sulit untukmu
melupakan yang sudah.
Sudah, kamu lelah.
Tag :
Prosa,
Tulisan yang Diacuhkan
By : Harry RamdhaniSudah seminggu aku tidak mencari berita, berpetualang seperti pemburu liar babi hutan. Kini sudah akhir pekan, masihkah aku akan tetap keluyuran?
Ah… bukan bosan atau lelah karena terus ke sana-ke mari mencari sebuah peristiwa tapi, sudah saatnya mencari hal baru yang lebih menantang dari sekedar mencari berita. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat di dunia jurnalistik, namun kini dunia kewartawanan sudah mulai (lagi) diusik. Banyak wartawan yang dianiaya dan sibuat tak berdaya. Ada juga beberapa majalah yang hilang tak tentu arah. Inilah efek Soehartonisasi.
Di stasiun kereta banyak orang lalu-lalang. Ada yang datang lalu mengarah pulang, ada juga yang pergi lalu berharap Ia dianggap hilang.
Aku duduk di pojok tembok yang di atasnya ada spanduk besar bertuliskan jadwal keberangkatan. Tidak jauh dari sana, ada pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam koran. Pasti di sana tulisanku berada dulu. Anehnya, hanya pedagang koran yang masih berjualan di sini (baca: Stansiun) dan tanpa ada pedagang lain. Semua yang sudah berjualan lama telah digusur entah ke mana. Padahal, apa bedanya menjual koran dengan lontong sayur? Toh, sama-sama mengenyangkan. Apa bedanya menjual rokok dengan koran? Toh, sama-sama membuang uang. Harga koran di stasiun mendapat subsidi silang dari penerbitnya, sehingga harganya bisa lebih murah dibanding yang ada di pinggir jalan atau yang ada di lampu lalu lintas. Karena harga koran di stasiun relatif lebih murah, akhirnya banyak orang beli koran hanya untuk duduk di kereta dengan lesehan.
***
Hatiku bertanya, apakah semua aktifitas junalistik yang pernah aku buat benar dinikmati pembaca? Raditya Dika bilang, "Harta yang paling berharga dari penulis adalah pembaca." Aku setuju untuk itu. Sangat setuju. Lantas, untuk apa kita menulis kalau tidak dibaca? Itu sama saja seperti sering ibadah tapi ogah masuk surga.
Perlahan ajakan otak membuat stimulus pada kaki untuk beranjak mendekat penjual koran. Sekedar memastikan apakah media tempat aku sempat singgahi juga menjadi pilihan orang yang sengaja datang ke mari.
Duduk bersebelahan dengan rak yang sudah ditumpuk beragam koran ternama dan majalah-majalah mahal yang harganya sama dengan celana jeans bekas di Pasar Raya. Memang tampak orang yang menjual majalah, bagiku, bukan masalah. Jika ada yang ingin membeli-pun aku bisa melayani. Bahkan lebih baik.
Penjual koran malah asyik ngobrol dengan para penumpang yang menunggu keretanya belum juga datang. Ada juga sesekali orang menanyakan jadwal keberangkatan kereta. Bodoh, padahal di sana juga ada spanduk besar terpampang. Tapi, di sini aku pikir hal terpenting dari para penjual koran di stasiun, mereka mesti hafal jadwal keberangkatan kereta. Tidak semua orang yang datang ke stasiun hanya sekedar membeli koran yang bersubsidi, tapi semua orang yang datang ke stasiun sudah pasti ingin pergi menggunakan moda trasportasi termurah ini. Nah, bila semua para penjual koran bisa menghafal semua jadwal keberangkatan kereta, ada kemungkinan korannya akan dibeli orang yang tadinya cuma ingin pergi tapi karena sudah 'kepalang' nanya ke penjual koran.
Aku masih duduk tanpa ada niatan beranjak, karena ex-mediaku dulu belum juga laku, barang satu. Padahal sudah dua kereta yang aku tinggalkan demi melihat orang yang membeli koranku. Sama sekali tidak dilirik, apa lagi disentuh.
Walau aku sadar, aku memang bekerja di sebuah perusahaan media lokal. Mestinya, banyak orang yang ingin tahu keadaannya sekitar dibanding mengetahui info-info besar. Sedih memang. Kenapa? Kenapa orang-orang di perusahaanku tidak pernah memberitahu bahwa korannya tidak laku begini? Media bukan sekedar tempat meraup untung dari iklan. Tapi, ada kami, para wartawan yang ingin sekali hasil kerjanya dinikmati dan berguna untuk khalayak ramai. Kalau media hanya ingin meraup keuntungan dari situ, kenapa ketika kita di tes mesti melampirkan contoh tulisan? apa itu sekedar formalitas belaka?
"Mau kemana, mas?" Kata penjual koran yang dilengkapi seragam berwarna kuning.
Hebat, bahkan penjual koran menggunakan seragam. Sama sekali, selama meliput, aku tidak pernah menggunakan seragam media sendiri.
"Mau ke Jakarta, pak." Jawabku dengan ramah. "Koran yang paling banyak dibeli di sini biasanya koran apa, yah, pak?"
Aku berharap mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang ditanya hati.
"Biasa." Sambil senyum dan meletakan beberapa koran di rak. "Koran-koran nasional sama koran olahraga, khususnya sepakbola."
"Terus koran ini?" Aku menunjuk ke arah koran yang tak kunjung laku barang satu itu. "Laku juga, pak."
"Ouw, ini, laku juga. Tapi, biasanya nanti sore." Jawabnya, "Kalo sore, harganya dipaketin."
"Sore? Untuk apa? Bungkus gorengan?" Tanyaku semakin penasaran.
Penjual koran itu masih menunjukan raut senang.
"Yaa, itu salah satunya."
***
Kalau saja ada yang tega membiarkan tugas mulia para wartawan, sudah pasti manajemen media itu sendiri. Mana mungkin mereka membiarkan karya jurnalistik karyawannya hanya dibiarkan begitu saja. Mengedepankan keuntungan daripada keahlian.
Persetan untuk orang-orang yang bilang "Setelah lulus nanti, mesti punya keahlian. Paling tidak satu."
Aku putuskan untuk pulang. Belajar lagi menulis dengan baik, lalu mendatangi perusahaan-perusaahan media untuk kembali melamar pekerjaan di sana. Aku akan datang dengan segepok keahlianyang membuat sebuah karya dapat ditonjolkan. Bukan lagi membuat tulisan yang hanya diacuhkan.
Ah… bukan bosan atau lelah karena terus ke sana-ke mari mencari sebuah peristiwa tapi, sudah saatnya mencari hal baru yang lebih menantang dari sekedar mencari berita. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat di dunia jurnalistik, namun kini dunia kewartawanan sudah mulai (lagi) diusik. Banyak wartawan yang dianiaya dan sibuat tak berdaya. Ada juga beberapa majalah yang hilang tak tentu arah. Inilah efek Soehartonisasi.
Di stasiun kereta banyak orang lalu-lalang. Ada yang datang lalu mengarah pulang, ada juga yang pergi lalu berharap Ia dianggap hilang.
Aku duduk di pojok tembok yang di atasnya ada spanduk besar bertuliskan jadwal keberangkatan. Tidak jauh dari sana, ada pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam koran. Pasti di sana tulisanku berada dulu. Anehnya, hanya pedagang koran yang masih berjualan di sini (baca: Stansiun) dan tanpa ada pedagang lain. Semua yang sudah berjualan lama telah digusur entah ke mana. Padahal, apa bedanya menjual koran dengan lontong sayur? Toh, sama-sama mengenyangkan. Apa bedanya menjual rokok dengan koran? Toh, sama-sama membuang uang. Harga koran di stasiun mendapat subsidi silang dari penerbitnya, sehingga harganya bisa lebih murah dibanding yang ada di pinggir jalan atau yang ada di lampu lalu lintas. Karena harga koran di stasiun relatif lebih murah, akhirnya banyak orang beli koran hanya untuk duduk di kereta dengan lesehan.
***
Hatiku bertanya, apakah semua aktifitas junalistik yang pernah aku buat benar dinikmati pembaca? Raditya Dika bilang, "Harta yang paling berharga dari penulis adalah pembaca." Aku setuju untuk itu. Sangat setuju. Lantas, untuk apa kita menulis kalau tidak dibaca? Itu sama saja seperti sering ibadah tapi ogah masuk surga.
Perlahan ajakan otak membuat stimulus pada kaki untuk beranjak mendekat penjual koran. Sekedar memastikan apakah media tempat aku sempat singgahi juga menjadi pilihan orang yang sengaja datang ke mari.
Duduk bersebelahan dengan rak yang sudah ditumpuk beragam koran ternama dan majalah-majalah mahal yang harganya sama dengan celana jeans bekas di Pasar Raya. Memang tampak orang yang menjual majalah, bagiku, bukan masalah. Jika ada yang ingin membeli-pun aku bisa melayani. Bahkan lebih baik.
Penjual koran malah asyik ngobrol dengan para penumpang yang menunggu keretanya belum juga datang. Ada juga sesekali orang menanyakan jadwal keberangkatan kereta. Bodoh, padahal di sana juga ada spanduk besar terpampang. Tapi, di sini aku pikir hal terpenting dari para penjual koran di stasiun, mereka mesti hafal jadwal keberangkatan kereta. Tidak semua orang yang datang ke stasiun hanya sekedar membeli koran yang bersubsidi, tapi semua orang yang datang ke stasiun sudah pasti ingin pergi menggunakan moda trasportasi termurah ini. Nah, bila semua para penjual koran bisa menghafal semua jadwal keberangkatan kereta, ada kemungkinan korannya akan dibeli orang yang tadinya cuma ingin pergi tapi karena sudah 'kepalang' nanya ke penjual koran.
Aku masih duduk tanpa ada niatan beranjak, karena ex-mediaku dulu belum juga laku, barang satu. Padahal sudah dua kereta yang aku tinggalkan demi melihat orang yang membeli koranku. Sama sekali tidak dilirik, apa lagi disentuh.
Walau aku sadar, aku memang bekerja di sebuah perusahaan media lokal. Mestinya, banyak orang yang ingin tahu keadaannya sekitar dibanding mengetahui info-info besar. Sedih memang. Kenapa? Kenapa orang-orang di perusahaanku tidak pernah memberitahu bahwa korannya tidak laku begini? Media bukan sekedar tempat meraup untung dari iklan. Tapi, ada kami, para wartawan yang ingin sekali hasil kerjanya dinikmati dan berguna untuk khalayak ramai. Kalau media hanya ingin meraup keuntungan dari situ, kenapa ketika kita di tes mesti melampirkan contoh tulisan? apa itu sekedar formalitas belaka?
"Mau kemana, mas?" Kata penjual koran yang dilengkapi seragam berwarna kuning.
Hebat, bahkan penjual koran menggunakan seragam. Sama sekali, selama meliput, aku tidak pernah menggunakan seragam media sendiri.
"Mau ke Jakarta, pak." Jawabku dengan ramah. "Koran yang paling banyak dibeli di sini biasanya koran apa, yah, pak?"
Aku berharap mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang ditanya hati.
"Biasa." Sambil senyum dan meletakan beberapa koran di rak. "Koran-koran nasional sama koran olahraga, khususnya sepakbola."
"Terus koran ini?" Aku menunjuk ke arah koran yang tak kunjung laku barang satu itu. "Laku juga, pak."
"Ouw, ini, laku juga. Tapi, biasanya nanti sore." Jawabnya, "Kalo sore, harganya dipaketin."
"Sore? Untuk apa? Bungkus gorengan?" Tanyaku semakin penasaran.
Penjual koran itu masih menunjukan raut senang.
"Yaa, itu salah satunya."
***
Kalau saja ada yang tega membiarkan tugas mulia para wartawan, sudah pasti manajemen media itu sendiri. Mana mungkin mereka membiarkan karya jurnalistik karyawannya hanya dibiarkan begitu saja. Mengedepankan keuntungan daripada keahlian.
Persetan untuk orang-orang yang bilang "Setelah lulus nanti, mesti punya keahlian. Paling tidak satu."
Aku putuskan untuk pulang. Belajar lagi menulis dengan baik, lalu mendatangi perusahaan-perusaahan media untuk kembali melamar pekerjaan di sana. Aku akan datang dengan segepok keahlianyang membuat sebuah karya dapat ditonjolkan. Bukan lagi membuat tulisan yang hanya diacuhkan.
Tag :
cosmic g-spot,
Dia tidak 'Nyontek'
By : Harry RamdhaniKaki ini sungguh berat untuk melangkah pergi. Mungkin karena terlalu lama di rumah, --tidak kemana-mana-- hanya berdiam diri. Masih pagi buta, suara ayam masih terdengar mendengkur di dalam sana.
Kali ini, tugasku bukan lagi pemenuh rumah saja tapi menjadi Pengawas Independen Ujian Nasional. Sungguh tugas yang berat. Di Indonesia, pengawas hanya sebuah identitas dan independen merupakan slogan yang disepakati oleh para dipenden. Bertugas di sebuah sekolah tingkat atas yang tidak tahu 'apakah masih terlacak GPS?' merupakan beban tambahan tersendiri dari tugasku. Sempat iseng mencari di googleMap dan … tidak ada. Jawaban yang sama saat orang ingin meminjam uang.
Angkutan umum yang terlihat hanya dipenuhi belanjaan warung, sayur-mayur, dan karyawati para mucikari. Aku menunggu angkutan umum yang sekiranya aman, karena ini masih pagi, karena masih banyak laki-laki hidung belang yang berkeliaran. Dan ingat, ini pagi buta. Ayam saja yang biasa bangun pagi tidak melihat, lalu jika ada apa-apa denganku, mesti teriak minta tolong ke siapa?
***
Perjalanan aman, aku sudah sampai di tujuan dengan tidak ada sama sekali gangguan. Di sekolah, sudah ada beberapa guru yang menyambut dengan ramah --lebih tepatnya berlebihan-- bak dokter umum yang siap membuka klinik di kampung sebelah. Aku tidak tahu mesti bersikap apa, ini masih pagi buta. Tugasku ke sini adalah mengawasi kalian yang menyelenggarakan ujian. Tidak lebih.
Ternyata di daerah tempatku mengawas sama sekali tidak ada yang bisa selesai kuliah. Para guru saja hanya lulusan Sekolah Rakyat. dan Kepala Sekolah, hanya lulus Menengah Pertama. Di sini, mereka diminta mengajar oleh Bupati setempat. Kalian tau, tenaga pengajar yang dibuatkan standar oleh pemerintah pusat terlalu tinggi, terlalu membuat daerah ini bermimpi bisa maju oleh orang-orang bernama panjang oleh gelar. Gelar yang kita tidak tahu bisa didapat dengan cara seperti apa, dimana, dan bagaimana. Bukan urusanku, tapi membuatku cukup prihatin.
Tiga orang yang ditugaskan untuk mengambil soal di salah satu rayon yang cukup jauh sudah berangkat. Mestinya aku ikut ke sana, tapi karena baru tiba dan perluistirahat sejenak. Kata salah seorang guru, "Buatkan saja memo, biar nanti guru yang lain bisa menggantikan mengambil soal." Ide yang cukup baik. Padahal ini masih pagi, mungkin Ia sarapan dengan roti. Aku beristirahat di ruang Kepala Sekolah -- sebenarnya tak beda dengan ruang guru karena masih di satu ruang dan hanya dipisahkan papan sebagai penyekat--. Berbincang banyak hal tentang keadaan sekolah. Miris. Mana mungkin satu guru dibebani tugas untuk mengajar empat mata pelajaran. Padahal, di Kota, banyak guru (mungkin lebih baik aku menyebutnya: Pengajar) yang satu minggu hanya kebagian tiga kali mengajar, sisanya mereka hanya absen. Pemerataan adalah akal-akalan orang metropolitan.
Aku bertanya kesiapan untuk Ujian Nasional dan Kepala Sekolah hanya bisa pasrah. Pemerintah sudah seperti Tuhan, orang-orang yang bergantung dengannya dibuat tak berdaya. Pelecehan terhadap dunia pendidikan. Indonesia mestinya tidak seperti sekarang, Indonesia mestinya sudah siap melihat masa depan.
Apa yang mesti aku lakukan? Jika membiarkan mereka nanti nyontek saat ujian, maka aku tak bedanya dengan makhluk kuasa yang Ia anggap dirinya manusia. Padahal lebih cocok disebut Landak, bentuknya yang lucu tapi berduri.
***
Setengah jam lagi ujian akan dimulai. Aku, beserta pengawas kelas dan panitia pelaksana dari sekolah melakukan briefing. Berbekal sosialisasi oleh Dinas Pendidikan beberapa hari lalu, dengan itu aku membuat aturan-aturan baru untuk pelaksanaan ujian.
Melihat wajah-wajah peserta ujian yang tegang atau lebih tepatnya takut saat waktu hampir menunjukan pukul tujuh. Aku menghampiri seorang sisiwi yang duduk bersimpuh dibawah jendela yang hampir copot dan bisa membahayakan dirinya.
"Sudah siap, kan?" tanyaku seramah mungkin agar tidak semakin membuatnya takut.
"Tenang, kamu pasti bisa mengerjakannya." lanjutku.
Suara velg mobil yang ternyata adalah lonceng, digantungkan di pohon mangga dipukul tanda peserta ujian masuk kelas. Suara itu seperti suara terompet pertanda kiamat. Siswa-pun berbaris dengan wajah pucat. Pemandangan pendidikan macam apa ini? Tidak ada keriangan yang mencuat, hanya ketakutan yang membuat mereka seakan tidak kuat.
Aku berkeliling setiap ruangan yang hanya ada delapan. Memantau satu demi satu agar tidak ada yang kacau. Walau jujur, dulu-pun mendapatkan bocoran selama ujian. Tapi, apa mereka juga dapat?
Ujian berlangsung, suasana sekolah mendadak sepi seperti tak ada pengunjung. Aku memainkan velg mobil yang dijadikan lonceng, dengan sangat pelan tentunya. Di sini jadi orang yang kesepian, berkeliling ruangan-pun tak bertujuan. Di mushola yang lebih tepat disebut gudang penyimpanan beras, aku lihat ada guru yang sedang berdo'a, ada juga, yang malah tidur. Mungkin guru yang tidur sudah percaya atas apa yang Ia lakukan selama ini ke setiap muridnya. Jadi, tidak perlu lagi takut.
Di ruangan lima ada sedikit keributan, aku lekas menghmapirinya. Ada siswa yang ketauan nyontek. Ia membawa kertas bocoran. Darimana Ia dapatkan?
Suasana ruangan lima menjadi gaduh karena ulah salah seorang siswa yang malah ketuan mencontek. Laki-laki yang sedikit lusuh hanya tertunduk dan menangis di ruang Kepala Sekolah. Aku, pengawas kelas, dan panitia pelaksana berdiskusi untuk tidak membuat keributan semakin memanjang. Pelaksanaan Ujian dilanjutkan.
Laki-laki itu masih saja menangis dan sampai sesegukan, aku ambilkan Ia teh manis untuk tidak terus ketakutan. Hanya mencoba untuk menenangkan. Aku tahu apa yang Ia pikirkan, merasa masa depannya telah hancur karena tidak lulus Ujian Nasional. Banyak cemoohan pasti yang akan Ia terima, dari tetangga, dari teman-teman sebaya, dari orang-orang yang tega membunuh jiwa dan harapan anak tak berdosa.
"Dapat darimana bocoran jawaban?" Ah, aku merasa sudah melemparkan pertanyaan bodoh.
Dia masih diam tidak menjawab. Menggenggam cangkir sudah seperti ingin dipecahkan.
"Yasudah, biar nanti coba aku urus, yah. Kamu tenang aja." Ucapku sambil mengusap punggungnya.
Kita semua sepakat untuk tidak membawanya (baca: kasus) ke Dinas Pendidikan. Dengan catatan, Ia tidak bisa ikut Ujian bersama-sama temannya di ruangan. Tapi di sini, di meja Pengawas Ujian.
***
Ternyata, kasus ini bocor ke Dinas Pendidikan. Ah, dasar dunia pendidikan, bocornya dimana-mana. Coba sekali-kali kau bocori oknum yang suka membuat anggaran pendidikan ini bocor, berani tidak?
Aku dan anak laki-laki yang didampingi Kepala Sekolah juga Wali muridnya dipanggil ke Dinas Pendidikan. Mungkin kita akan disidang. Aku sudah siap dengan segala keputusan yang akan dijatuhkan. Karena, seperti yang semua orang tahu, adil di Indonesia hanya mitos belaka.
Dengan menggunakan jilbab merah, tanda aku sudah siap untuk berjuang atas semua tuduhan. Atas semua pernyataan konyol yang mengedepankan aturan. Atas tindakan bodoh mereka memanggilku untuk melihat anak laki-laki ini dibilang: Bersalah.
Dihadapan laki-laki tua berperut tambun, nyaliku tidak akan menciut sedikitpun.
"Kamu, sebagai pengawas Independen kenapa malah menyembunyikan kasus ini?" katanya seakan hakim.
Aku malah jadi ikut bodoh, apa urusan mereka menghakimi aku? Kalau ini soal aturan, biarkan dibawa ke pengadilan. Mungkin mereka sesekali ingin berurusan dengan wanita cantik. "Aku tidak menyembunyikan, tapi menyelesaikan kasus ini." Kataku dengan lantang.
"Bukan kewajibanmu menyelesaikan kasus seperti ini. Tugasmu mengawasi ujian."
Tuhan, kenapa negeri ini mesti dikelola oleh orang-orang tolol seperti laki-laki tua berperut tambun ?
"Jika hanya mengawasi, kenapa pemerintah tidak memberdayakan preman pasar, pengangguran saja?" jawabku. "Jelas itu lebih berguna dan aman. Ada kecurangan, tinggal hantam."
Laki-laki tua berperut tambun naik pitam, "Apa maksudmu? Kau sudah dibayar mengawasi."
"Di bayar? mana? Aku belum menerima uang sepeser-pun." Intonasiku sudah sedikit meninggi. "Lantas, apa memang salahnya anak ini? Yaa… memang Ia mempunyai bocoran tapi, Ia sudah dapat ganjaran."
Suasana di ruangan semakin panas, antara aku dengan laki-laki tua berperut tambun yang kemudian aku tahu namaya: Rasyidun Gofur.
"Dia mencontek. Dia melanggar aturan. Dan dia tidak lulus ujian." kata Gofur sambil menunjuk-nunjuk Gilang, seorang siswa yang sedang aku bela.
"Mencontek? Dasar bodoh" Aku semakin tidak terkontrol. Berdiri dengan menggebrak meja. "Dia tidak mencontek. Paham?"
"Kau ini sarjana bodoh, yah" Gofur ikut tidak terkontrol. "Jelas-jelas dia mencontek."
Ibu Gilang sambil mengusap tanganku untuk tetap bersabar dan menangis memeluk Gilang yang dari tadi tetunduk. Aku yakin, Ia sedang menangis dalam tunduknya.
"Bapak Gofur yang memiliki jabatan" kataku, "Mencontek itu melihat pekerjaan temannya yang sama-sama sedang ujian. Sedangkan yang Ia lakukan adalah melihat bocoran. Melihat bocoran bukanlah mencontek." Jilbab yang aku pakai sampai kendor ke sana-ke mari.
"Jika bapak mem-black list nama Gilang, artinya bapak juga telah mencoreng pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan Gilang juga adalah ulah oknum Dinas Pendidikan." apa yang aku lakukan di dalam ruangan, persis seperti orang berorasi di depan Gedung Kemerdekaan. "Tuduhan bapak tidak diterima. Dan saya, sebagai Tim Pengawas Independen telah menghukumnya."
*** Empat tahun berikutnya ***
Ada sebuah undangan tergeletak di depan pintu rumah. Undangan pernikahan Gilang, seorang siswa yang dulu pernah dihukum mengerjakan Ujian di mejaku. Gilang masih mengingatku, bagiku, itu sudah terlampau cukup membuat bahagia.
Aku dan Suamiku datang ke pesta pernikahan. Sungguh meriah. Aku bertemu beberapa guru di sekolah tempat mengawas dulu. Dan, tidak aku duga, Gilang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Biaya kuliah Ia tanggung sendiri sambil berdagang. Kini, Ia telah menjadi orang sukses dan banyak terlibat di Lembaga Sosial untuk mensejahterakan pendidikan.
Dalam setiap butir tangis anak-anak sekolah yang pernah dilecehkan oleh oknum-oknum pejabat pendidikan, terbersit do'a. Do'a berbentuk air mata ditadahi malaikat dan diberikan ke Tuhan. Selebihnya, adalah urusan Tuhan.
Tag :
cosmic g-spot,
Pengawas Ujian: Dia tidak 'Nyontek'
By : Harry RamdhaniKaki ini sungguh berat untuk melangkah pergi. Mungkin karena
terlalu lama di rumah, --tidak kemana-mana-- hanya berdiam diri. Masih
pagi buta, suara ayam masih terdengar mendengkur di dalam sana.
Kali ini, tugasku bukan lagi pemenuh rumah saja tapi menjadi Pengawas Ujian Nasional. Sungguh tugas yang berat. Di Indonesia, pengawas hanya sebuah identitas dan independen adalah slogan yang disepaki oleh semua. Bertugas di sebuah sekolah tingkat atas yang tidak tahu 'apakah masih terlacak GPS?'. Aku sempat iseng mencari di googleMap dan tidak ada. Jawaban yang sama saat orang ingin meminjam uang.
Angkutan umum yang terlihat hanya dipenuhi belanjaan warung, sayur-mayur, dan karyawati para mucikari. Aku menunggu angkutan umum yang sekiranya aman, karena ini masih pagi, karena masih banyak laki-laki hidung belang yang berkeliaran. Dan ingat, ini pagi buta. Ayam saja yang selalu bangun pagi tidak melihat, lalu jika ada apa-apa dengan diriku, mesti teriak minta tolong ke siapa?
***
Perjalanan aman, aku sudah sampai di tujuan dengan tidak ada sama sekali gangguan. Di sekolah, sudah ada beberapa guru yang menyambutku dengan ramah --lebih tepatnya berlebihan-- bak dokter umum yang siap membuka klinik di kampung. Aku tidak tahu mesti bersikap apa, ini masih pagi buta. Tugasku ke sini adalah mengawasi kalian yang menyelenggarakan ujian. Tidak lebih.
Ternyata di daerah tempatku mengawas sama sekali tidak ada yang bisa selesai kuliah. Guru-guru sekolah saja hanya lulusan Sekolah Rakyat. Kepala Sekolah saja hanya lulus sampai SMP. Di sini, mereka diminta mengajar oleh Bupati setempat. Tenaga pengajar yang dibuatkan standar oleh pemerintah pusat terlalu tinggi, terlalu membuat daerah ini bermimpi bisa maju oleh orang-orang bernama panjang oleh gelar. Gelar yang kita tidak tahu bisa didapat dengan cara seperti apa, dimana, dan bagaimana. Bukan urusanku, tapi aku cukup prihatin.
Tiga orang yang ditugaskan untuk mengambil soal di salah satu Rayon yang cukup jauh sudah berangkat. Mestinya aku ikut ke sana, tapi aku baru saja tiba dan istirahat sejenak. Akhirnya aku buatkan memo untuk beberapa guru untuk mengambil soal ke sana. Aku masuk ke ruang Kepala Sekolah, sebenarnya tidak ada bedanya dengan ruang guru, karena masih di satu ruang dan hanya dipisahkan papan sebagai penyekat. Berbincang banyak hal tentang keadaan sekolah. Miris. Mana mungkin satu guru dibebani tugas untuk mengajar empat mata pelajaran. Padahal, di Kota, banyak guru (mungkin lebih baik aku menyebutnya: Pengajar) yang satu minggu hanya kebagian tiga kali mengajar, sisanya mereka hanya absen. Pemerataan adalah akal-akalan orang metropolitan.
Aku bertanya kesiapan untuk Ujian Nasional dan Kepala Sekolah hanya bisa pasrah. Pemerintah sudah seperti Tuhan, orang-orang yang bergantung dengannya dibuat tak berdaya. Pelecehan terhadap dunia pendidikan. Indonesia mestinya tidak seperti sekarang, Indonesia mestinya sudah siap melihat masa depan.
Apa yang mesti aku lakukan? Jika membiarkan mereka nanti nyontek saat ujian, maka aku tak bedanya dengan makhluk kuasa yang Ia anggap dirinya manusia. Padahal lebih cocok disebut Landak.
***
Setengah jam lagi ujian akan dimulai. Aku beserta pengawas kelas dan panitia pelaksana dari sekolah melakukan briefing. Seperti bekal yang aku bawa ke sini sebagai pengawas, maka aku terap juga. Seperti tata tertib ujian, dan lain-lain yang tidak tetulis.
Aku melihat wajah-wajah peserta ujian yang tegang atau lebih tepatnya takut saat waktu hampir menunjukan pukul tujuh. Aku menghampiri seorang sisiwi yang duduk bersimpuh dibawah jendela yang hampir copot dan bisa membahayakan dirinya.
"Sudah siap, kan?" tanyaku seramah mungkin agar tidak semakin membuatnya takut.
"Tenang, kamu pasti bisa mengerjakannya." lanjutku.
Suara velg mobil yang ternyata adalah bel yang digantungkan di pohon mangga dipukul tanda peserta ujian masuk kelas. Suara itu seperti suara terompet tanda kiamat. Siswa berbaris dengan wajah pucat. Pemandangan pendidikan macam apa ini? Tidak ada keriangan yang mencuat, hanya ketakutan yang membuat mereka seakan tidak kuat.
Aku berkeliling setiap ruangan yang hanya ada delapan. Memantau satu demi satu agar tidak ada yang kacau. Walau jujur, dulu aku mendapatkan bocoran selama ujian. Tapi, apa mereka juga dapat?
Ujian berlangsung, suasana sekolah mendadak sepi seperti tak ada pengunjung. Aku memainkan velg mobil yang dijadikan lonceng, dengan sangat pelan tentunya. Di sini aku kesepian, berkeliling ruangan-pun tak bertujuan. Di mushola yang lebih tepat disebut gudang penyimpanan beras, aku lihat ada guru yang sedang berdo'a, ada juga, sih, yang malah tidur. Mungkin guru yang tidur ini sudah percaya atas apa yang Ia lakukan selama ini ke setiap muridnya. Jadi, tidak perlu lagi takut.
Di ruangan lima ada sedikit keributan. Aku lekas menghmapirinya. Ada siswa yang ketauan nyontek. Ia membawa kertas bocoran. Darimana Ia dapatkan?
suasana ruang lima menjadi gaduh karena ulah salah seorang siswa yang malah ketuan mencontek. Laki-laki yang sedikit lusuh ini hanya tertunduk dan menangis di ruang Kepala Sekolah. Aku, pengawas kelas, dan panitia pelaksana berdiskusi untuk tidak membuat keributan semakin memanjang. Pelaksanaan Ujian dilanjutkan.
Laki-laki itu masih saja menangis dan sampai sesegukan, aku ambilkan Ia teh manis untuknya. Mencoba untuk menenangkan. Aku tahu apa yang Ia pikirkan, merasa masa depannya telah hancur karena tidak lulus Ujian Nasional. Banyak cemoohan pasti yang akan Ia terima, dari tetangga, dari teman-teman sebaya, dari orang-orang yang tega membunuh jiwa dan harapan anak ini.
"Dapat darimana bocoran jawaban?" Ah, aku merasa sudah melemparkan pertanyaan bodoh.
Dia masih diam tidak menjawab. Menggenggam cangkir sudah seperti ingin Ia tekan dan dipecahkan.
"Yasudah, biar nanti coba aku urus, yah. Kamu tenang aja." Ucapku sambil mengusap punggungnya.
Kita semua sepakat untuk tidak membawanya ke Dinas Pendidikan. Dengan catatan, Ia tidak bisa ikut Ujian bersama-sama temannya di ruangan. Tapi di sini, di meja Pengawan Ujian.
***
Ternyata, kasus ini bocor ke Dinas Pendidikan. Ah, dasar dunia pendidikan, bocornya dimana-mana. Coba sekali-kali kau bocori oknum yang suka membuat anggaran pendidikan ini bocor, berani tidak?
Aku dan anak laki-laki itu yang didampingi Kepala Sekolah dan Wali murid tentunya dipanggil ke Dinas Pendidikan. Mungkin kita akan disidang. Aku sudah siap dengan segala keputusan yang akan dijatuhkan kepadaku. Karena aku tahu, adil di Indonesia hanya mitos belaka.
Dengan menggunakan jilbab merah, tanda aku sudah siap untuk bertahan atas semua tuduhan. Atas semua pernyataan konyol yang mengedepankan aturan. Atas tindakan bodoh mereka memanggilku untuk melihat anak laki-laki ini dibilang: Bersalah.
Dihadapan laki-laki tambun, nyaliku tidak akan menciut ke dubun.
"Kamu, sebagai pengawan Independen kenapa malah menyembunyikan kasus ini?" katanya seakan Ia ini hakim.
Kadang aku juga jadi ikut bodoh, apa urusan mereka menghakimi aku. Kalau ini soal aturan, biarkan dibawa ke pengadilan. Mungkin mereka sesekali ingin berurusan dengan wanita cantik. "Aku tidak menyembunyikan, tapi menyelesaikan kasusu ini." Kataku dengan lantang.
"Bukan kewajibanmu menyelesaikan kasus seperti ini. Tugasmu mengawasi ujian."
Tuhan, kenapa negeri ini mesti dikelola oleh orang-orang tolol seperti laki-laki tua berperut tambun ?
"Jika hanya mengawasi, kenapa pemerintah tidak memberdayakan preman pasar, pengangguran saja?" jawabku. "Jelas itu lebih berguna dan aman. Ada kecurangan, tinggal hantam."
Laki-laki tua berperut tambun naik pitam, "Apa maksudmu? Kau sudah dibayar mengawasi."
"Di bayar? mana? Aku belum menerima uang sepeser-pun." Intonasiku sudah sedikit meninggi. "Lantas, apa memang salahnya anak ini? Yaa… memang Ia mempunyai bocoran tapi, Ia sudah dapat ganjaran."
Suasana di ruangan semakin panas, anatara aku dengan laki-laki tua berperut tambun yang kemudian aku tahu namaya: Rasyidun Gofur.
"Dia mencontek. Dia melanggar aturan. Dan dia tidak lulus ujian." kanya Gofur sambil menunjuk-nunjuk Gilang, seorang siswa yang sedang aku bela.
"Mencontek? Dasar bodoh" Aku semakin tidak terkontrol. Berdiri dengan menggebrak meja. "Dia tidak mencontek. Paham?"
"Kau ini sarjana bodoh, yah" Gofur ikut tidak terkontrol. "Jelas-jelas dia mencontek."
Ibu Gilang sambil mengusap tanganku untuk tetap bersabar dan menangis memeluk Gilang yang dari tadi tetunduk. Aku yakin, Ia-pun sedang menangis ditunduknya.
"Bapak Gofur yang memiliki jabatan" kataku, "Mencontek itu melihat pekerjaan temannya yang sama-sama sedang ujian. Sedangkan yang Ia lakukan adalah melihat bocoran. Melihat bocoran bukanlah mencontek." Jilbab yang aku pakai sampai kendor ke sana-ke mari.
"Jika bapak mem-black list nama Gilang, artinya bapak juga telah mencoreng pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan Gilang juga adalah ulah oknum Dinas Pendidikan." apa yang aku lakukan di dalam ruangan, persis seperti orang berorasi di depan Gedung Kemerdekaan. "Tuduhan bapak tidak diterima. Dan saya, sebagai Tim Pengawas Independen telah menghukumnya."
*** Empat tahun berikutnya ***
Ada sebuah undangan tergeletak di depan pintu rumahku. Undangan pernikahan Gilang, seorang siswa yang dulu pernah aku hukum mengerjakan Ujian di mejaku. Gilang masih mengingatku, bagiku, itu sudah terlampau cukup membuatku bahagia.
Aku dan Suamiku datang ke pesta pernikahannya. Sungguh meriah, Aku bertemu beberapa guru di sekolah tempat aku mengawas. Dan, Gilang, ternyata melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi sambil berdagang. Ia bertemu jodohnya di bangku kuliah. Kini, Ia telah menjadi orang sukses dan banyak terlibat di Lembaga Sosial untuk mensejahterakan pendidikan.
Dalam setiap butir tangis anak-anak sekolah yang pernah dilecehkan oleh oknum-oknum pejabat pendidikan, terbersit do'a. Air mata itu ditadahi malaikat dan diberikan ke Tuhan. Selebihnya, adalah urusan Tuhan.
Kali ini, tugasku bukan lagi pemenuh rumah saja tapi menjadi Pengawas Ujian Nasional. Sungguh tugas yang berat. Di Indonesia, pengawas hanya sebuah identitas dan independen adalah slogan yang disepaki oleh semua. Bertugas di sebuah sekolah tingkat atas yang tidak tahu 'apakah masih terlacak GPS?'. Aku sempat iseng mencari di googleMap dan tidak ada. Jawaban yang sama saat orang ingin meminjam uang.
Angkutan umum yang terlihat hanya dipenuhi belanjaan warung, sayur-mayur, dan karyawati para mucikari. Aku menunggu angkutan umum yang sekiranya aman, karena ini masih pagi, karena masih banyak laki-laki hidung belang yang berkeliaran. Dan ingat, ini pagi buta. Ayam saja yang selalu bangun pagi tidak melihat, lalu jika ada apa-apa dengan diriku, mesti teriak minta tolong ke siapa?
***
Perjalanan aman, aku sudah sampai di tujuan dengan tidak ada sama sekali gangguan. Di sekolah, sudah ada beberapa guru yang menyambutku dengan ramah --lebih tepatnya berlebihan-- bak dokter umum yang siap membuka klinik di kampung. Aku tidak tahu mesti bersikap apa, ini masih pagi buta. Tugasku ke sini adalah mengawasi kalian yang menyelenggarakan ujian. Tidak lebih.
Ternyata di daerah tempatku mengawas sama sekali tidak ada yang bisa selesai kuliah. Guru-guru sekolah saja hanya lulusan Sekolah Rakyat. Kepala Sekolah saja hanya lulus sampai SMP. Di sini, mereka diminta mengajar oleh Bupati setempat. Tenaga pengajar yang dibuatkan standar oleh pemerintah pusat terlalu tinggi, terlalu membuat daerah ini bermimpi bisa maju oleh orang-orang bernama panjang oleh gelar. Gelar yang kita tidak tahu bisa didapat dengan cara seperti apa, dimana, dan bagaimana. Bukan urusanku, tapi aku cukup prihatin.
Tiga orang yang ditugaskan untuk mengambil soal di salah satu Rayon yang cukup jauh sudah berangkat. Mestinya aku ikut ke sana, tapi aku baru saja tiba dan istirahat sejenak. Akhirnya aku buatkan memo untuk beberapa guru untuk mengambil soal ke sana. Aku masuk ke ruang Kepala Sekolah, sebenarnya tidak ada bedanya dengan ruang guru, karena masih di satu ruang dan hanya dipisahkan papan sebagai penyekat. Berbincang banyak hal tentang keadaan sekolah. Miris. Mana mungkin satu guru dibebani tugas untuk mengajar empat mata pelajaran. Padahal, di Kota, banyak guru (mungkin lebih baik aku menyebutnya: Pengajar) yang satu minggu hanya kebagian tiga kali mengajar, sisanya mereka hanya absen. Pemerataan adalah akal-akalan orang metropolitan.
Aku bertanya kesiapan untuk Ujian Nasional dan Kepala Sekolah hanya bisa pasrah. Pemerintah sudah seperti Tuhan, orang-orang yang bergantung dengannya dibuat tak berdaya. Pelecehan terhadap dunia pendidikan. Indonesia mestinya tidak seperti sekarang, Indonesia mestinya sudah siap melihat masa depan.
Apa yang mesti aku lakukan? Jika membiarkan mereka nanti nyontek saat ujian, maka aku tak bedanya dengan makhluk kuasa yang Ia anggap dirinya manusia. Padahal lebih cocok disebut Landak.
***
Setengah jam lagi ujian akan dimulai. Aku beserta pengawas kelas dan panitia pelaksana dari sekolah melakukan briefing. Seperti bekal yang aku bawa ke sini sebagai pengawas, maka aku terap juga. Seperti tata tertib ujian, dan lain-lain yang tidak tetulis.
Aku melihat wajah-wajah peserta ujian yang tegang atau lebih tepatnya takut saat waktu hampir menunjukan pukul tujuh. Aku menghampiri seorang sisiwi yang duduk bersimpuh dibawah jendela yang hampir copot dan bisa membahayakan dirinya.
"Sudah siap, kan?" tanyaku seramah mungkin agar tidak semakin membuatnya takut.
"Tenang, kamu pasti bisa mengerjakannya." lanjutku.
Suara velg mobil yang ternyata adalah bel yang digantungkan di pohon mangga dipukul tanda peserta ujian masuk kelas. Suara itu seperti suara terompet tanda kiamat. Siswa berbaris dengan wajah pucat. Pemandangan pendidikan macam apa ini? Tidak ada keriangan yang mencuat, hanya ketakutan yang membuat mereka seakan tidak kuat.
Aku berkeliling setiap ruangan yang hanya ada delapan. Memantau satu demi satu agar tidak ada yang kacau. Walau jujur, dulu aku mendapatkan bocoran selama ujian. Tapi, apa mereka juga dapat?
Ujian berlangsung, suasana sekolah mendadak sepi seperti tak ada pengunjung. Aku memainkan velg mobil yang dijadikan lonceng, dengan sangat pelan tentunya. Di sini aku kesepian, berkeliling ruangan-pun tak bertujuan. Di mushola yang lebih tepat disebut gudang penyimpanan beras, aku lihat ada guru yang sedang berdo'a, ada juga, sih, yang malah tidur. Mungkin guru yang tidur ini sudah percaya atas apa yang Ia lakukan selama ini ke setiap muridnya. Jadi, tidak perlu lagi takut.
Di ruangan lima ada sedikit keributan. Aku lekas menghmapirinya. Ada siswa yang ketauan nyontek. Ia membawa kertas bocoran. Darimana Ia dapatkan?
suasana ruang lima menjadi gaduh karena ulah salah seorang siswa yang malah ketuan mencontek. Laki-laki yang sedikit lusuh ini hanya tertunduk dan menangis di ruang Kepala Sekolah. Aku, pengawas kelas, dan panitia pelaksana berdiskusi untuk tidak membuat keributan semakin memanjang. Pelaksanaan Ujian dilanjutkan.
Laki-laki itu masih saja menangis dan sampai sesegukan, aku ambilkan Ia teh manis untuknya. Mencoba untuk menenangkan. Aku tahu apa yang Ia pikirkan, merasa masa depannya telah hancur karena tidak lulus Ujian Nasional. Banyak cemoohan pasti yang akan Ia terima, dari tetangga, dari teman-teman sebaya, dari orang-orang yang tega membunuh jiwa dan harapan anak ini.
"Dapat darimana bocoran jawaban?" Ah, aku merasa sudah melemparkan pertanyaan bodoh.
Dia masih diam tidak menjawab. Menggenggam cangkir sudah seperti ingin Ia tekan dan dipecahkan.
"Yasudah, biar nanti coba aku urus, yah. Kamu tenang aja." Ucapku sambil mengusap punggungnya.
Kita semua sepakat untuk tidak membawanya ke Dinas Pendidikan. Dengan catatan, Ia tidak bisa ikut Ujian bersama-sama temannya di ruangan. Tapi di sini, di meja Pengawan Ujian.
***
Ternyata, kasus ini bocor ke Dinas Pendidikan. Ah, dasar dunia pendidikan, bocornya dimana-mana. Coba sekali-kali kau bocori oknum yang suka membuat anggaran pendidikan ini bocor, berani tidak?
Aku dan anak laki-laki itu yang didampingi Kepala Sekolah dan Wali murid tentunya dipanggil ke Dinas Pendidikan. Mungkin kita akan disidang. Aku sudah siap dengan segala keputusan yang akan dijatuhkan kepadaku. Karena aku tahu, adil di Indonesia hanya mitos belaka.
Dengan menggunakan jilbab merah, tanda aku sudah siap untuk bertahan atas semua tuduhan. Atas semua pernyataan konyol yang mengedepankan aturan. Atas tindakan bodoh mereka memanggilku untuk melihat anak laki-laki ini dibilang: Bersalah.
Dihadapan laki-laki tambun, nyaliku tidak akan menciut ke dubun.
"Kamu, sebagai pengawan Independen kenapa malah menyembunyikan kasus ini?" katanya seakan Ia ini hakim.
Kadang aku juga jadi ikut bodoh, apa urusan mereka menghakimi aku. Kalau ini soal aturan, biarkan dibawa ke pengadilan. Mungkin mereka sesekali ingin berurusan dengan wanita cantik. "Aku tidak menyembunyikan, tapi menyelesaikan kasusu ini." Kataku dengan lantang.
"Bukan kewajibanmu menyelesaikan kasus seperti ini. Tugasmu mengawasi ujian."
Tuhan, kenapa negeri ini mesti dikelola oleh orang-orang tolol seperti laki-laki tua berperut tambun ?
"Jika hanya mengawasi, kenapa pemerintah tidak memberdayakan preman pasar, pengangguran saja?" jawabku. "Jelas itu lebih berguna dan aman. Ada kecurangan, tinggal hantam."
Laki-laki tua berperut tambun naik pitam, "Apa maksudmu? Kau sudah dibayar mengawasi."
"Di bayar? mana? Aku belum menerima uang sepeser-pun." Intonasiku sudah sedikit meninggi. "Lantas, apa memang salahnya anak ini? Yaa… memang Ia mempunyai bocoran tapi, Ia sudah dapat ganjaran."
Suasana di ruangan semakin panas, anatara aku dengan laki-laki tua berperut tambun yang kemudian aku tahu namaya: Rasyidun Gofur.
"Dia mencontek. Dia melanggar aturan. Dan dia tidak lulus ujian." kanya Gofur sambil menunjuk-nunjuk Gilang, seorang siswa yang sedang aku bela.
"Mencontek? Dasar bodoh" Aku semakin tidak terkontrol. Berdiri dengan menggebrak meja. "Dia tidak mencontek. Paham?"
"Kau ini sarjana bodoh, yah" Gofur ikut tidak terkontrol. "Jelas-jelas dia mencontek."
Ibu Gilang sambil mengusap tanganku untuk tetap bersabar dan menangis memeluk Gilang yang dari tadi tetunduk. Aku yakin, Ia-pun sedang menangis ditunduknya.
"Bapak Gofur yang memiliki jabatan" kataku, "Mencontek itu melihat pekerjaan temannya yang sama-sama sedang ujian. Sedangkan yang Ia lakukan adalah melihat bocoran. Melihat bocoran bukanlah mencontek." Jilbab yang aku pakai sampai kendor ke sana-ke mari.
"Jika bapak mem-black list nama Gilang, artinya bapak juga telah mencoreng pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan Gilang juga adalah ulah oknum Dinas Pendidikan." apa yang aku lakukan di dalam ruangan, persis seperti orang berorasi di depan Gedung Kemerdekaan. "Tuduhan bapak tidak diterima. Dan saya, sebagai Tim Pengawas Independen telah menghukumnya."
*** Empat tahun berikutnya ***
Ada sebuah undangan tergeletak di depan pintu rumahku. Undangan pernikahan Gilang, seorang siswa yang dulu pernah aku hukum mengerjakan Ujian di mejaku. Gilang masih mengingatku, bagiku, itu sudah terlampau cukup membuatku bahagia.
Aku dan Suamiku datang ke pesta pernikahannya. Sungguh meriah, Aku bertemu beberapa guru di sekolah tempat aku mengawas. Dan, Gilang, ternyata melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi sambil berdagang. Ia bertemu jodohnya di bangku kuliah. Kini, Ia telah menjadi orang sukses dan banyak terlibat di Lembaga Sosial untuk mensejahterakan pendidikan.
Dalam setiap butir tangis anak-anak sekolah yang pernah dilecehkan oleh oknum-oknum pejabat pendidikan, terbersit do'a. Air mata itu ditadahi malaikat dan diberikan ke Tuhan. Selebihnya, adalah urusan Tuhan.
Tag :
cosmic g-spot,
Oh... kekasih Kau Cantik
By : Harry RamdhaniCerpen ini gue buat dari beberapa tweet, 'Oh… Kekasih'. Jadi
gue cuma bikin bridging berbentuk narasi. Rada maksa, sih, tapi gapapa
karena ini karya saya. Sila baca:
Ohh… Kekasih Kau Cantik
Di sebuah ruangan, aku melihatmu duduk termenung sambil memaninkan gadget pemberian orangtua-mu. Bukannya aku ingin menyindirmu, tapi memang kau ini gadis manja, yang (mungkin) dilahirkan bukan untuk bekerja. Tapi, cukup diam di rumah tanpa perlu melakukan apa-apa, semua sudah ada. Kali ini, aku sedikit bingung, apa yg membuatmu termenung di sana? Mungkinkah orangtua tidak dapat memenuhi keinginanmu, aku rasa tidak. Namun, ada apa?
Setelah aku memberanikan diri untuk mendekati --karena aku tahu, pantang seorang laki-laki mendekati wanita saat bersedih, bisa-bisa jadi kambing hitam--, kau tertunduk dan meneteskan air mata di bangku tempat kau duduk
apa yang kau lakukan, kekasih? tampak sibuk dengan meneteskan airmata. "menghapus nama oranglain dari bio." ucapmu sendu.
ahh, aku tidak bisa berbuat apa-apa, sedih memang baru putus dengan orang yang kita sayangi. Tapi, apa boleh buat, kini Tuhan telah berbuat. Dalam hati aku berpikir, 'laki-laki bodoh seperti apa yang tega meninggalkan wanita cantik nan-manja. Dasar bodoh'.
tenang, tak usah risau, kekasih, akan tiba waktunya, saat aku berhenti mendekatimu, lalu menjadi pasanganmu.
Oia, sejak kenal, aku sering memanggilmu: Kekasih. Padahal aku bukan bagian dari dirimu yang perlu kau kasihi, tapi aku hanya suka memanggilmu dengan sebutan seperti itu. Aku pikir, kau pantas dapat panggilan 'kekasih' karena aku tahu, kau dibesarkan dengan uang, bukan kasih sayang.
Atas segala kerendahan hati, sedikit bernawas diri, kekasih, aku tetap pengagummu.
Untuk keadaan seperti ini, banyak yang aku tidak mengerti darimu, dari semua hal tentang dirimu. Di sini kita kuliah, di sini kita belajar untuk tidak sering membuat ulah dan di sini kewajiban kita mendapatkan nilai. Nilai yang oranglain anggap penting. Bagiku: Tidak. Namun, dalam keadaan seperti ini aku memang tidak paham. Aku cuma seorang yang sering menggodamu.
kau memang terpelajar, kekasih, tapi tidak perlu semua kau mengerti. karena tidak semua ada di soal UAS.
Bisa berdua denganmu di satu ruangan memang sudah biasa, tapi berdua denganmu di satu ruangan dalam kondisi sekarang memang suatu kebahagiaan. Bisa di sampingmu saat kau bersedih.
asap mengepul se-isi ruangan, kekasih, kau penuhi keindahan.
Keindahan karena kecantikanmu, keindahan oleh kehadiran perasaan yang sampai sekarang aku pendam. Jantungku berdetak tak karuan, apakah ini akibat kita berduaan di satu ruangan? Mungkinkan ini Cinta.
ingat, kekasih, aku suka angka ganjil. di sana selalu ada angka penengah. aku menyebutnya: Cinta
Aku memberikanmu sapu tangan untuk kau gunakan menghapus air mata yang masih tergenang di wajah dan sedikit merusak pemandangan. Tapi, tetap saja, kau memang terlapau cantik.
bunga, tumbuh mekar secara alami, kekasih, kecantikanmu juga. dengan sendirinya memalingkan duniaku.
Kau terus mengucapkan terima kasih atas kebaikanku. Ya, bagimu, memberikan sapu tangan untuk menghapus air mata di wajahmu adalah perbuatan baik. Aku hanya bingung, sebenarnya itu tidak berguna, kau tetap cantik. Aku tidak baik, karena beginilah keseharianku, begitulah guru-guruku dulu mengajarkan.
berhenti mendo'a-kan yg baik-baik, kekasih, jika Tuhan dengar, aku berat menjalani.
Aku hanya bisa mengingat kejadian-kejadian yang telah kita lakukan bersama. Dulu. Kau sering mengerjaiku untuk ke bioskop bersama. Karena hujan, aku berteduh di Halte. Karena ini adalah janji, aku tetap menunggumu di sana sampai kehadiramu tiba. Walau cukup lama, aku tetap di sana. Dengan mudahnya kau membatalkan karena sengaja ingin mengerjaiku. Aku tidak sakit hati, karena kau bahagia, karena kau semakin cantik bila tertawa.
seperti yg sudah kau tahu, kekasih, aku menunggumu di Halte saat hujan. saat kita gagal kencan.
Tidak hanya itu, aku sering dimintamu menunggu di rumahmu, di ruang tamu dengan begitu banyak suguhan pembantu. Kau lama tak kunjung keluar kamar, ketika aku tanya kenapa bisa lama, jawabmu singkat: pakai baju apa, yah?
saat kau terdiam di depan meja rias penuh lampu, kekasih, tak ada yg dilakukan, kau sudah cantik.
Aku ungkapkan perasaan yang sedari dulu aku simpan. Kau anggap itu hanya guyonan. Kau malah tertawa tak tertahan.
kekasih, masih juga belum percaya semua kata-kataku. tak apa. setidaknya ada yg aku percaya: kau cantik setiap hari.
Kita berdua keluar ruangan seperti tidak pernah terjadi apa-apa, seperti kejadian di dalam hanyalah mimpi. Aku padamu, kekasih.
Ohh… Kekasih Kau Cantik
Di sebuah ruangan, aku melihatmu duduk termenung sambil memaninkan gadget pemberian orangtua-mu. Bukannya aku ingin menyindirmu, tapi memang kau ini gadis manja, yang (mungkin) dilahirkan bukan untuk bekerja. Tapi, cukup diam di rumah tanpa perlu melakukan apa-apa, semua sudah ada. Kali ini, aku sedikit bingung, apa yg membuatmu termenung di sana? Mungkinkah orangtua tidak dapat memenuhi keinginanmu, aku rasa tidak. Namun, ada apa?
Setelah aku memberanikan diri untuk mendekati --karena aku tahu, pantang seorang laki-laki mendekati wanita saat bersedih, bisa-bisa jadi kambing hitam--, kau tertunduk dan meneteskan air mata di bangku tempat kau duduk
apa yang kau lakukan, kekasih? tampak sibuk dengan meneteskan airmata. "menghapus nama oranglain dari bio." ucapmu sendu.
ahh, aku tidak bisa berbuat apa-apa, sedih memang baru putus dengan orang yang kita sayangi. Tapi, apa boleh buat, kini Tuhan telah berbuat. Dalam hati aku berpikir, 'laki-laki bodoh seperti apa yang tega meninggalkan wanita cantik nan-manja. Dasar bodoh'.
tenang, tak usah risau, kekasih, akan tiba waktunya, saat aku berhenti mendekatimu, lalu menjadi pasanganmu.
Oia, sejak kenal, aku sering memanggilmu: Kekasih. Padahal aku bukan bagian dari dirimu yang perlu kau kasihi, tapi aku hanya suka memanggilmu dengan sebutan seperti itu. Aku pikir, kau pantas dapat panggilan 'kekasih' karena aku tahu, kau dibesarkan dengan uang, bukan kasih sayang.
Atas segala kerendahan hati, sedikit bernawas diri, kekasih, aku tetap pengagummu.
Untuk keadaan seperti ini, banyak yang aku tidak mengerti darimu, dari semua hal tentang dirimu. Di sini kita kuliah, di sini kita belajar untuk tidak sering membuat ulah dan di sini kewajiban kita mendapatkan nilai. Nilai yang oranglain anggap penting. Bagiku: Tidak. Namun, dalam keadaan seperti ini aku memang tidak paham. Aku cuma seorang yang sering menggodamu.
kau memang terpelajar, kekasih, tapi tidak perlu semua kau mengerti. karena tidak semua ada di soal UAS.
Bisa berdua denganmu di satu ruangan memang sudah biasa, tapi berdua denganmu di satu ruangan dalam kondisi sekarang memang suatu kebahagiaan. Bisa di sampingmu saat kau bersedih.
asap mengepul se-isi ruangan, kekasih, kau penuhi keindahan.
Keindahan karena kecantikanmu, keindahan oleh kehadiran perasaan yang sampai sekarang aku pendam. Jantungku berdetak tak karuan, apakah ini akibat kita berduaan di satu ruangan? Mungkinkan ini Cinta.
ingat, kekasih, aku suka angka ganjil. di sana selalu ada angka penengah. aku menyebutnya: Cinta
Aku memberikanmu sapu tangan untuk kau gunakan menghapus air mata yang masih tergenang di wajah dan sedikit merusak pemandangan. Tapi, tetap saja, kau memang terlapau cantik.
bunga, tumbuh mekar secara alami, kekasih, kecantikanmu juga. dengan sendirinya memalingkan duniaku.
Kau terus mengucapkan terima kasih atas kebaikanku. Ya, bagimu, memberikan sapu tangan untuk menghapus air mata di wajahmu adalah perbuatan baik. Aku hanya bingung, sebenarnya itu tidak berguna, kau tetap cantik. Aku tidak baik, karena beginilah keseharianku, begitulah guru-guruku dulu mengajarkan.
berhenti mendo'a-kan yg baik-baik, kekasih, jika Tuhan dengar, aku berat menjalani.
Aku hanya bisa mengingat kejadian-kejadian yang telah kita lakukan bersama. Dulu. Kau sering mengerjaiku untuk ke bioskop bersama. Karena hujan, aku berteduh di Halte. Karena ini adalah janji, aku tetap menunggumu di sana sampai kehadiramu tiba. Walau cukup lama, aku tetap di sana. Dengan mudahnya kau membatalkan karena sengaja ingin mengerjaiku. Aku tidak sakit hati, karena kau bahagia, karena kau semakin cantik bila tertawa.
seperti yg sudah kau tahu, kekasih, aku menunggumu di Halte saat hujan. saat kita gagal kencan.
Tidak hanya itu, aku sering dimintamu menunggu di rumahmu, di ruang tamu dengan begitu banyak suguhan pembantu. Kau lama tak kunjung keluar kamar, ketika aku tanya kenapa bisa lama, jawabmu singkat: pakai baju apa, yah?
saat kau terdiam di depan meja rias penuh lampu, kekasih, tak ada yg dilakukan, kau sudah cantik.
Aku ungkapkan perasaan yang sedari dulu aku simpan. Kau anggap itu hanya guyonan. Kau malah tertawa tak tertahan.
kekasih, masih juga belum percaya semua kata-kataku. tak apa. setidaknya ada yg aku percaya: kau cantik setiap hari.
Kita berdua keluar ruangan seperti tidak pernah terjadi apa-apa, seperti kejadian di dalam hanyalah mimpi. Aku padamu, kekasih.
Tag :
cosmic g-spot,