Archive for 2015
Menyurati Kamu Mengabari Rindu #11
By : Harry Ramdhani1/
Ini bukan soal perasaan, Sayang. Ini perihal saya yang sering sekali kamu bohongi, sambil seperti memasang tampang keledai, anehnya saya pun sedikit demi sedikit jadi menikmati. Ibarat racun, kamu bisa meraciknya dengan dosis yang tepat.
2/
Tapi ini tentu tidak bisa dijadikan barometer. Sebab saya hanya mengkalkulasikannya dari apa yang saya lihat di sekitar saja. Dan ini fakta!
Ketika perempuan tidak bisa lagi diumpan cinta, maka laki-laki, entah dengan cara yang seperti apa, mereka bersekutu: jika tidak lagi kenyang oleh cinta, beri saja perempuan janji. Janji itu bisa dibuat semanis madu, atau sepahit jamu.
3/
Di sebuah kitab usang yang baru-baru ini saya baca, Sayang, di sana tertulis: racun tak mati oleh racun* –juga oleh madu. Tak perlu kamu tanya di mana saya temukan kitab itu, kamu pun saya pikir sudah tahu, ketika saya sedang membereskan buku-buku yang menumpuk di perpustakaan, kitab itu terselip di antaranya. Sampulnya kuning dan kertasnya pun telah menguning. Kitab yang cukup berumur. Saya pisahkan dan debu-debu yang menempel saya bersihkan.
Racun baik membuat cinta menjadi rindu. Racun jahat membuat cinta tak ubahnya nafsu. Lebih kurang, begitu kata kitab itu.
4/
Entah sudah berapa purnama kita tidak bertemu? Tapi sepertinya, seingat saya belum sekalipun. Apa benar, Sayang? Sayang, rindu memang mempercepat jalan menuju kamu, tapi nampaknya saya mesti mampir ke Rumah Sakit Jiwa dulu. Bila itu perlu, tak apa. Akan saya tempuh demi kamu.
5/
Masuk tengah malam, jam di ruang tamu mulai bernyanyi. Dalam sepuluh menit, akan berbunyi tiap dua menit sekali. Seperti biasa, selang lima menit setelahnya nyanyian di ruang tamu itu akan ada tukang pijit tuna netra keliling, lalu disusul hansip yang mengikutinya dari belakang. Maklum, akhir-akhir ini banyak rumah kemalingan. Dan hansip menduga tukang pijit itu pura-pura buta, ia merangkap maling juga.
Saya pejamkan mata –dalam keadaan sadar tentunya– sambil sesekali mengintip sekitar kamar. Dingin. Tiba-tiba dingin seketika seluruh kamar saya. Saya bangkit dari ranjang, lalu terkejut: seluruh benda di kamar mengeluarkan air. Saya cicip, asin rasanya. Itu air mata!
6/
Tak adakah yang kamu takutkan dari malam? Gelap. Sunyi. Sepi. Juga lain-lain yang kini sudah kamu anggap teman.
Rindu bisa pelan-pelan menggerogoti isi kepala saya meski aslinya memang tak ada apa-apa. Rindu juga bisa pelan-pelan menghantui saya kalau suatu malam saya melihat orang-orang berciuman. Seperti dulu, Sayang. Terakhir, rindu akan pelan-pelan membuat tutul air mata di pipi saya.
7/
Sayang, apa cinta bisa dihapus? Meski sekedar nama, tentunya. Bukankah yang-lalu-sekalipun, dari cinta ialah kenangan? Dan kenangan, setahu saya, muskil hilang.
8/
Embun terbuat dari air mata, "yang dingin itu keluar dari pemilik air mata yang sedang senang hidupnya, tapi tidak pernah lupa bersyukur. Air mata bahagia,
Masih ada embun-embun yang lain, yang tidak mungkin diceritakan satu persatu. Kau tak akan bisa ingat nama dan dari mana asalnya, karena saking banyaknya. Namun jika kau ingin tahu sekilas, dekatkan saja kupingmu ke cawan-cawan yang digunakan untuk menimbun embun. Lalu dengarkan kisahnya tentang bagaimana embun itu tercipta,”
9/
Semula kita hanya hujan yang tak saling kenal. Tanah yang kering dan retak itu, Sayang, adalah tempat yang barangkali tak mungkin kita lupakan dan sesalkan. Kamu hujan yang malu-malu, seda saya hujan yang pendiam. Kamu ingat, di tanah itu, kita hanya saling tatap-tatapan, tapi yang membuat saya tiba-tiba terpikat adalah matamu yang rasa-rasanya selalu ingin saya susuri dalamnya. Entah seberapa lama, entah sesabar apa saya.
Kita adalah sepasang hujan yang berjauhan tapi, masih sering mengabarkan. Saya menyurati kamu, kamu mengabari rindu. Saya mengabari rindu, kamu menyurati masa lalu. Rindu menyurati masa lalu, masa lalu mengabari kamu.
10/
Hari-hari saya kini hanya diisi menulis puisi. Sebab tak ada cara terbaik merawat ingatan dan menunggalkan kamu seorang dalam kenangan; selain itu –tentu sambil minum kopi. Puisi-puisi itu tidak saya kirim ke media cetak atau saya unggah ke media daring supaya dibaca banyak orang. Tidak! Saya sebatas membuatnya dan menempelkannya di kamar. Selama masih ada tempat kosong, di situ saya buka pintu rindu lebar-lebar.
Kamu janji akan kembali pada musim hujan tahun depan. Namun ini sudah lewat banyak, Sayang. Menunggu adalah salah satu bentuk tawadhu’. Akan saya lakukan selama itu masih di jalan kebaikan.
Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundak. Adalah Joko Pinurbo yang berdiri, “pintar-pintarlah membuat luka, darah penyair itu anyir.”
11/
Kita bertemu. Rindu cemburu. Tak ada lagi surat untuknya, dari saya, juga kamu.
Perpustakaan Teras Baca, 31-08-2015 | ilustrasi
Tag :
Prosa,
Sepasang Sandal di Tempat Wudhu yang Hilang
By : Harry Ramdhanibukankah kita pernah sepakat,
setelah reinkarnasi nanti
: menjadi sepasang sandal di tempat wudhu
yang dipakai orang-orang untuk membersihkan noda
juga luka.
kita juga pernah sepakat,
setelah reinkarnasi nanti
: meninggalkan keruwetan masa silam --
yang melulu tentang kesedihan.
biarlah air-air suci itu yang perlahan meluluhkan.
kelak, percayalah!
setelah reinkasrnasi nanti
: kita menjadi sepasang sandal yang dikerubuti
orang-orang. dan kamu hilang, setelahnya.
tapi saya tahu mensti ke mana mencari
kamu.
Perpustakaan Teras Baca, 2015 | ilustrasi
Tag :
Prosa,
Ice Cream dan Ciuman yang Melelehkan
By : Harry Ramdhanikita selalu punya cara yang sama
ketika memakan ice cream:
dibiarkannya menempel di sekitar bibir
dan
masing-masing dari kita membersihkannya.
kadang dijilat.
kadang dilumat.
tapi yang selalu diingat:
akan ada yang diam-diam
mencuri sebuah ciuman.
namun,
meski ini teramat jarang,
kita saling suka menyalahkan
; siapa yang memulainya terlebih dulu.
barangkali sudah terkumpul ratusan gagang
ice cream.
atau, lebih? entahlah.
sebab yang kita hanya tahu dari
ice cream
itu manis yang sebenarnya.
manis yang kekal.
walau sebatas dikenang di khayal.
Perpustakaan Teras Baca, 2015 | ilustrasi
Tag :
Prosa,
Tentang Hal-hal yang Pantas Dirindu di Panggung Open Mic
By : Harry Ramdhani
Apa yang cepat terlintas dalam pikirkanmu
ketika pertama kali datang ke satu tempat makan pecel ayam yang barangkali
sudah menjadi incaranmu sejak lama, lalu pada suatu malam saat lebaran perutmu
sudah tak sanggup menerima ketupat dan sejenis pertemannya itu, dan ketika kamu
keluar rumah seperti berada dalam sajak Sitor Situmorang Malam Lebaran –kecuali pecel ayam
incaranmu– sedangkan perutmu butuh diisi demi melanjutkan sejarah keberadaban
manusia di muka bumi, kemudian kamu pura-pura malu masuk tempat pecel ayam itu,
memesannya, setelahnya kamu hanya disuguhkan sepotong ayam bagian dada yang
garingnya amat kriuk itu, seketika juga pas dimakan tak sesuai harapan?
Jika itu terjadi pada saya, maka saya akan
mengumpat: “kalau sekedar garing, mending datang ke open mic. Di sana saya bisa
dapat hal serupa, bahkan dengan porsi yang jauh lebih banyak.”
Tak ada yang lebih garing dari panggung open
mic. Sungguh. Coba saja tanya Komika yang hampir setiap bulannya mencoba open
mic barang dua atau tiga kali. Atau penonton setia open mic yang hanya datang
demi melihat Komika idolanya menguji materi. Pasti yang kamu dapat akan sama,
seperti saat kamu makan di tempat pecel ayam tadi.
Namun, dari semua itu pula, panggung open mic
memang pantas dirindukan.
Kamu tidak akan bisa melihat seorang komikatiba-tiba
lupa materi saat sedang seriusnya memaparkan set-up. Reaksinya yang tak terkontrol, bahkan ada yang malah
tertawa sendiri seperti Dzawin, melongok kanan-kiri mencari petunjuk seperti
Bakriyadi.
Hanya di open mic kamu bisa temukan suasana
hening ketika tiga sampai empat komika, secara berurutan nge-boom. Penonton
yang semula memperhatikan Komika malah alih perhatian ke makanan yang ada di
mejanya. Kadang makanan sisanya diambil gambarnya untuk dipamerkan di akun
sosial medianya, kadang ada juga yang masih menggali minumannya yang telah
habis sampai menimbulkan bunyi gaduh sendiri.
Entah seberapa sering kamu melihat Komika yang
selesai open mic dimintai foto bareng, tapi selang berapa lama, yang meminta
foto itu malah tidak kenal oleh Komika barusan. Biasanya dalam kasus seperti
ini Komika tersebut sangat lucu daripada Komika lainnya, atau Komika tersebut
paling ganteng (maksudnya fotogenic).
Open mic memang sering menuntut rindu. Jumlah
penontonnya yang tak bisa diperhitungkan di tiap minggunya, Komika mana yang
sedang bagus, antrian Komika yang daftar untuk menguji materi di meja admin,
dll., dst., dsb.
Barangkali kesalnya menonton open mic adalah
puncaknya. Bayangkan saja, ketika kamu sudah mengajak teman atau lawan PDKT-an
untuk menonton open mic ternyata yang diajak malah memasang muka bete. Tapi
ketika mengantarnya pulanglah saat yang ditunggu: giliran kamu yang
menghiburnya sampai temanmu itu ceria seperti biasa. Ini bisa dijadikan siasat
caper paling maksimal dengan mengkambing hitamkan open mic demi mendapat hati
pujaan juga pujian.
Barangkali juga, dengan menonton open mic,
kita bisa belajar dari kepunahan dinosaurus yang mungkin karena bosan mengajak
pasangannya menonton film di bioskop.
Perpustakaan Teras Baca, 2015 | Keterangan Gambar: Panggung open mic di bullwing [sumber: @StandUpIndo_BGR twitpict]
Tag :
Stand-up Comedy,
Sekarang Malam Sepi Menari
By : Harry Ramdhanisekarang malam
sepi menari. satu-satu ditanggalkan
yang ia kenakan:
duka,
luka,
air mata,
dan segala mahapedih yang dipunya!
malam kemarin
sunyi menyanyi. kamu menari
di hajat mantan
yang nikah duluan.
kemarin lusa
mantan ajak kamu
ke taman dan katanya:
aku mohon, culiklah aku!
malam minggu
setelahnya. sunyi menyanyi
kamu menari dan menangisi
kebahagiaan tak rampung dimiliki.
kamis malam
pertama. sepi menari
mantanmu ejakulasi dini...
Di kereta, 9 April 2015
Tag :
Prosa,
Kamu, Kopi, dan Hal-hal yang Tak Perlu
By : Harry Ramdhanibuat L
Yang,
kopinya tak perlu terlalu.
supaya semua tahu
betapa saya butuh kamu
di secangkir kopi
ini.
Tag :
Prosa,
Almari
By : Harry Ramdhani
Saya sudah seperti almari bagi Monic. Segala hal
tentangnya saya tahu, sebab ia sendiri yang menceritakannya. Dengan atau
tanpa saya minta. Dari ceritanya saya tahu siapa-siapa saja laki-laki
yang mendekatinya. Modus dan gombalan seperti apa yang dilakukan mereka.
Saya tahu kapan Monic memberikan ciuman pertamanya, dengan siapa dan di
mana. Sungguh menggelikan jika membayangkannya. Saya juga tahu semua
kesedihan Monic hari ini, kemarin, minggu lalu, dan beberapa bulan lalu. Bagi Monic, saya adalah almari; tempat ia menyimpan dengan rapih semua semua cerita-ceritanya.
Monic cantik. Sangat. Kalau kalian pernah lihat
Nadia Hutagalung, maka Monic dua senti di bawahnya. Dulu saya pernah
membaca buku yang menceritakan tentang hidup perempuan yang terlanjur
dilahirkan cantik, katanya Tuhan sengaja memberi kecantikan itu pada
perempuan supaya mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mind your own bussines,
mungkin begitu maksud Tuhan. Namun, berkat Monic akhirnya saya tahu,
menjalani hidup sebagai perempuan cantik tidaklah seindah dan semudah
yang semula saya pikirkan sebelumnya.
“Malam ini bisa ketemu?” kata Monic.
Selalu seperti itu yang ia tanyakan pada saya. Dan,
pasti ada yang ingin Monic ceritakan. Tapi waktu itu hampir tengah
malam, jadi pesan itu saya biarkan. Tak sampai lima menit dari pesan
itu, Monic menelepon. Dari suaranya ia seperti habis menangis. Entah
masalah seperti apa yang bisa buatnya mengeluarkan airmata?
“Di tempat biasa?”
“Di mana saja,” jawabnya,”asal kita bisa ketemu. Aku mau cerita,”
“Hmm..., sekitar tigapuluh menit sampai sana, ya,”
“lebih cepat,” mohonnya.
Selama perjalanan saya berpikir, akhir-akhir ini
yang membuat Monic begitu gundah itu dua: pekerjaan dan percintaan.
Semestinya masalah semacam itu, pekerjaan khususnya, tidak terjadi pada
perempuan sepertinya. Saya pernah mengingatkan untuk keluar saja dari
pekerjaannya yang sekarang sebagai teller bank
swasta terbesar itu. Tapi ia tidak mau. Padahal di luar sana, menurut
saya, masih banyak sekali perusahaan antri mengantiri jasanya. Bahkan
untuk sekedar duduk dan diam di kantor saja –tanpa melakukan apa-apa.
Namun saya malah dapat cacian darinya. Saya dimaki selama-lamanya.
“Bagaimana kalau mengabdi di rumah Tuhan?”
“Tuhan gue nggak pacaran bego! Kalau dia suka gimana?”
“Lho, bukannya bos yang sekarang malah pernah menawarkan buat jadi istri keduanya?”
“Iya, sih, tapi…,”
Almari tetaplah almari. Fungsinya hanya untuk
menyimpan, bukan memberi saran. Monic sudah tiba terlebih dulu dari saya
di kedai kopi itu. Ini satu-satunya kedai kopi yang buka 24jam dan
suasananya selalu tenang. Kami suka ke sini untuk sekedar membunuh
waktu, meminum-minum kopi, dan mendengar cerita-cerita Monic yang kadang
sampai pagi. Kopinya telah dingin tapi, tetap utuh. Monic sedang
membaca buku yang baru dua bulan lalu saya pinjamkan. Perempuan akan
terlihat lebih cantik ketika
sedang membaca buku.
Malam itu kami baru bertemu kembali setelah saya
diterima kerja. Saya suka syal merah yang melingkar di lehernya. Atau
memang karena kami lama tak bertemu. Lucunya rindu itu, ia bisa
melebih-lebihkan segala yang sebenarnya biasa.
“Jadi kapan putus? Udah ada yang nunggu, nih,”
tanya saya dengan maksud menggodanya. Saya suka kalau ia tersenyum. Lalu
Monic melempar saya dengan sendok kecil.
“Barusan!”
Saya kaget! Awalnya cuma ingin bercanda tapi, malah
terjadi kejadian yang serupa. Monic mendekat ke kursi saya dan menangis
di pundak saya. Kemudian yang terlebih dulu diselamatkan adalah buku
yang digenggamnya. Itu buku langka, saya tidak mau buku itu rusak karena
kejatuhan air mata.
Dan kaget saya yang lain adalah karena dua bulan
lagi Monic menikah. Semuanya sudah ia siapkan, bahkan undangan pun
tinggal dicetak. Tapi saya pikir untuk apa Monic menangis, kalau saya
teriak siapa yang berkenan menikahi perempuan yang satu meja dengan saya
ini, barangkali aka nada banyak laki-laki yang rela bunuh-bunuhan untuk
berebut. Ah, pernikahan memang seperti politik, tidak ada yang terlebih
dulu bisa menduganya.
Monic sudah menjalani hubungan hampir tiga tahun,
sampai di antara mereka berdua sepakat melanjutkan pernikahan. Asal
kalian tahu, waktu itu saya yang mengkonsep prosesi lamaran mereka.
Dian, pasangan Monic --yang kini telah jadi mantannya, yang meminta. Saya pun ingin melihat Monic
bahagia. Setidaknya, sebagai almari saya terlihat sedikit berguna.
Hampir setiap bulan saya dan Monic suka ke toko
buku bekas di pojokan Taman Ismail Marzuki. Saya buatkan lamaran mereka
di sana. Om Gito sudah mengenal kami. Hari itu ia rela toko bukunya
dijadikan tempat lamaran. Setibanya di sana mata Monic ditutup dengan
kain hitam. Saat dibuka, satu per-satu anak-anak kecil dari taman baca
saya –yang Monic juga kenal, karena mereka adalah pembaca setia Monic
ketika berdongeng– keluar sambil
membawa satu buku yang masing-masing sampulnya itu bertuliskan satu
kata, dan bila disatukan menjadi “W-O-U-L-D Y-O-U M-E-R-R-Y M-E?”
Saya keluar membawa bunga mawar yang juga disuka
Monic dan memberikannya pada Dian. Ia berlutut di hadapan Monic dengan
tangan kanan kotak cincin dan tangan kirinya sebatang bunga mawar. Saya
lihat tangan Monic bergetar ketika ingin mengambil salah satu dari
tangan Dian. Monic menangis saat mengambil kotak cincin itu. lalu
dimintanya Dian berdiri dan dengan tubuh bergetar Monic memeluk. Om Gito keluar dengan
gitar usangnya dan memanikan lagu Leaving On The Jet Plane
dari Chantal Kreviazuk. Itu hari paling bahagia buat saya. Kemudian
Monic memberi bunga mawar itu pada saya, “aku juga sayang kamu.”
Barangkali hanya malam itu saya tidak ingin
mendengar cerita Monic tentang putusnya hubungan mereka dan menjadi
almari yang tidak berguna. Saya tidak suka melihat perempuan menangis.
Dan saya benci orang yang tega membuat perempuan menangis.
“Undangannya belum dicetak, kan?” tanya saya, “besok kita ke tempat percetakan.”
Saya buatkan origami mawar dari tisu yang
tergeletak tak berguna di meja, “anggaplah ini mawar yang dulu pernah
kau berikan. Would you marry me, Monic?”
Kedai Alania, 24 Januari 2015
Tag :
Prosa,
Yang Tiba-tiba Datang, Yang Tiba-tiba Hilang
By : Harry Ramdhani
Malam itu semestinya seperti malam-malam yang biasa: bekerja
di ruangan yang ukurannya cukup besar, menjaga –atau, mengobati kalau boleh
meminjam istilah atasan saya– puluhan artikel yang masuk, dan sendirian
tentunya. Tapi entah mengapa, ada yang berbeda setelah seorang satpam datang
memeriksa ruangan saya.
Padahal pertanyaannya ditiap malam selalu sama, “ada berapa
orang, Mas?” Namun karena basa-basi itu perlu, sebelum menjawab pertanyaannya
saya tawari dulu satpam itu teh manis yang baru dibuat. Dua orang, saya jawab
kemudian. Sebab beberapa menit yang lalu saya masih lihat ada satu orang yang
baru mengisi minum dari galon di pojok ruangan. Entah siapa. Saya tidak pernah
bisa mengingat orang dari wajahnya –saya baru bisa ingat seseorang dari sepatu
yang dikenakannya. Lampu ruangan itu pun belum dimatikan. Satpam itu menghapiri
ruangan tersebut dan saya kembali melanjutkan pekerjaan.
Seingat saya kejadian itu sekitar pukul 01.00 WIB. Satpam
tadi datang lagi ke meja saya dengan wajah bingung.
“Ah, gak ada orang, Mas,”
“Masa?” tanya saya, “barusan ada yang ngambil minum, kok,
Pak. Barusan banget sebelum bapak datang,”
“dia lagi iseng kali.”
Dan satpam tadi meninggalkan saya. Bukan hanya saya, tapi ia
juga meninggalkan kata ‘dia’ sebelum pergi. Dia. Siapa?
Malam perlahan pergi, lalu datang dini hari. Ruangan saya
makin sepi. Sunyi. Musik pun saya nyalakan dengan volume yang lumayan keras.
Pada tengah ruangan saya, televisi saya biarkan tetap menyala. Sebenarnya ingin
saya matikan, tapi berhubung bentuk televisi itu aneh: tidak ada tombolnya dan
layar semua. Jadilah saya tidak tahu bagaimana cara mematikannya.
Menjelang pukul 03.00 WIB, barulah keanehan yang lain
datang. Secara tiba-tiba ada yang mengganti tampilan artikel. Entah siapa,
ketika saya tanya di chat group malah dijadikan bahan ledekan. Saya mencoba
baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.
Saya penakut, tapi untuk hal-hal seperti itu saya tidak
takut. Bagi saya, dia adalah teman.
Analoginya sesederhana begini: teman tidak akan menggangu temannya sendiri.
Saya menggangap dia teman, dan begitu
sebaliknya. Makanya saya selalu biasa-biasa saja kalau lewati jalan atau tempat
sepi.
Tapi baru kali itulah saya jadi sering bolak-balik keluar
ruangan. Duduk di luar. Melakukan apa saja: baca koran, baca buku, membuat
kopi, turun-naik (tanpa keluar) lift.
Tag :
cosmic g-spot,
Sepasang, Tapi Tak Saling Kenal
By : Harry Ramdhani
Ada seorang laki-laki menghampiri saya, di stasiun Tanah
Abang. Badannya tinggi tegap. Memakai kaos polos hitam dan celana jeans panjang. Ia memberikan saya sebuah
amplop, seperi sebuah surat, “ini buat kau, Boy,” katanya. “Dari perempuan yang
biasa bareng denganmu satu kereta.” Ia pun pergi begitu saja. Saya hanya
menerima itu dengan heran. Ini pagi yang membingungkan, setelah kereta yang
saya tunggu, untuk kedua kalinya, terlambat datang.
Surat itu tak langsung say abaca, karena tak lama dari itu
kereta saya tiba. Dengan sedikit bergegas, saya ikut berdesakan dengan
penumpang lainnya. Saya tidak ingin terlambat sampai rumah. Adik saya sudah
menunggu untuk diantar ke sekolah.
Tentang perempuan itu, nanti akan saya ceritakan. Saat ini
saya ingin membaca surat itu terlebih dulu karena terlampau penasaran. Saya
buka amplop itu dan sedikit terkejut. Surat itu ditulis tangan. Sudah lama saya
tidak menerima surat seperti ini. Selain kuku jari tangan, perempuan itu
terlihat cantik dari tulisan tangannya.
Dan, begini isi suratnya:
Untuk,
Laki-laki tak bernama.
Maaf, sudah dua hari kita tak lagi satu kereta. Jujur saja
aku merindukan itu. Kau ingat kali terakhir kita bertemu dan bersama satu
kereta? Itu perjalanan paling lucu menurutku. Kau berdiri dekat pintu, dan aku
duduk di sisi luar tempat duduk prioritas. Saat itu ada bapak-bapak yang
menghalangi kita, tapi kamu, aku tahu, matamu selalu mencari-cari celah untuk
sekedar melihatku. Mata laki-laki memang lebih liar dari tangannya. Aku sadar.
Dan aku biarkan. Sebab seperti itulah cara kita saling bertegur-sapa. Setibanya
di stasiun Karet, entah di luar sana ada apa, tiba-tiba kepalamu keluar
–melewati pintu– seperti mencari sesuatu, atau melihat perempuan lain yang
lebih cantik dari aku. Dan tak lama pintu kereta menutup, kepalamu hampir
terjepit waktu itu. Kau tahu, di balik masker aku tertawa terbahak-bahak.
Pertama. Karena kepalamu hampir terjepit tadi. Kedua. Kerena teriakkan sakitmu
itu. Ketiga. Tingkahmu yang seakan baru saja tidak terjadi apa-apa. aku tahu
sakitnya tak seberapa, tapi malunya melebihi itu, kan? Di stasiun Sudirman
banyak penumpang yang turun. Banyak juga yang naik. Di stasiun ini, kita memang
sering dapati banyak anak muda yang pintar, yang punya wawasan luas, seperti
anak muda yang diidamkan para pahlawan untuk menlanjutkan kemerdekaan ini.
Namun anak-anak muda itu rela delapan jam lebih dari hidupnya diambil hanya
untuk bekerja. Tapi aku percaya, di antara mereka pasti ada yang berkarya;
melakukan sesuatu karena passion-nya. Seperti aku. Seperti juga kamu, mungkin.
Ketika menulis surat ini aku masih saja tertawa mengingat
kejadian itu. Maaf, ya. Maaf….
Kemudian seorang petugas Walka menghampirimu,
mempersilakanmu duduk tepat di seberangku, tapi kamu menolak. “Terimakasih,
untuk yang lain saja,” katamu. Aneh. “Nanti saya duduk bekas perempuan itu,”
kamu menunjuk aku, “dia turun di stasiun Manggarai, kok.” Lalu orang-orang di
sekitar pun sontak mengarahkan pandangannya padaku.
KAMU, LAKI-LAKI TAK BERNAMA, SAAT ITU AKU MALU BANGET TAHU.
TAPI BERCAMPUR GE-ER, SIH.
Aku tidak akan melupakan kejadian itu. Meski aku hilang
ingatan sekalipun.
Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan, tumben akhir-akhir ini
kamu suka bawa buku. Setiap hari satu buku. Untuk apa? Kalau buku itu punya
kamu, sebenarnya ada satu buku yang mau aku pinjam. Buku kumpulan cerita
“Chicken Soup for the Bride’s Soul” dari serial buku “Chicken Soup”. Hanya buku
itu yang belum aku baca. Sempat aku baca sinopsisnya, bagus. Kumpulan cerita
tentang lamaran, pernikahan dan lain-lain, kan? Rasa-rasanya aku mau dilamar
seromantis itu. Entah dengan siapa? Sama kamu pun tak apa. sungguh. Dan aku
ingat, di buku itu juga ada kutipan seperti ini: Prestasiku yang paling
cemerlang adalah berhasil membujuk calon istriku untuk menikah denganku.
Aku menunggu itu….
Kau mungkin masih ingat, ketika kereta menuju stasiun Depok
yang hampir berangkat dan kamu masih di tangga. Kereta yang kau naiki telat. Di
depanmu ada nenek-nenek yang pelan sekali jalannya. Turun satu anak tangga,
seperti melompati bara api. Sangat berhati-hati. Tapi aku melihatmu malah
melompat-lompat di belakangnya. Seperti orang geregetan. Tapi kamu tidak
mendahului nenek-nenek itu sampai anak tangga paling bawah, sampai kereta itu
akhirnya berangkat. Nafasmu terengah. Matamu mengikuti laju kereta dengan
tatapan lelah.
Tadinya aku tidak mau menunjukkan diri, tapi melihatmu
seperti itu aku jadi tidak tega. Lalu aku berdiri dari tempat duduk dekat jam yang digantungkan
dan mengarahkan badan ke arahmu. Senyummu, senyum saat melihatku, senyum paling
bahagia yang pernah aku lihat. Sengaja aku tidak naik kereta itu hanya untuk
menunggumu.
Dan besoknya, aku benci segala hal yang berhubungan dengan
keterlambatan. Tukang ojek yang biasa mengantarku datang terlambat. Jadwal
kereta terlambat. Lalu kamu, ikut-ikutan terlambat. Hari itu aku membenci
semua, termasuk kamu, tahu!!
Barangkali Tuhan mendengar keluhku, dan hari itu kita tak
bertemu. Pagi itu aku merasa seperti ada yang kurang. Mulai hari itu pun aku
berjanji tidak ingin membencimu. Kapan pun kita naik kereta bersama, dan
kebetulan kereta kosong, aku ingin duduk di sebelahmu.
Ada yang membuatku selalu suka dari caramu berpura-pura.
Saat kita duduk berdua di tempat duduk prioritas. Matamu tak seperti biasanya
bisa dengan bebas melirikku –begitu juga aku. Tapi aku menikmati saat lengan
kita bersentuhan. Menikmati saat kamu pura-pura menyenderkan badan saat kereta
berhenti mendadak karena gangguan. Aku pun menikmati saat kaki kita diam-diam
tengah berpelukan. Bahagia itu sederhana, bukan?
Laki-laki tak bernama, aku ingin merasakan semua itu lagi.
Semua. Walau setiap hari, setiap pagi, kita hanya satu kereta dari stasiun
Tanah Abang sampai stasiun Manggarai.
Terakhir, Laki-laki tak bernama. Ah, aku tidak mau yang
terakhir. Aku tidak mau semua ini berakhir. Aku ingin terus bersama, aku ingin
kita terus satu kereta. Aku ingin kebahagiaanku ini abadi, meski satu-satunya
yang abadi di dunia ini, adalah ketidakabadian itu sendiri.
Mungkin saat kamu memegang dan membaca surat ini, aku sedang
tertidur pulang di kamar mayat. Atau, terkubur di pekuburan.
Hati-hati di jalan, ya, Laki-laki tak bernama. Awas kepalamu
terjepit lagi. Aku akan setia mencintai perjalanan ini, seperti halnya aku
setia mencintai kebersamaan kita dulu.
Saya lipat surat dari perempuan tak bernama itu. Saya
selipkan di halaman 29 buku “Cerita buat Para Kekasih”. Saya ingin menyimpan
surat itu di sana, sebab tak ada tempat yang layak untuk surat itu selain buku.
Dan, saya pikir, tak perlu lagi saya ceritakan tentang perempuan tak bernama itu.
Kalian biasa tahu ketika membaca buku itu. Yang jelas dia cantik. Ada dua hal
yang tidak dibutuhkan oleh perempuan cantik: pakaian dan namanya.
Perpustakaan Teras Baca, 21 Januari 2015
Tag :
Prosa,
Malam-malam Dijenguk Rindu
By : Harry Ramdhani
Di luar ruang kantor seperti ada yang mengetuk pintu. Ketika
saya buka, itu rindu. Nafasnya terengah. Ia terlihat lelah. Saya persilakan
rindu masuk dan duduk. “Maaf meja kerja saya berantakan,” kata saya, “mau minum
apa? tapi di sini cuma ada kopi, teh, dan air mineral saja. Tak apa?.”
Rindu masih mengatur nafasnya. Lalu saya suguhkan ia air
mineral, satu gelas penuh dalam ukuran besar. Dan, hanya satu kali tegukan, pada
gelas itu sama sekali tak ada air yang tersisakan. Rindu menceritakan banyak
tentang ibu. Tentang apa-apa saja yang selama ini saya tidak tahu.
Kata rindu, kini ibu sedang belajar menyulam, ia ingin
memberimu baju hangat karena akhir-akhir ini kamu suka kerja malam. Saya jadi
terharu mendengar cerita itu. Untuk saat ini pekerjaan saya sisihkan terlebih
dulu, nampaknya rindu masih bawa banyak cerita-cerita tentang ibu.
Rindu melepaskan kacamatanya. Ah, mata rindu mirip mata ibu.
Teduh sekali. Seperti tak pernah ada air mata yang singgah di sana.
“Ibu baik-baik saja?” tanya saya.
“Ya, ia akan selalu baik-baik saja.”
Bukan. Bukan itu maksud saya. Saya tahu bagaimana ibu, di
depan semua orang ia selalu perlihatkan kalau dirinya tampak baik-baik saja.
Ibu penyimpan sedih yang luar biasa.
Dan saya jadi ingat ucapan ibu dulu, “air mata itu mahal harganya.
Tak ada alat tukar yang mampu membelinya. Jadi tak perlu kamu buang dengan
percuma.” Tapi malamnya, ketika satu rumah sedang tidur, saat masuk waktu
seper-tiga malam, saya dapati ibu menangis di kamarnya yang gelap.
“Sudah lama bukan kamu tidak makan sayur asem, tempe goreng,
dan sambel terasi?” ujar rindu, “sebelum ke sini, ibu sedang masak itu,”
“buat saya?”
“Ya, bukanlah, buat ibu makan sendiri. Lagi pula sejak kamu
kerja, kamu lebih suka jajan, makan di luar. Entah dengan teman, entah dengan
pacar. Ibu sedih saat itu. Tapi tidak tahu juga, sebab kata ibu tadi, ini
sambel terasi kesukaanmu. Tidak terlalu pedas.”
Supaya rindu tidak terlalu menyudutkan, saya buatkan dia teh
manis hangat.
Andai ibu tahu, dulu itu sepulang kerja saya suka diam-diam
makan masakannya yang tertata rapih di meja. Dan paginya, tikus saya jadikan
kambing hitam. Ibu suka gerutu pagi-pagi saat melihat meja makan makan sedikit
berantakan. Saya malu. Saya sengaja melakukan itu untuk mengelabui ibu, karena
malamnya saya makan kelewat banyak. Mana mungkin saya bisa tak suka makan
masakan ibu, sedangkan oranglain mesti mengeluarkan biaya yang sedikit lumayan
hanya untuk mendapat jasa ibu tiap ada acara nikahan dan lain-lain?
Rindu memasukkan jamu penolak angin ke dalam tehnya. “Kadang
ibu ingin membuatkan minuman seperti ini untukmu.”
“Kalau nanti kau pulang, rindu, boleh titip salam kangen
saya buat ibu?”
“Tentu… dengan senang hati,”
Kemudian saya lanjutkan beberapa pekerjaan yang tadi sempat
saya terlantarkan. Rindu tertidur di sebelah meja kerja saya.
“Tolong nanti pukul dua bangunkan dan antarkan pulang, ya?”
pesan rindu sebelum tidur.
Ruang kantor saya makin sunyi. Segala tentang ibu tadi, seperti
membuat sesak dalam hati. Kangen ibu, kangen yang tak bertepi. Sebab ibu,
adalah muasal kangen itu.
Jam dinding menunjukan pukul dua. Saya bangunkan rindu dan
mengantarnya pulang. Tepat di depan makam itu, makan ibu, rindu berhenti dan
membalikan badan. Rindu menjelma ibu. Rindu itu ibu. Ibu itu rindu.
Keduanya
seperti sepasang merpati di ujung pohon natal; yang tak bisa terpisahkan.
Perpustakaan Teras Baca, 17 Januari 2015
Tag :
Prosa,