Archive for September 2016
Teka Teki Silang
By : Harry Ramdhani
Tubuhnya besar. Gemuk. Hidungnya juga besar, kulitnya tebal
dan keras. Suka bermain atau mandi di kubangan lumpur. Karena sering berendam
di sana, kulitnya jadi berwarna coklat-gelap. Biasa memakan tumbuhan, tapi
kalau tidak ada, apa saja disantapnya. Berkaki empat. Bila mulutnya terbuka,
mungkin satu sepeda motor matic cukup.
Alina menarik garis ke kolom sebelah kanan. Poin nomor enam:
"Kuda Nil."
Rumahnya terbuat dari rerumputan kering. Biasa disebut, sarang.
Ia bertelur dan mengeraminya di sana. Bentuknya tubuhnya sangat kecil. Paling
hanya segenggaman tangan. Berbulu coklat. Namanya mirip rumah peribadatan.
Alina melewati yang ini.
Buas. Gigi taringnya sangat tajam, bisa mengoyak daging
menjadi beberapa bagian. Berkaki empat. Kulitnya loreng-belang. Belakangan ia
sering dijadikan buruan; dibius, dibuat lumpuh, dibunuh, lalu dikuliti.
Akhirnya, kini semakin sedikit jumlah populasinya. Biasa ditemui di hutan
belantara yang jarang terjemah manusia.
Tanpa berlama-lama Alina menarik garis lurus sejajar. Poin
nomor tiga: "Harimau."
Bersayap empat. Memiliki buntut yang panjang ke belakang. Kakinya delapan, matanya bulat. Kebanyakan orangtua sengaja memeberikan ini kepada anaknya yang masih suka ngompol. Caranya: binatang ini ditempelkan di pusar anak kecil dan membiarkannya supaya menggigit.
Diam sejenak. Alina mengambil kembali pensilnya. Dibuatnya titik yang cukup dalam pada kertas itu. Sedikit tidak yakin, Alina membuat garis ke atas. Poin nomor satu: "Capung".
Kepalanya botak. Ke manapun ia pergi, rumahnya selalu dibawa-bawa. Berkaki empat. Termasuk binatang pemalu. Bisa hidup di darat maupun air. Banyak yang mengatakan umurnya binatang ini bisa lebih dari seratus tahun. Jalannya amat lambat, karena rumah yang dibawanya berat; hampir dua kali lipat berat tubuhnya.
Selesai membaca itu, Alina tersenyum. Seperti ada sesuatu, seakan Alina mengingat masa lalu. Dibuatnya garis ke bawah. Poin ke tujuh: "Kura-kura".
Lidahnya suka menjulur keluar. Bersahabat dengan manusia.
Bisa dikatakan ia hewan paling setia, bisa jadi penjaga rumah juga. Daging
adalah makanan kesukaannya. Berbulu halus. Jenis dan warnanya beragam. Sering
dibawa jalan-jalan ke taman. Di sana ia suka bermain bola lempar.
Dengan cepat Alina menarik garis. Poin nomor empat:
"Anjing".
Tubuhnya kecil. Sering bergerombol dengan teman-temannya.
Amat suka pada yang manis dan amis. Kadang, bila terkena gigit olehnya bisa
gatal-gatal. Jika sedang jalan beriringan, ia akan baris dengan teratur. Jika
bertemu dengan temannya yang berlawanan arah, akan terlihat seperti salaman.
Warnanya antara merah dan hitam.
Lalu Alina membuat garis ke atas di kolom sebelah kanan.
Poin nomor dua: "Semut".
Namun, dengan sedikit tidak yakin, Alina jadi tahu jawaban yang
sempat dilewatinya. Alina tarik garis ke bawah. Poin nomor lima sambil bertanya
dalam hati: "apa benar ada burung bernama Gereja?"
Buku ini pun Alina tutup. Alina pergi tidur.
*) Seruni
Sumber Gambar: shutterstock
Tag :
#Jilid4,
Maje
By : Harry RamdhaniMAJE MELIHAT DENGAN penuh harap sekawanan kucing rumahan di halaman depan yang sedang santap siang. Dari atas genteng itu, dengan jelas Maje tahu apa yang kucing-kucing itu makan: makanan khusus kucing, serupa biskuit tapi berukuran lebih kecil. Harganya juga setara dengan satu bungkus nasi padang, untuk satu kucing, untuk satu kali makan!
Air liur lewat di tenggorokan Maje. Siang semakin terik, Maje semakin lapar. Ia tinggalkan pandangannya itu dan turun ke tempat sampah sebelah rumah sekawanan kucing itu.
"Sudah dua hari ini tidak ada yang bisa aku makan dari tempat sampah," kata Maje dalam hati. "Biarlah, siapa tahu kali ada sisa makanan di sana."
Maje kucing kampung yang kurus. Jarang makan. Kalau dihitung-hitung, paling tiga hari sekali. Itu pun dari sisa makanan di tempat sampah, atau yang sedikit lumayan berbagi makanan dengan sesama kucing kampung yang mungkin secara kebetulan mendapat makan dari seseorang di jalan.
Namun, Maje berbeda dengan kucing kampung lain. Maksudnya, sering ia lihat teman-teman sesama kucing kampung yang mencuri makan dari dalam rumah-rumah. Makanan apa saja, yang terpenting dibawa lari dulu. Urusan akan dimakan atau tidak, itu lain cerita. Selain itu, Maje tahu kalau mencuri itu tidak baik. Maje juga tahu akibatnya bila tertangkap tangan oleh si pemilik rumah, bisa fatal akibatnya. Pernah Maje lihat dengan mata kepalanya sendiri kucing kampung yang tidak ia kenal ditembak dengan senapan peluru karet. Tidak hanya sampai di situ, setelah terkapar, perutnya ditendang hingga kucing itu terpental sekitar 5 meter. Sejak itu Maje tidak pernah lagi melihat kucing kampung itu.
Maje menuju tempat sampah. Tepat di depannya ada Kunti keluar dari sana. "Tidak ada apa-apa, bungkus plastik semua," ujarnya. Keduanya pergi dan mencari tempat sampah lain.
PINTU PAGAR ITU terbuka lebar. Pintu samping rumahnya langsung menuju ke dapur. Hidung Maje amat peka pada bebauan daging. Kali ini nampaknya di dapur baru saja selesai masak ayam goreng. Maje masih berdiri di seberang rumah itu. Matanya melihat kanan dan kiri. Sepi.
Entah mengapa, keempat kakinya seperti melangkah sendiri ke arah rumah itu. Maje sudah di depan dapur. Beberapa langkah lagi ia masuk, tapi Maje masih diam saja. Kembali matanya seperti mengawasi sekitar, ke kanan dan ke kiri, juga sesekali ke belakang. Dan memang tak ada sesiapa.
Maje maju tiga langkah. Tepat di daun pintu itu, terlihat beberapa potong ayam goreng tersaji di piring. Maje akhirnya masuk. Melompat ke meja dan kini ayam goreng itu di hadapannya. Hidungnya mengendus, aromanya sungguh nikmat. Ayam goreng itu masih hangat.
"Ambil atau, tidak," ujar Maje dalam hati.
Seakan ada yang langsung menggerakkan mulutnya untuk terbuka. Satu potong ayam goreng sudah terapit mulutnya.
"Kucing sialaaaaaaaan!" teriak seseorang, yang masuk ke dapur.
Sudah tentu Maje kaget. Ayam goreng dari mulutnya ia lepas. Maje bergegas pergi, sekencang-kencangnya berlari.
KEMBALI, DARI ATAS genteng Maje melihat sekawanan kucing itu makan. Pemilik rumah itu memang penyuka kucing. Ada sekitar 8 kucing di rumahnya. Kucing-kucing itu pun dibuatkan semacam rumah yang terbuat dari kaca. Rumah-rumahan itu ada di halaman depan rumah itu. Untuk ukuran binatang peliharaan, itu cukup mewah. Di dalamnya ada beberapa tempat makan yang tidak pernah terlambat diisi makanan. Tempat tidur pun seperti tempat tidur bayi.
Maje turun menghampiri sekawanan kucing itu. Hanya di luar pagar, tidak lebih. Seorang gadis kecil berlari keluar lewat pintu, lalu berhenti memerhatikan Maje. Keduanya saling melempar pandang dan tak ada yang berkata-kata. Suara laki-laki terdengar dari dalam rumah, memanggil-manggil nama gadis itu. Maje tidak begitu jelas mendengar, hanya sayup-sayup saja. Kembali perut Maje minta diisi. Sejak kemarin Maje belum makan.
Lalu dari dalam rumah keluar seorang laki-laki. Ia mendekati pagar, menghampiri Maje yang ada di luar. Pagar itu dibuka. Laki-laki itu mengangkat Maje masuk bersamanya.
TIGA MINGGU SUDAH Maje tinggal di rumah itu. Tidak, Maje tidak disatukan dengan 8 kucing lainnya. Malah, khusus untuk Maje, ia ditempatkan bersama dengan gadis kecil itu: di kamar.
Anehnya 8 kucing lain sama sekali tidak iri dengan Maje. Bahkan, kedelapan kucing itu tidak peduli bila Maje mendapat lebih banyak perhatian. Kenyamanan yang mereka dapat selama ini memang sudah tidak bisa dibanding-bandingkan. Sudah lebih dari cukup.
INI YANG TIDAK Maje tahu: setiap hari gadis itu ingin sekali merawat Maje, namun karena ia hanya kucing kampung, makanya selalu dilarang. Beruntung sekali hari itu Maje menghampiri rumah itu. Kebetulan sekali gadis itu sedang berada di luar juga. Pertemuan kedua yang ditambah sedikit rengekan gadis itu, akhirnya diperbolehkan juga.
Gadis itu selalu mengajak Maje ngobrol. Sering juga gadis kecil itu bertanya betapa serunya hidup tanpa kemapanan pada Maje. Dengan bahasa masing-masing, gadis itu paham: memperjuangkan hidup jauh lebih membanggakan ketimbang bermanja-manjaan.
*) ditulis oleh Seraya.
Sumber Gambar
Tag :
#Jilid4,