- Back to Home »
- blogram , kucing »
- Tentang Kucing (Kampung) yang Lahir di Loteng Rumah
Posted by : Harry Ramdhani
May 06, 2018
kucing-kucing ucul nyang kurang satu. :((( |
Kucing itu hamil. Seperti halnya kucing betina lain, tidak
ada yang tahu siapa yang menghamili. Tapi kucing itu, yang hitam warna bulunya,
sedang bunting besar. Gomah sesekali memberi sisa makanannya yang masih banyak.
Menyisakan, mungkin tepatnya. Dilahap dengan rakus nasi yang diaduk dengan
suiran ikan lele di depan rumah dekat pot bunga. Aku tambah lagi dengan tahu.
Kucing itu sekadang mengendusnya dan melanjutkan nasi aduk suiran lele itu.
Sial.
***
Besoknya tidak lagi kucing yang hamil itu. Entah pergi ke mana. Kucing kampung memang suka seperti itu ketika ingin melahirkan: sembunyi mencari tempat. Bahkan dulu ada yang sembunyi di belakang perpus Teras Baca. Setelah melahirkan dan anak-anaknya bisa pergi mencari makan sendiri, barulah mereka keluar dari tempatnya. Ada tiga anaknya yang lucu. Aku cuma bisa memberikannya satu kardus mie instan dengan kain sebagai alasnya. Maksudnya untuk mereka tidur. Setiap pulang kerja, setiap malam, aku suka mampir sebentar. Anak-anak kucing yang mungil itu menyambut dengan berlarian menghampiri. Pedahal aku tidak bawa apa-apa. Senang rasanya ada yang menyambut ketika pulang kerja. Kapan yha bisa disambut kamu kalau aku pulang kerja kelak?
***
Setiap malam selalu ribut di loteng rumah. Kucing, tentu saja. Berisik sekali. Tapi bukan kucing yang tengah berkelahi, hanya suara kucing yang berlarian ke sana-ke mari. Kadang, hal-hal semacam itu ampuh untuk menakuti Peang agar supaya cepat tidur. Menarasikannya seakan-akan kucing itu sedang dikejar oleh Setan Kepala Buntung. Kucing itu tidak pernah keluar. Selalu di loteng. Entah kucing yang mana. Yang aku tahu: setiap malam selalu ribut.
***
Kucing hitam itu akhirnya melahirkan. Kucing yang selama ini
ribut di loteng ternyata kucing hitam itu. Kata tetangga sebelah yang rumahnya
tingkat, ia melihat kucing hitam itu bersama kelima anaknya. Lucu-lucu,
mestinya. Aku tidak sabar seperti apa bentuknya. Tapi seperti kucing kampung
pada umumnya, kucing itu tidak ingin turun (atau tidak bisa mungkin?) dengan
anak-anaknya. Keenam kucing itu masih menetap di loteng. Sialnya, setiap malam
semakin ribut. Keenam kucing itu berlarian, main kejar-kejaran di loteng. Dan
satu malam, saking ributnya, remahan atap berjatuhan. Hadeeeeuh. Malam-malam
mesti nyapu.
***
Sore hari dengan matahari yang sinarnya cukup, kopasus (kopi
campur susu) dan buku puisi Aan, Cinta yang Marah, adalah caraku merenung. Buku
itu terlalu anarkis. Apalagi Aan Mansyur yang kadung populer dengan puisi
cintanya dalam buku "Tidak Ada New York Hari Ini". Dan terdengar
suara benda yang jatuh di depan rumah. Berkali-kali. Aku kaget, tentu saja,
lalu Gomah berlari keluar. Gomah selalu responsif jika ada suara-suara seperti
itu. Bahkan bisa membuat panik. Meski pelan, namun reaksi Gomah cenderung
berlebihan. Anak kecil kadang bisa nangis meski ia sekadar jatuh terpeleset.
Aku dan Gomah melongok keluar. Wuah, kucing-kucing yang di loteng akhirnya
turun (dengan terjun). Kelima anak kucing itu lucu-lucu betul. Kecil, sebesar
telapak tangan.
***
Setiap ke warung untuk beli kopi titipan buat di kantor,
kucing-kucing itu selalu mengikuti. Mungkin menganggap aku keluar membawa
makanan. Pedahal tidak. Kucing-kucing itu melingkari kakiku. Kadang ada yang
hampir terinjak. Aku serasa rock star yang tengah diikuti penggemar. Tapi
memang, setiap ada sisa makanan, aku selalu memberikan pada anak-anak kucing
itu. Sialnya, malah sering dikuasi si Induk. Namun, senang rasanya bisa berbagi
makanan dengan yang membutuhkan. Berhenti sebelum kenyang dan (sengaja)
menyisakannya untuk anak-anak kucing itu.
***
Karena pagar rumah ada lubang yang cukup besar, sering kali
kucing-kucing itu masuk lewat sana. Seringnya memang malam, untuk tidur di
bangku teras. Tidak memberantak tempat sampah untuk mencari makan atau
memberantak buku-buku yang ada di rak di teras. Kadang terpikir membeli
kandang, tapi buat apa? Teras rumah rasa-rasanya cukup besar buat sekadar
tidur. Lagipula, pernah aku cek harga kandang kucing dan harganya mahal. Bukan
rezeki kalian, cing!
***
Barusan tetangga sebelah bilag kalau satu anak kucing itu
terpincang-pincang dekat pot bunga depan rumah. Sepertinya tertambrak motor.
Entah. Tidak ada yang melihat. Pedahal tadi siang baru aku kasih makan semua.
Daging rendang yang aku hancur-hancurkan dan diaduk dengan nasi. Nasi aduk
rendang. Namun, tadi Gomah sempat memberinya potongan ayam goreng. Kucing itu
tidak mau makan. Aku cari sampai sekarang tidak juga ketemu. Aku hanya ingin
berterimakasih, karena (1) tidak melihatnya langsung kalaupun mati. Pasti ini
sedih sekali. Aku pernah punya kelinci dan mati. Dua hari badanku panas dan
tidak masuk sekolah. Dan (2) jikapun kucing itu tahu siapa yang menabraknya
mohon maafkan. Manusia memang lebih suka merusak daripada menjaga. Ke manapun
satu kucing itu pergi, pesanku: jaga diri baik-baik.
Wih Bang Harry akhirnya update tulisan terbarunya di blog ini setelah sekian lama. Ditunggu puisi-puisinya bang.
ReplyDeletewalah. tawunya masi ada togh nyang baca ini blog. pwisie dll skarang dioper ke akun kompasiana. :)))
Delete