Dasar, tidak berlaku padaku. Aku diajarkan untuk tidak mengenal itu. Biarkan aku berdiri atau tenggelam lebih dalam.
Pula, Pancasila bukanlah dasar untuk hidupku. Pacasila adalah atap
yang melindungiku. Dan, bila Indonesia masih mengganggap bahwa Pancasila
adalah dasar dari segala dasar hukum, maka teruslah kalian 'stak' di
tempat. Sampai kapan ingin jadi negara berkembang? Jujur, aku bosan.
Aku tidak ingin mengajak kalian untuk ikut denganku. Karena mengajak
rentan akan dibilang sesat jika tidak sependapat. Ini sikap.
***
Malam ini hujan turun lebih deras dari biasanya, di musim kemarau.
Di mana sudah saatnya hujan tak sering menampakan diri. Tidak perlu
bingung, turunnya hujan karena itulah urusan Tuhan.
Tiga hari yang lalu aku bertemu kakakmu, Adrianus, di sebuah kedai
kopi tempat kita bertemu dulu. Ia banyak bercerita tentangmu, tentang
hubungan kita, tentang akan seperti apa kedepannya nanti. Jujur, aku
tidak terlalu bisa menjawab semua pertanyaannya. Karena aku sendiri
tidak tahu.
O ya, asal kamu tahu, kita tidak janjian sama sekali. Ketika aku
selesai meeting dengan beberapa tim kerjaku, aku lihat kakakmu sedang
duduk sendirian sambil memainkan laptop berwarna hitam. Tampak serius
dan lebih serius daripada singa memperhatikan mangsanya. Entah apa yang
Ia kerjakan, tentunya aku mendatangi dengan menawarinya rokok yang kita
sama-sama isap. Seperti itulah rokok, bisa mempersatukan tanpa perlu
awalan yang penuh basa-basi.
"Kurang tidur, yah?" tanyaku.
"Bukan kurang, tapi memang belum," kakakmu mulai mengesampingkan laptopnya "Dengan Putri kau kemari?"
"Tidak. Tadi aku baru selesai meeting di sini dan melihatmu sedang sibuk sendiri."
Lewat pertanyaan itulah kakakmu mulai membicarakan segalanya tentang kita.
***
Aku masih tidak bisa percaya, kakakmu mungkin terlalu berharap lebih
padaku. Aku tidak suka apapun yang berlebihan, begitu agamaku
mengajarkan.
Hubungan ini mesti diakhir dengan kesepakatan kita berdua. Lanjut
atau berhenti. Mengalah atau bertahan. Seperti itulah cinta bicara.
Seperti itulah keyakinan kita yang berbeda. Aku seperti sedang dihimpit
bebatuan. Bebatuan besar yang bernama: kenyataan.
Aku sungguh mencintaimu. Dan, terakhir aku dengar, kamu juga
mencintaiku. Semoga ini bisa tetap kita pertahankan sampai orang-orang
ikut campur tangan. Agama biarlah tetap berdiri di setiap keteguhan
hati. Karena aku mencintaimu tanpa sebab, tanpa akibat, tanpa dasar yang
kuat.
Akan aku jalani terus seperti ini, mencintaimu.
Perpustakaan Teras Baca, dengan buku yang berserak.
No comments:
Post a Comment