Nurul
itu cantik. Banyak laki-laki beranggapan kalau wanita cantik itu tidak baik.
Mungkin. Tapi, aku berani bertaruh, asumsi mereka lahir akibat selalu gagal
menaklukan wanita cantik. Nurul tidak seperti itu; Ia baik.
Aku
tidak ingin bercerita bagaimana proses sampai bisa menaklukan Nurul, karena
pada kenyataannya, aku sama dengan laki-laki pada umumnya: gagal menaklukkan
wanita cantik tapi, perlu diingat, aku hanya mengaguminya. Tidak lebih. Bagiku,
mengagumi lebih baik daripada mencintai. Apalagi mencintai wanita cantik, itu
sama saja berkhayal hidup di surga padahal selama hidup selalu berbuat dosa.
SIANG
yang terik di bulan November adalah hujan di gurun sahara. Seperti mimpi yang
menjadi nyata. Aku senang matahari bisa menaklukan arogan awan-awan hitam
dimusim penghujan, setidaknya disitu ada harapan yang lahir dari angan-angan.
Namun, ada yang berjalan seperti biasa di tengah terik matahari di bulan
November: Cafe Dua Warna yang sepi selepas jam makan siang. Di kampus yang
semua penghuninya sibuk, waktu selepas makan siang adalah mimpi buruk semalam
yang kejadian.
Aku,
segelas kopi hitam, dan Enyak, penjual warung kopi adalah penghuni tetap Cafe
Dua Warna selepas jam makan siang. Terkadang ada yang sekedar datang, tapi
hanya untuk membungkus beberapa gorengan, lalu mereka pergi untuk melanjutkan
aktifitasnya lagi. Nurul adalah salah satunya.
Sebagai
pegawai TU, Nurul, memang punya pekerjaan setumpuk. Tapi ketika sistem dibuat
sesantai mungkin, pekerjaan yang menumpuk bak kapas di kantong belanjaan; tidak
terasa apa-apa. Makanya Nurul sering ke Cafe Dua Warna untuk sekedar memesan
minum atau membeli gorengan buat dibawa ke atas meja kerjanya.
Tidak
ada yang istimewa dari Nurul, biasa saja. Toh, bagi wanita cantik sepertinya,
segalanya sudah sempurna. Wanita cantik menggunakan pakaian apa pun, tetap saja
terlihat cantik. Sial! Apa lagi tanpa pakaian? Mungkin itu terlihat lebih baik.
Aku
yang sedari tadi membuka lembar demi lembar novel karangan Ratih Kumala, Gadis
Kretek, mendadak berhenti karena Nurul datang. Melihatnya siang itu adalah
kesejukan. Seperti sedang duduk di bawah pohon rindang. Aku ingin terlihat
biasa saja, namun apalah daya, aku salah tingkah dibuatnya. Novel yang aku baca
jatuh, rokok yang aku hisap hampir saja terbalik; baranya yang menempel di
bibirku, dan hanya gelas kopi yang tidak apa-apa, ia tenang di atas meja.
Sedikit
kuintip, Nurul tersenyum melihat ulahku -salah tingkahku- barusan. Sejak saat
itu, kesan pertama telah menumbuhkan rasa yang tidak tentu arahnya. Aku hanya
berharap akan ada kejadian serupa yang kedua, ketiga, sampai seterusnya
--paling tidak bisa melihanya senyum padaku.
Nurul
pergi begitu saja, dan aku masih salah tingkah dibuatnya.
***
Kesan
pertama memang membuat penasaran. Penasaran yang berlebihan biasanya juga akan
melahirkan pertanyaan-pertanyaan.
Pertama-tama
pertanyaan itu muncul untukku sendiri,
'apakah
ada kejadian seperti tadi keesokan hari?' 'Kenapa tadi aku hanya senyum?
padahal di sana ada peluang untuk kita sekedar berbincang.' 'Kenapa aku malu?
Apa karena aku suka?'
Penasaranku
semakin menjadi dan tanpa sadar aku tanya pada Enyak, "Nurul udah punya
pacar, yah, Nyak?" tanyaku sambil melempar senyum pada Enyak. Semoga saja Ia
sadar maksud senyumku itu.
"Udah,"
jawab Enyak singkat. Dan sesingkat itu pula senyumku hilang. Hilang bersama
gorengan yang diborong Nurul tadi.
***
Keesokan
harinya, tepat selepas jam makan siang, aku kembali duduk di Cafe Dua Warna.
Menunggu kejadian seperti kemarin terulang lagi. Menunggu Nurul datang dan
melempar senyumnya. Tapi itu semua tidak terjadi. Tidak ada apa-apa, hanya aku,
segelas kopi hitam, dan Enyak, yang kini sedang membereskan piring-piring
setelah Ia cuci.
Lagi,
keesokan harinya pun sama. Begitu seterusnya. Ternyata mengagumi bisa lebih
gila dari mencintai.
Dua
minggu berlalu, dan aku tidak lagi bertingkah seperti hari-hari terdahulu.
Enyak menghampiriku, "Dicariin Nurul, noh." Hah! Sontak aku kaget.
Dicariin? Berarti ia mencariku tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, atau itu
terlalu berlebihan, mungkin dua kali. Ah, bodo amat, setidaknya lebih dari
sekali.
"Nyariin
kenapa, Nyak?" tanyaku penasaran.
"Tauk,"
jawabnya lagi singkat. Mungkin kalau Enyak seumuran denganku sudah aku pites
kepalanya.
"
Mbokya sekalian tanyain gitu ada perlu
sama aku."
"Cari
tahu aja sendiri,"
"Iyehh,
utang aku udah berapa di sini? Tak lunasi."
"Nah,
gitu, dong. Cuma 11ribu."
"Nih,"
aku serahkan dua lembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. "Ambil aja
kembaliannya, itung-itung ongkos nginget utangku sama Enyak."
"Serius?"
"Iyeh,
Nyak. Jadi ada apa Nurul nyari aku, Nyak?"
"Dibilang
gak tahu. Tanya sendiri aja, sih."
***
"Tadinya
aku gak tahu siapa yang suka nulis-nulis di mading ini. Tapi, aku hanya
menebaknya itu semua adalah tulisan-tulisanmu. Ternyata benar. Aku suka."
Nurul tersenyum. Senyum yang sama seperti kesan pertama semua rasa timbul
padanya. Aku pun salah tingkah lagi dibuatnya. Sial! Nurul memang cantik. Dan
baik. Baik karena bisa mengembalikan rasa yang sama pada kesan pertama. Kini
aku tahu, siapa yang mengambil puisiku di mading.
"Maaf,
aku mengambilnya tanpa izin. Aku suka puisimu. Bisa aku minta tanda tangan di
puisimu ini?"
Aku tanda tangani
puisiku dan Nurul simpan. Dan aku, menyimpan
senyum Nurul yang dulu untuk kembali bisa aku rasakan dan kagumi
layaknya terik siang di musim penghujan.
Rumah
Bang Rifky, 1 Desember 2013
gambar:
dari sini