- Back to Home »
- #CerpenPeterpan »
- Aku, Kita, dan Teras Baca
Posted by : Harry Ramdhani
August 06, 2012
Desa Bojonggede,
4 July 2011
“Ayoo dong bikin kegiatan, udah
deket nih 17an. Masa Karang Taruna gak
bikin apa – apa.” Kata Ungky yang baru datang ke Warung Bang Dodo.
PERBINCANGAN
kala itu hampir sama seperti perbincangan Bung Karno dengan Sukarni Kartodiwiryo
tentang menentukan tanggal Proklamasi yang sempat Ia ceritakan dalam Penyambung Lidah Rakyat. “Di Saigon saya sudah merencanakan proklamasi
tanggal 17.” Mengapa ? Bung Karno menjawab, “Angka 17 adalah angka sakti. Lebih
memberi harapan. Angka 17 keramat. Al-Quran diturunkan pertama tanggal 17.
Orang islam sembahyang 17 rakaat sehari. Maka hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus saya pilih untuk menyelenggarakan
proklamasi.”
Setelah hari itu, para anggota
Karang Taruna – pun berkumpul untuk segera menyelenggarakan kegiatan 17an. Dari dulu sampai sekarang, bahkan sudah
menjadi tradisi bangsa ini selalu saja ada yang namanya ‘17an’. Aku ingat
pertama kali saat mengikuti ini, umurku masih 9 tahun. Mendekati tanggal 17 Agustus selalu ramai
orang – orang menghiasi rumah dengan bendera Merah Putih terbuat dari plastik,
lalu didepan rumah dipasangkan tiang untuk sekedar mengibarkan bendera. Untuk
anak – anak diadakan lomba agar lebih meriah.
Aku tidak habis pikir, apa
hubungannya lomba anak – anak dengan kemerdekaan Indonesia ? Emangnya pejuang
saat itu ikut berlomba seperti makan kerupuk dengan penjajah terus kalau yang
kalah penjajah maka harus angkat kaki dari Indonesia ? enggak ‘kan. Atau, yang
lebih menggelikan adalah ada lomba balap karung, dilombakan untuk anak. Sama
sekali tidak ada sisi bermain, apa lagi edukatif ? yang tampak dari lomba balap
karung hanya dua, pertama, kecelakaan sudah siap menanti karena tersandung
karun yang tingginya hampir seleher
anak. Kedua, gatel – gatel karena karung yang dipakai untuk lomba adalah
karung bekas terigu, kutunya dimana – mana.
“Yaudah,
sekarang aja kumpulin anak – anak, kita rapat di pos.” kata Rino selaku Ketua
Karang Taruna.
Seperti semut yang melihat gula tumpah,
berbondong – bondong cepatnya anggota Karang Taruna ini berkumpul. Aku curiga
ini karena lagu “Makan gak makan asalkan ngumpul”. Tak apa, asalkan ini suatu
hal yang positif. Ramai oleh kicauan
yang tidak jelas arahnya, inilah akibat kalau pertemuan sebuah Karang Taruna
kalau ingin mengadakan acara/kegiatan saja.
“Stop. STOOOOP,”
jiwa kelakian Rino keluar untuk segera menghentikan kicauan yang tak jelas.
Bayangkan, satu jam hanya dihabiskan untuk ngobrol.
“Jadi gini, tadi
Ungky ngajakin untuk bikin kegiatan buat 17an tahun ini. Pada bisa gak ?” Kata
Rino tanpa basa – basi.
“Setuju, gitu
dong masa gak ada kegiatan sih Karang Taruna.” Kata Intan dengan semangat.
Aku yang keluar dari kamar mandi takjub dengan antusias orang – orang
cunguk ini. Tumben pada semangat. Sebagai info, kami tinggal disalah satu
perumahan yang tidak begitu elite jadi tidak gampang untuk mengumpulkan orang
untuk bisa nimbrung dalam kegiatan yang sifatnya sosial. Pos kita-pun tidak
seperti pos yang lainnya. Disini lengkap, ada kamar mandi, televisi, dan bahkan
ada panggung permanen yang serbaguna. Terkadang Pos ini dipakai untuk hajatan
warga kami.
“Terus
kegiatannya apa ?” kataku.
“Eumm, apa yah…
susah sih, soalnya ini deket sama bulan puasa. Gak mungkin dong ada lomba pas
bulan
Puasa.” Kata Intan yang jawabanynya sama sekali tidak menunjukan
pemecahan masalah.
“Ayoolah ide itu
murah, cuuk. Bisa didapet dimana-mana. Aku aja yang abis buang air besar bisa
dapet ide”
“Yaudah, idenya
apa ? tapi apa itu ‘cuuk’ ?”
“Gak penting
itu. Nah, gimana kalau kita bikin Perpustakaan disini ? Setuju ?”
“Perpustakaan ?
Maksudnya ?” tanya Rino dengan penasaran.
“Yaa,
Perpustakaan biasa. Siapa aja boleh kesini buat baca. Tapi bukan itu sih
intinya Aku usul untuk bikin perpustakaan.”
“Terus ?”
“Nanya mulu
kayak wartawan. Pas tadi Aku pup,
kayaknya anak – anak seneng deh kalau buat ngumpul gini, bener gak ? Nah, kalau
sudah ada perpustakaan jadi ada waktu untuk kita sering kumpul. Nanti kalau
udah ngumpul kayak gini pasti ada aja ide buat bikin kegiatan. Soalnya
perpustakaan ini gak akan bisa rame kalau cuma buat baca buku doang. Emang
jaman sekarang siapa sih yang pengen nyisihin waktunya buat baca buku ? Ndak
ado. Tapi kalau kita bisa bikin kegiatan dimana nanti orang – orang dateng dan
nyari sebuah permasalahan lewat baca buku.”
“Pada setuju gak
nih bikin Perpustakaan ?”
“Sederhananya
gini, kita bikin perpustakaan terus yang jaga dari kita giliran lalu, bikin
kegiatan. Pasti rame ini perpustakaan”
“SETUJUUUUUU”
semua menjawab serentak.
Yup, ketika semua setuju langkah
berikutnya adalah meyakinkan para bapak – bapak untuk ngerelain Pos dialih
fungsikan menjadi sebuah perpustakaan. Sebenarnya mudah saja, karena Aku adalah
anak RT tapi karena negara ini negara yang katanya ‘Demokrasi’, maka harus rapat
lagi oleh warga untuk meminta persetujuan. Secara pribadi Aku tidak begitu suka
dengan sistem negara ini yang Demokrasi, karena indikator dari itu adalah suara
terbanyak saja yang diakuin atau dalam istilah kerennya ‘Suara Rakyat Suara
Tuhan’. Padahal tidak semua suara terbanyak adalah benar, bisa saja ada
kecurangan ketika pengambilan suara.
Hari sabtu ini, tanggal 9 July
sengaja Aku buatkan surat undangan warga untuk rapat yang membahas pengalih
fungsi Pos menjadi perpustakaan. Dan… yang hadir rapat banyak, hampir 85% orang
hadir. Tumben. Biasanya kaalu ada rapat yang dateng 4L (Lu Lagi Lu Lagi). Tidak
hanya itu, Aku menjadi tumbal oleh anak – anak untuk ikut rapat ini. INGAT, itu
hasil demokrasi.
Sungguh alot rapatnya, karena
sudah terbiasa warga disini untuk menyebut ini sebagai Pos bukan Perpustakaan.
Ada sedikit perbincangan yang Aku suka, ketika ada salah satu warga yang tidak
setuju. Kita sebut saja Ia si Pulan. Entah apa maksudnya ‘Si Pulan’, orang –
orange jaman dulu selalu memakai nama itu untuk menganalogikan suatu peristiwa.
Pulan : Apa maksudmu bikin perpustakaan ? ini
Pos, tempat kumpul kalau ada rapat.
Aku : Lah, apa hubungannya ? rapat ya rapat,
orang pengen baca mah baca.
Pulan : Tapi kalau suatu hari nanti ada yang
ingin hajatan, kan jadi repot. Lagi pula semua anak disini sekolah, disekolah
itu sudah ada perpustakaan. Jadi untuk apa bikin perpustakaan ?
Aku : Bapak yakin anaknya kalau di sekolah
itu ke perpustakaan ? Aku rasa tidak. Kita disini mewadahi, karena kita sadar
bahwa Pendidikan yang ada didapat di sekolah masih kurang.
Pulan : Ketika kami ingin membangun Pos ini ya
niatnya untuk Pos, bukan yang lain. Saya tetap tidak setuju.
Aku : Bayangin deh, Pak. Kita tinggal di
Komplek, bukannya Aku ingin menyama-ratakan ekonomi tapi kita adalah kelas
menengah. Bangsa ini akan maju oleh orang – orang yang berada dikelas menengah
yang siap naik level ke kelas atas dan bisa membantu orang – orang kelas bawah.
Tidak ada lagi kasus money politic ketika pemilu. Biayanya sangat mahal untuk
membayar suara orang kelas menengah ini, kenapa ? Karena orang kelas menengah
pintar. Bagaimana cara untuk pintar ? dengan belajar dan membaca buku.
Pulan : Kamu anggap Saya ini bisa disogok ketika
pemilu ? Saya memilih Dia karena salah satu programnya ‘Anti – Korupsi’.
Aku terdiam sejenak saat itu,
entah harus bicara apa lagi untuk meyakinkan si Pulan. Terlintas pikiran
tentang kelakuan para Koruptor. “Hanya Koruptor ‘lah yang melarang rakyatnya
untuk belajar”, kataku tanpa sadar.
Pembuatan perpustakaan dimulai
tanggal 17 July 2011, dengan peralatan seadanya kita membuat rak – rak buku,
membeli plat bekas untuk pemisah buku. Dan… tanggal 17 Agustus 2011,
perpustakaan ini diresmikan dengan acara buka bersama dan santunan untuk anak
yatim. Hal terunik ketika ditanya nama perpustakaan ini, Rino dengan gaya
ngawurnya menjawab Teras Baca. Yaa, perpustakaan Teras Baca
Desa Bojonggede,
17 July 2012
Kini sudah satu
tahun perpustakaan ini berdiri. Dengan berbagai kegiatan seperti membuat
sanggar seni lukis, tempat kursus bahasa inggis, dan tidak lupa… sebagai tempat
oleh para penikmat stand-up comedy.
Kita hidup untuk
main, main kita untuk hidup, hidup kita untuk memajukan INDONESIA.