Ahirnya finally: satu per-satu komika (asal) Bogor membuat mini show stand-up comedy. Sesuatu yang (mungkin) sudah lama ditunggu --aku adalah satu di antara mereka itu. Sebelumnya, jika masih ada yang ingat, ada Kang Irawan, lalu yang belum lama ini Ridwan Remin. Baru 2 itu saja? Yha. Tapi dalam rentang waktu tersebut ada beberapa pertunjukan kolaborasi lainnya seperti Bergamis (Bercandaan Gang Mini Show), BlueNite, dan teater musikal ala stand-up comedy. Tidak hanya itu, masih ada Komika lain yang singgah ke Bogor untuk melakukan tur: Pandji dan Ernest. Tapi kini, pada Sabtu (23/03/2019) akhirnya Beler mencoba dirinya membuat stand-up special. Belerdikari, namanya. Tentu ini langkah besar, karena paling tidak ada dua hal yang membuatku menyimpulkan itu, (1) bisa merangsang setiap komika bahwa mereka mampu dan bisa dan sanggup untuk membuat stand-up special sendiri. Aku tahu ini tidak mudah. Jikapun ingin asal-asal saja, paling tidak, butuh keseriusan lebih. Beler itu... entahlah, sampai saat ini aku tidak sekalipun melakukan hal serius dengannya. Perkenalan dengannya selalu diisi dari satu kelucuan hingga kelucuan lain. Barangkali itu yang membentuk Beler sampai hari ini menjadi seorang Komika yang penuh guyon(an). Bukan. Tentu ini bukan seputar teman kita yang sering melucu ditongkrongan agar supaya menjadi pusat perhatian. Beler lebih dari itu, ia (jika boleh berlebihan) ada memang untuk melucu di tengah orang-orang melucu tersebut. Orang lain berusaha melucu, ia sudah lucu. Celetukannya, ceritanya, dan caranya menanggapi apa yang tengah diperbincangkan kadang jadi sesuatu yang ditunggu. Beler yya begitu itu --setahuku. Tentu aku masih ingat kali pertama melihatnya mencoba materinya ketika open mic. Kisah tentang penjual somay yang begitu lucu. Konstruksi komedinya memang seperti cerita: ada pembukaan, kejadian, momen, dan hal-hal bodoh yang menyertai. Juga tentang cerita teman-temannya yang suka mabuk-mabukan itu. Jokes tersebut pernah ia bawakan saat bersaing di SUCI 7, tetapi tidak utuh. Aslinya cerita tersebut mencapai 5-7 menit sendiri. Itulah yang membuat Beler, menurutku, (2) sudah ada di barisan terdepan jika kita bicarakan stand-up comedy hari-hari ini. Begini, sadar atau tidak, kini banyak Komika membuat bentuk komedinya menjadi dua: reaksi dan cerita. Untuk yang pertama, tentu saja, seorang komika cukup memberitahu kejadian atau peristiwa yang belakangan ramai diperbincangkan lalu memberi reaksinya atas hal tersebut. Lazimnya memang sebatas umpatan. Sedangkan yang kedua, seperti yang sudah aku jelaskan diawal tentang Beler, kini banyak komika naik ke panggung bermodalkan membawa satu-dua cerita yang ingin ia bagikan kepada penontonnya. Entah cerita itu penting atau tidak, ada kaitannya kepada penonton atau tidak, yang jelas (mesti) menarik. Tidak banyak memang komika yang melakukannya. Hanya saja, dari yang sedikit itu, semuanya telah berhasil membuat antitesis atas dogma-dogma teknik berkomedi yang sulit dipelajari itu --dan tentu Beler adalah satu dari sekian sedikitnya komika tersebut. Bayangkan saja, ketika semua orang sibuk beropini dan meyakini opininya benar --sedangkan yang lain tidak-- masih ada satu kanal di mana kamu bisa mendapat seorang yang rela menceritakan hal-hal lucu kepadamu. Barangkali nanti Beler akan melakukan itu pada penontonnya di Belerdikari.