The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani March 04, 2014



Musang kaget. Di hadapannya ada sekawanan ular yang perutnya kelaparan. Ular menatapnya penuh harap dan seluruh badannya berkeringat. Tak ada yang mampu musang lakukan. Lari pun seakan hanya menunda kematian. Keempat kaki musang keram. Sungguh tak bisa digerakan di tengah situasi yang menakutkan. Nampaknya ini adalah hari sial musang.

Bagi binatang, sial, ialah kematian. Dan, beruntung, ialah tetap bisa melanjutkan makan.

Sesederhana itu kehidupan binatang. Tapi, ketika di hadapkan dengan rantai makanan, rasanya saat itu ketidakadilan sedang diperlihatkan Tuhan. Binatang apapun cuma bisa pasrah pada keadaan. Yang terkuat maka bisa berdiri kokoh di kasta tertinggi rantai makanan.

Di antara ilalang yang tumbuh tinggi menjulang, mata ular terus mengamati gerak-gerik musang. Walau musang tidak bergerak sama sekali, namun ular tetap mencermati. Ular kesal, tadi pagi, ayam kampung yang sedang berkeliaran di sekitaran semak-semak ilalang disantap habis oleh kawanan musang. Ular tidak sedikit pun kebagian, sampai sore perut ular keroncongan.

"Dasar serakah! Kamu lupa masih ada kami yang juga hidup di sini?" kata ular yang berada paling dekat dengan Musang.

"Ttttaappi," musang menjawabnya terbata-bata. "Aku tidak ikut memakan ayam itu tadi pagi."

"Kalau pun ada, pasti kau ikut makan, kan?" Ular yang berada paling belakang naik pitam.

Musang tidak bisa menjawab. Dalam kehidupan binatang, selagi ada yang bisa disantap, ya, habiskan. Lain lagi ceritanya kalau urusan tidak kebagian atau tidak ikut makan, maka itulah penyesalan.

Perbincangan antara Ular dan Musang melebar. Ular sesumbar soal hal-hal yang sering musang salah lakukan. Dari kakek moyang musang sampai sekutu musang yang kerap menjadikan ular sebagai musuh bebuyutan.

Di semak-semak ilalang, ayam atau kucing yang nasibnya sedang sial hari itu, pasti sudah habis oleh kawan musang. Kalau hari itu ada dua kesialan, tentu nantinya musang akan jadi sasaran ular yang kelaparan. Seperti sekarang, musang hanya berharap malaikat pencabut nyawa sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk menghampiri lalu lupa mencabut nyawa.

Musang semakin tertekan. Kawanan ular sudah mulai bergerak mendekati. Perlahan tapi, pasti. Lubang pantat yang biasa dijadikan senjata seakan tertutup rapat sekali. Ia tidak bisa kentut dengan perut yang sama-sama kosong seperti ular sekarang. Keringat dingin membanjiri tubuh Musang.

"Lebih baik kau ucapkan salam perpisahan pada semua kawanan bau-mu itu," kata ular yang sisiknya kecoklatan.

"Tenang saja, kami tidak akan membuatmu mati perlahan. Kami sudah kelaparan," lanjut ular yang badannya lebih besar daripada ular lainnya.

"Biar pun nanti akan datang kawananmu, kami tidak takut. Kami malah akan senang bila mereka datang. Artinya, sore ini kami akan pesta daging musang." ucap ular yang paling dekat dengan musang.

Selang beberapa detik, dengan sekejap, musang diterjang ular terdepan. Musang tidak memberikan perlawanan. Bisa ular mulai bekerja ke suluruh badan musang.

***

"Aku tidak akan melawan. Silakan makan. Tapi, ingat, setelah kalian habiskan tubuhku, putuskan musang dari rantai makananmu," kata sambil dilumuti tubuhnya.

Ular tidak pernah mengingkari janji, karena mereka yang terkuat di semak-semak ilalang ini.

***

Malamnya, semua ular yang tadi melahap musang kesakitan. Gas beracun yang mengendap di tubuh musang telah meracuni ular. Mereka, kawanan ular, mati konyol karena gas kentut beracun musang. Di depan ayam kampung yang rabun malam dan tersasar, ular terbaring kaku tak berdaya.




Perpustakaan Teras Baca, 27 Februari 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -