Langkah kakinya terhenti di warung sembako Pak Suryatna. Ada seorang
wanita memanggilnya. Ia menghampiri dengan sedikit tertatih, maklum
dari pagi belum sarapan dan ini sudah pukul tiga (sore maksudnya).
Badannya lemas, bajunya berkeringat, mukanya usang seperti kotak mainan
yang dipenuh jaring laba-laba.
Sudah lima tahun Mariday, seorang duda beranak satu, menggantungkan
hidup menjadi tukang sol sepatu. Ia pasrahkan hidupnya pada dua kotak
sol sepatu buatannya sendiri itu. Kotak sol sepatu dan segala isinya
yang rela disisihkan dari setengah hasil uang pensiun dini lalu.
Mariday diberhentikan karena penyakit yang diidap semenjak di mutasi ke
divisi baru. Tidak ada yang membuatnya nyaman bekerja sampai bertemu
hari sabtu atau minggu.
Diabetes, atau yang lebih dikenal penyakit gula, membuatnya
bolak-balik rumah sakit karena penyakitnya semakin parah. Gaji yang
didapat dengan jerih-payah mendadak musnah. Habis untuk cuci darah.
Bagaimana tidak, olahraga saja tidak pernah.
Hari-harinya semasa bekerja disibukan dengan pekerjaan yang 'entah
kapan bisa diselesaikan'. Memang banyak orang bilang, "semakin tinggi
jabatan, makin tinggi pula tanggung jawab yang diberikan." Dulu, hampir
setiap hari Mariday pulang larut malam. Tapi, lain cerita dengan
Mariday, Ia tersisihkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan apa yang
telah dihasilkan selama di perusahaan.
Bila mengingat kembali masa-masa sebelum pensiun, Mariday terkadang
suka terseyum. Melihat orang yang tidak suka dengan kita (karena
kebaikan) ialah cara terbaik mengobati luka, begitu katanya. Mariday
besar oleh didikan orangtua yang terbilang serba tidak punya, namun
itulah yang kini membuatnya selalu rendah hati pada siapa saja.
Sekarang Ia mesti menjalani sepanjang umur tua-nya dengan penyakit dan
kedua anaknya. Untung masih ada dua kotak sol sepatu yang membuat
mereka bisa hidup tanpa mesti minta-minta. Mariday menjadi tukang sol
sepatu keliling setiap harinya.
***
Langit tampak mendung sekali. Cuaca nampaknya kurang mendukung
Mariday berkeliling hari ini. Aku sudah masukan beberapa peralatan sol
sepatu dengan penuh hati-hati. Pernah suatu kali, aku tidak rapih
memasukan alat-alat ke dalam kotak, akhirnya tangan Mariday terkena
jarum untuk memasukan tali. Darahnya keluar cukup banyak dan hampir
diamputasi. Maklum, sebagai adik kandung perempuan, aku hanya bisa
membantu itu sebelum ada panggilan kerja nanti.
Di rumah, tugasku menjaga anaknya yang lumpuh sejak kecil, kedua
kakinya tidak bisa digerakkan lagi. Dokter memvonis terkena Polio,
katanya karena tidak pernah dibawa ke posyandu untuk vaksinasi. Memang
benar, sebagai orang tua, Mariday sibuk mencari uang dan anaknya kadang
dititipkan ke tetangga sana-sini. Waktu itu aku masih tinggal di
kampung, menyelesaikan sekolah kejuruan di Wonosari. Bermodalkan ijazah
itu, aku beranikan datang ke sini.
O ya, sebenarnya Mariday itu hanya nama panggilan. Orang-orang
sering memanggil itu ke Kakakku dari kecil, dan aku jadi ikut-ikutan.
Nama aslinya Mariono Dayat disingkat Mariday, sungguh sederhana bukan?
Seperti rokok kretek, karena rokok tersebut ketika dibakar mengeluarkan
bunyi
kretek kretak, makanya diberi nama demikian. Tidak ada makna yang khusus dan mendalam.
Tak mudah menjadi tukang sol sepatu ditengah biaya hidup yang makin hari
makin membuat sakit hati. Tapi, Mariday menjalani itu semua dengan
sepenuh hati. Biar bagaimana pun musti dijalani. Musuh terbesarnya
ialah perilaku konsumtif yang makin meninggi. Asalkan melihat barang
murah, langsung dibeli. Sepatu khususnya di sini.
Nampaknya hari ini Mariday tidak berkeliling perumahan seperti
biasa. Selain karena kondisi badanya yang sedang tidak baik, dari pagi
Ia sudah keluar rumah tanpa membawa peratalannya. Mungkin membeli
makan, mungkin bertemu pelanggan, atau mungkin menjumpai mantan
istrinya. Istrinya. Setelah pensiun dini, istrinya meminta cerai dan
menikah lagi dengan Suwardi, teman lamanya di perusahaan, tapi hubungan
mereka baik-baik saja. Perempuan, selalu butuh tempat untuk melanjutkan
hidup di masa depan, walau musti cerai sebagai jalannya.
"Aku ke warung dulu beli mis instan, kamu lapar 'kan?" kataku pada
Husni, anaknya Mariday yang kuperhatikan daritadi sudah memegangi perut.
"Kalau ketemu Ayah, ajak pulang, ya," jawabnya cemberut.
Husni memang seperti itu kalau kesal, eh, maksudku lapar. Atau semua orang juga akan demikian kalau lapar? Sepertinya benar.
Dengan uang pas-pas-an yang cukup hanya membeli satu bungkus mie
instan, aku langkahkan kaki dan berdoa agar Husni baik-baik saja.
Warung terdekat adalah warung sembako milik Pak Suryatna. Namun cukup
jauh juga jaraknya, seperti dari Monas sampai Istana Merdeka.
"Mariday," kataku terheran. "Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Eh, kamu, Dik. Maaf aku belum sempat pulang, tadi aku habis ketemu
mantan istriku. Meminjam uang, tapi seperti biasa, aku selalu
pura-pura menawarkan sepatu yang ingin dibenarkan."
"Lalu, kenapa tidak langsung pulang? Tidak dapat pinjaman."
"Ya, tapi aku diberikan sepasang sepatu ini, rusak memang." Mariday
menjulurkan sepatu putih dengan rumbai-rumbai di bagian atasnya. Lucu,
sangat perempuan.
"Untuk apa kamu terima, toh, ini juga tidak bisa digunakan."
"Kamu ini bagaimana, sih, aku ini tukang sol sepatu, semua sepatu
awalnya memang rusak, tapi dengan sedikit sentuhan dariku pasti bisa
tampak menawan."
"Kemudian ingin kamu apakan?"
"Jual saja ke orang-orang."
"Yasudah, aku ingin membeli mie instan untuk Husni, Ia sudah kelaparan." Aku dan Mariday bergegas pulang.
***
Sepatu putih dengan rumbai-rumbai pemberian mantan istrinya telah
selesai Ia perbaiki. Hasilnya mirip seperti sepatu asli. Tak terlihat
jahitan di sana-sini. Sembari Ia keliling perumahan, sepatu itu pun
sekalian Ia tawarkan ke orang-orang yang sepatunya sedang diperbaiki.
Menjualnya tidak terlalu rumit, karena harganya yang murah dan
Mariday sadar betul akan perilaku konsumtif orang-orang sekarang ini.
Asal murah pasti dibeli. Itu yang membuatnya berpikir untuk kini
mencari sepatu-sepatu bekas untuk dijual kembali.
Hasil penjualan sepatu Ia jadikan modal awal. Mencari sepatu bekas
di Jakarta tak sesulit menyiapkan makan siang untuk bekal. Tinggal
mendatangi daerah-daerah kolong jembatan, pasti sudah bertemu banyak
yang menjual. Hidup di Jakarta memang butuh banyak akal. Asalkan yang
dilakukan itu halal.
Usahanya menjadi tukang sol sepatu dan menjual sepatu bekas
lebih-kurang sudah maju. Lumayan, berawal dari dua kotak sol sepatu
buatannya itu, kini Ia tidak perlu keliling perumahan karena telah mampu
membuka kios sepatu. Bisa membelikan Husni kursi roda dan baju baru.
Bisa memperkerjakan adiknya di kios untuk bantu-bantu.
"Husni, hari ini Ayah ada uang lebih. Kamu ingin apa?" tanya Mariday.
"Aku ingin punya Ibu saja," jawabnya datar tanpa ekspresi.
Aku dan Mariday kaget, tidak menduga awalnya kalau itu yang keluar
dari mulut Husni. Mariday tidak menjawab dan aku diam, badanku seakan
beku ketika sedang berdiri. Permintaan anak-anak memang ada-ada saja;
termasuk meminta Ibu baru ini.
"Kenapa kalian tidak menikah?" tanya Husni. "Usaha Ayah sudah
lumayan maju, rumah kita sudah direnovasi, apa lagi yang ditunggu?"
Obrolan di meja makan semakin tak terarahkan. Tanpa jawaban, kita
semua masuk kamar masing-masing, bersamaan. Di kamar, aku memikirkan
pertanyaan Husni tadi yang tidak perlu-perlu amat dijawab tapi, cukup
memberi perhatian lebih untuk dipikirkan. Menikah dengan kakak sendiri?
Ah, tidak mungkin, bukan?
Rumah Bang Rifky, 19 Januari 2014
gambar:
dari sini