Archive for July 2015
Tentang Hal-hal yang Pantas Dirindu di Panggung Open Mic
By : Harry Ramdhani
Apa yang cepat terlintas dalam pikirkanmu
ketika pertama kali datang ke satu tempat makan pecel ayam yang barangkali
sudah menjadi incaranmu sejak lama, lalu pada suatu malam saat lebaran perutmu
sudah tak sanggup menerima ketupat dan sejenis pertemannya itu, dan ketika kamu
keluar rumah seperti berada dalam sajak Sitor Situmorang Malam Lebaran –kecuali pecel ayam
incaranmu– sedangkan perutmu butuh diisi demi melanjutkan sejarah keberadaban
manusia di muka bumi, kemudian kamu pura-pura malu masuk tempat pecel ayam itu,
memesannya, setelahnya kamu hanya disuguhkan sepotong ayam bagian dada yang
garingnya amat kriuk itu, seketika juga pas dimakan tak sesuai harapan?
Jika itu terjadi pada saya, maka saya akan
mengumpat: “kalau sekedar garing, mending datang ke open mic. Di sana saya bisa
dapat hal serupa, bahkan dengan porsi yang jauh lebih banyak.”
Tak ada yang lebih garing dari panggung open
mic. Sungguh. Coba saja tanya Komika yang hampir setiap bulannya mencoba open
mic barang dua atau tiga kali. Atau penonton setia open mic yang hanya datang
demi melihat Komika idolanya menguji materi. Pasti yang kamu dapat akan sama,
seperti saat kamu makan di tempat pecel ayam tadi.
Namun, dari semua itu pula, panggung open mic
memang pantas dirindukan.
Kamu tidak akan bisa melihat seorang komikatiba-tiba
lupa materi saat sedang seriusnya memaparkan set-up. Reaksinya yang tak terkontrol, bahkan ada yang malah
tertawa sendiri seperti Dzawin, melongok kanan-kiri mencari petunjuk seperti
Bakriyadi.
Hanya di open mic kamu bisa temukan suasana
hening ketika tiga sampai empat komika, secara berurutan nge-boom. Penonton
yang semula memperhatikan Komika malah alih perhatian ke makanan yang ada di
mejanya. Kadang makanan sisanya diambil gambarnya untuk dipamerkan di akun
sosial medianya, kadang ada juga yang masih menggali minumannya yang telah
habis sampai menimbulkan bunyi gaduh sendiri.
Entah seberapa sering kamu melihat Komika yang
selesai open mic dimintai foto bareng, tapi selang berapa lama, yang meminta
foto itu malah tidak kenal oleh Komika barusan. Biasanya dalam kasus seperti
ini Komika tersebut sangat lucu daripada Komika lainnya, atau Komika tersebut
paling ganteng (maksudnya fotogenic).
Open mic memang sering menuntut rindu. Jumlah
penontonnya yang tak bisa diperhitungkan di tiap minggunya, Komika mana yang
sedang bagus, antrian Komika yang daftar untuk menguji materi di meja admin,
dll., dst., dsb.
Barangkali kesalnya menonton open mic adalah
puncaknya. Bayangkan saja, ketika kamu sudah mengajak teman atau lawan PDKT-an
untuk menonton open mic ternyata yang diajak malah memasang muka bete. Tapi
ketika mengantarnya pulanglah saat yang ditunggu: giliran kamu yang
menghiburnya sampai temanmu itu ceria seperti biasa. Ini bisa dijadikan siasat
caper paling maksimal dengan mengkambing hitamkan open mic demi mendapat hati
pujaan juga pujian.
Barangkali juga, dengan menonton open mic,
kita bisa belajar dari kepunahan dinosaurus yang mungkin karena bosan mengajak
pasangannya menonton film di bioskop.
Perpustakaan Teras Baca, 2015 | Keterangan Gambar: Panggung open mic di bullwing [sumber: @StandUpIndo_BGR twitpict]
Tag :
Stand-up Comedy,