- Back to Home »
- #Jilid4 »
- Maje
Posted by : Harry Ramdhani
September 05, 2016
MAJE MELIHAT DENGAN penuh harap sekawanan kucing rumahan di halaman depan yang sedang santap siang. Dari atas genteng itu, dengan jelas Maje tahu apa yang kucing-kucing itu makan: makanan khusus kucing, serupa biskuit tapi berukuran lebih kecil. Harganya juga setara dengan satu bungkus nasi padang, untuk satu kucing, untuk satu kali makan!
Air liur lewat di tenggorokan Maje. Siang semakin terik, Maje semakin lapar. Ia tinggalkan pandangannya itu dan turun ke tempat sampah sebelah rumah sekawanan kucing itu.
"Sudah dua hari ini tidak ada yang bisa aku makan dari tempat sampah," kata Maje dalam hati. "Biarlah, siapa tahu kali ada sisa makanan di sana."
Maje kucing kampung yang kurus. Jarang makan. Kalau dihitung-hitung, paling tiga hari sekali. Itu pun dari sisa makanan di tempat sampah, atau yang sedikit lumayan berbagi makanan dengan sesama kucing kampung yang mungkin secara kebetulan mendapat makan dari seseorang di jalan.
Namun, Maje berbeda dengan kucing kampung lain. Maksudnya, sering ia lihat teman-teman sesama kucing kampung yang mencuri makan dari dalam rumah-rumah. Makanan apa saja, yang terpenting dibawa lari dulu. Urusan akan dimakan atau tidak, itu lain cerita. Selain itu, Maje tahu kalau mencuri itu tidak baik. Maje juga tahu akibatnya bila tertangkap tangan oleh si pemilik rumah, bisa fatal akibatnya. Pernah Maje lihat dengan mata kepalanya sendiri kucing kampung yang tidak ia kenal ditembak dengan senapan peluru karet. Tidak hanya sampai di situ, setelah terkapar, perutnya ditendang hingga kucing itu terpental sekitar 5 meter. Sejak itu Maje tidak pernah lagi melihat kucing kampung itu.
Maje menuju tempat sampah. Tepat di depannya ada Kunti keluar dari sana. "Tidak ada apa-apa, bungkus plastik semua," ujarnya. Keduanya pergi dan mencari tempat sampah lain.
PINTU PAGAR ITU terbuka lebar. Pintu samping rumahnya langsung menuju ke dapur. Hidung Maje amat peka pada bebauan daging. Kali ini nampaknya di dapur baru saja selesai masak ayam goreng. Maje masih berdiri di seberang rumah itu. Matanya melihat kanan dan kiri. Sepi.
Entah mengapa, keempat kakinya seperti melangkah sendiri ke arah rumah itu. Maje sudah di depan dapur. Beberapa langkah lagi ia masuk, tapi Maje masih diam saja. Kembali matanya seperti mengawasi sekitar, ke kanan dan ke kiri, juga sesekali ke belakang. Dan memang tak ada sesiapa.
Maje maju tiga langkah. Tepat di daun pintu itu, terlihat beberapa potong ayam goreng tersaji di piring. Maje akhirnya masuk. Melompat ke meja dan kini ayam goreng itu di hadapannya. Hidungnya mengendus, aromanya sungguh nikmat. Ayam goreng itu masih hangat.
"Ambil atau, tidak," ujar Maje dalam hati.
Seakan ada yang langsung menggerakkan mulutnya untuk terbuka. Satu potong ayam goreng sudah terapit mulutnya.
"Kucing sialaaaaaaaan!" teriak seseorang, yang masuk ke dapur.
Sudah tentu Maje kaget. Ayam goreng dari mulutnya ia lepas. Maje bergegas pergi, sekencang-kencangnya berlari.
KEMBALI, DARI ATAS genteng Maje melihat sekawanan kucing itu makan. Pemilik rumah itu memang penyuka kucing. Ada sekitar 8 kucing di rumahnya. Kucing-kucing itu pun dibuatkan semacam rumah yang terbuat dari kaca. Rumah-rumahan itu ada di halaman depan rumah itu. Untuk ukuran binatang peliharaan, itu cukup mewah. Di dalamnya ada beberapa tempat makan yang tidak pernah terlambat diisi makanan. Tempat tidur pun seperti tempat tidur bayi.
Maje turun menghampiri sekawanan kucing itu. Hanya di luar pagar, tidak lebih. Seorang gadis kecil berlari keluar lewat pintu, lalu berhenti memerhatikan Maje. Keduanya saling melempar pandang dan tak ada yang berkata-kata. Suara laki-laki terdengar dari dalam rumah, memanggil-manggil nama gadis itu. Maje tidak begitu jelas mendengar, hanya sayup-sayup saja. Kembali perut Maje minta diisi. Sejak kemarin Maje belum makan.
Lalu dari dalam rumah keluar seorang laki-laki. Ia mendekati pagar, menghampiri Maje yang ada di luar. Pagar itu dibuka. Laki-laki itu mengangkat Maje masuk bersamanya.
TIGA MINGGU SUDAH Maje tinggal di rumah itu. Tidak, Maje tidak disatukan dengan 8 kucing lainnya. Malah, khusus untuk Maje, ia ditempatkan bersama dengan gadis kecil itu: di kamar.
Anehnya 8 kucing lain sama sekali tidak iri dengan Maje. Bahkan, kedelapan kucing itu tidak peduli bila Maje mendapat lebih banyak perhatian. Kenyamanan yang mereka dapat selama ini memang sudah tidak bisa dibanding-bandingkan. Sudah lebih dari cukup.
INI YANG TIDAK Maje tahu: setiap hari gadis itu ingin sekali merawat Maje, namun karena ia hanya kucing kampung, makanya selalu dilarang. Beruntung sekali hari itu Maje menghampiri rumah itu. Kebetulan sekali gadis itu sedang berada di luar juga. Pertemuan kedua yang ditambah sedikit rengekan gadis itu, akhirnya diperbolehkan juga.
Gadis itu selalu mengajak Maje ngobrol. Sering juga gadis kecil itu bertanya betapa serunya hidup tanpa kemapanan pada Maje. Dengan bahasa masing-masing, gadis itu paham: memperjuangkan hidup jauh lebih membanggakan ketimbang bermanja-manjaan.
*) ditulis oleh Seraya.
Sumber Gambar